Sesat
Pikir Seleksi KPK
Feri Amsari ; Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat
Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas; Alumnus William and Mary
Law School
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Desember 2014
SELEKSI pemimpin Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berada di jalur rumit. Kerumitan itu terjadi
karena Komisi III DPR memiliki dua opsi terhadap pemimpin KPK pengganti
Busyro Muqoddas yang masa jabatannya segera berakhir.Kedua opsi DPR itu
mengandung bahaya tersembunyi bagi lembaga antirasywah tersebut.
Kedua opsi itu ialah pertama,
DPR tidak akan memilih salah satu dari dua calon Pemimpin KPK (Busyro
Muqoddas atau Roby Arya Brata) yang dihasilkan dari proses fit and proper test yang dilakukan tim
seleksi bentukan pemerintah. Dengan pilihan itu, KPK akan dipimpin empat
pemimpin tanpa memerlukan pengganti Busyro Muqoddas. Pilihan itu berbahaya
jika menilik ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a UU Nomor 30/ 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (baca: KPK) yang menyebutkan bahwa
pemimpin KPK terdiri dari lima anggota.
Tanpa kelima anggota pemimpin
KPK yang lengkap, keputusan pemimpin KPK tidak dapat dilakukan menurut Pasal
21 ayat (5) UU KPK. Menurut ketentuan itu, pemimpin KPK bekerja secara
kolektif, yaitu setiap keputusan harus diputuskan secara bersama-sama oleh
pemimpin KPK. Ketentuan tersebut tentu saja dapat ditafsirkan bahwa tanpa
kehadiran lima pemimpin KPK secara lengkap, maka putusan yang diambil
memiliki cacat hukum.
Karena itu, walaupun ditafsirkan
bahwa kata kolektif (bersama) pada Pasal 21 UU KPK bermakna putusan dapat
diambil pemimpin KPK yang tersisa (empat orang), kelemahan lain dapat pula
terjadi. Potensi rapat pemimpin KPK mengalami deadlock putusan menjadi
terbuka luas jika dengan empat orang pemimpin. Keputusan itu dapat berakhir
dengan suara dua berbanding dua apabila KPK dipimpin empat komisioner. Jumlah
suara yang berimbang itu membuat pemimpin KPK tidak dapat mengambil keputusan.
Opsi kedua, DPR akan memilih
satu pemimpin KPK yang baru, tetapi hanya akan memegang jabatan selama satu
tahun. Dengan opsi itu, kelima pemimpin KPK akan mengakhiri masa jabatan
secara bersamaan. Pilihan tersebut mengesampingkan masa jabatan berkala (staggered terms) terhadap pemimpin KPK
yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor
5/PUU-IX/2011. Keputusan tersebut menyebabkan pemimpin KPK tidak mengakhiri
masa jabatannya secara serentak.
Menurut putusan MK itu, pemimpin
KPK, baik yang diangkat bersamaan maupun pengganti akan memegang masa jabatan
selama empat tahun. Putusan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UU KPK.
Apabila DPR memaksa pemimpin KPK yang baru hanya menjabat selama satu tahun
agar lima pemimpin dapat berhenti serentak, pilihan itu bertentangan dengan
Putusan MK dan UU KPK.
Masa jabatan berkala
Masa jabatan berkala
diberlakukan kepada pemimpin KPK sebagai ketentuan yang konstitusional.
Menurut MK, pola masa jabatan berkala akan membantu kesinambungan kinerja pemimpin
KPK. Sehingga, ketika empat pemimpin KPK berakhir masa jabatannya, maka masih
terdapat satu pemimpin yang lama menjabat. Pemimpin yang lama tersebut
ditujukan sebagai `penunjuk jalan' mekanisme kerja bagi empat pemimpin yang
baru.Dengan pola masa jabatan seperti itu, pemimpin KPK yang baru tidak
membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi terhadap kerja pemberantasan korupsi
karena pemimpin lama dapat memberikan petunjuk.
Pola masa jabatan berkala itu
juga berfungsi memecah kebuntuan (deadlock)
putusan. Sehingga, ketika kelima pemimpin KPK tidak memiliki keputusan yang
mayoritas saat posisi suara dua berbanding dua dengan satu suara abstain,
maka pergantian pemimpin yang baru dapat mengubah kebuntuan tersebut.
Kehadiran orang baru akan membuat keputusan KPK dapat diimplementasikan dalam
bentuk tindakan konkret pemberantasan korupsi.
Secara hukum, pola masa jabatan
berkala tersebut sesungguhnya telah diakomodasi pada ketentuan Pasal 30 ayat
(9) UU KPK. Menurut pasal tersebut, pemerintah melalui tim seleksi diminta
memberikan jumlah calon pemimpin KPK sebanyak dua kali dari jumlah jabatan
yang dibutuhkan. Ketentuan itu bermakna bahwa seleksi pemimpin KPK tidak
selalu untuk menyeleksi lima pemimpin KPK.
Jika ketentuan itu mengharuskan
setiap seleksi akan menghasilkan lima pemimpin, pasal tersebut tentu akan
meminta tim seleksi untuk memberikan sepuluh nama yang dipilih DPR menjadi
lima pemimpin KPK. Namun, faktanya Pasal 30 ayat (9) UU KPK tetap membuka
ruang seleksi sesuai kebutuhan kursi kosong pemimpin KPK. Artinya, suatu saat
KPK dapat saja memilih satu atau lebih calon pemimpin KPK yang menurut Pasal
21 UU KPK memegang masa jabatan empat tahun. Meskipun masa jabatan itu empat
tahun, tetapi berdasarkan Putusan MK dan UU KPK bahwa pemimpin KPK akan
mengakhiri jabatan pada tahun yang berbeda.Itulah yang disebut masa jabatan
berkala (staggered terms).
Menurut William Funk and Richard
Seamon, salah satu ciri lembaga independen ialah penerapan masa jabatan
berkala terhadap pemimpin lembaga (2009; H 9). Dengan demikian, putusan MK
sudah tepat, baik secara teori dan peraturan perundang-undangan ketika
menerapkan masa jabatan berkala kepada pemimpin KPK.
Pelanggaran konstitusional
DPR melakukan pelanggaran
konstitusional jika tidak memilih pengganti Busyro Muqoddas tepat waktu atau
memilih satu pemimpin dengan masa jabatan satu tahun saja. Dua pilihan DPR
itu bertentangan dengan ketentuan UU KPK dan Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011
yang menerapkan staggered terms dengan masa jabatan empat tahun bagi seluruh pemimpin
KPK.
Putusan MK tersebut bersifat
final dan mengikat (binding) bagi
DPR. Kajian hukum tata negara menyebutkan bahwa Putusan MK merupakan tafsir
resmi konstitusional dari sebuah peraturan perundangundangan yang harus
dipatuhi DPR. Apabila anggota DPR tidak mematuhi isi putusan MK tersebut,
tindakan anggota merupakan pengabaian pelaksanaan UUD 1945 dan tidak menaati
ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut ketentuan Pasal 81 huruf b,
Pasal 237 ayat (1), dan Pasal 238 UU Nomor 17/ 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
DPRD, dan (MD3), jika tindakan anggota DPR mengabaikan UUD 1945 dan tidak
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan (termasuk ketentuan Putusan MK
final dan mengikat), anggota DPR tersebut dapat dikenakan sanksi
pemberhentian.
Jika
Komisi III DPR bermain mata dengan melakukan tarik ulur seleksi pemimpin KPK,
publik dapat melakukan pelaporan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan untuk
memberhentikan anggota DPR tersebut. Hati-hatilah
anggota Dewan yang terhormat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar