Sedekade
Tsunami Samudra Hindia
Bersama
Jalani Mil Terakhir
untuk
Sistem Peringatan Dini
Shamshad Akhtar ; Wakil Sekjen PBB; Sekretaris Eksekutif UN ESCAP
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Desember 2014
HARI ini 10 tahun lalu, dunia
mengalami salah satu bencana alam paling mematikan yang pernah tercatat. Gempa
berkekuatan 9,1 skala Richter di lepas pantai barat Sumatra, Indonesia,
memicu tsunami besar yang secara langsung memberikan dampak di 14 negara di
Asia dan Afrika. Dampak dari pergeseran tektonik dan lempengan menimbulkan
dampak berupa ombak yang mengakibatkan sekitar 230 ribu orang tewas dan
penderitaan yang besar bagi umat manusia.
Sepuluh tahun kemudian, kita
bersama-sama sebagai masyarakat mengenang para korban yang hilang akibat
amukan alam dan memahami penderitaan mereka akibat bencana alam yang telah
melanda wilayah kita. Bulan ini, beberapa negara yang terkena dampak di
wilayah ini akan menjadi tuan rumah upacara peringatan tsunami Samudra
Hindia. Peringatan ini ialah sebuah kesempatan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat di wilayah Asia-Pasifik dan sekitarnya mengenai pentingnya
membangun ketahanan yang lebih besar atas bencana alam, serta bagaimana kita
secara kolektif dapat bekerja sama untuk mempertahankan momentum demi
meningkatkan kapasitas kita guna menghadapi peristiwa bencana seperti itu.
Dukungan global
Tsunami 2004 telah menghasilkan
dukungan global yang belum pernah terjadi sebelumnya, serta menjadi pelajaran
utama dari tragedi manusia, yaitu pentingnya peringatan dini. Ketika ombak
menerjang, sistem peringatan dini belum memadai. Akibatnya, banyak orang
tidak mendapatkan peringatan kecuali melihat dinding air yang melaju menuju
arah mereka. Wilayah kita semestinya tidak mengalami hal itu lagi tanpa
persiapan sama sekali.
Setelah kejadian tersebut,
kawasan Asia-Pasifik memulai upaya kolektif untuk mengembangkan berbagai
pendekatan dan mekanisme sistem peringatan dini yang lebih baik untuk
mengurangi dampak bencana alam di masa mendatang.
Berbagai upaya telah
meningkat selama beberapa tahun di Asia dan Pasifik, wilayah yang paling
rawan terhadap bencana alam di dunia.Membangun ketahanan di daerah ini
bukanlah pilihan, melainkan merupakan suatu keharusan untuk melindungi dan
memajukan pembangunan berkelanjutan, kehidupan, dan mata pencaharian.
Tsunami Samudra Hindia secara
fundamental telah mengubah bagaimana cara kita menangani bencana alam,
menghasilkan dampak yang besar pada kebijakan dan anggaran, serta pekerjaan operasional
dan teknis. Hal terpenting, yaitu pengalaman tsunami telah membentuk Kerangka
Kerja Aksi Hyogo/Hyogo Framework for
Action (HFA) yang diadopsi di Kobe, Jepang, beberapa minggu setelah
terjadinya bencana tersebut. Kemajuan yang nyata telah tercapai dalam
melaksanakan HFA dan membangun ketahanan Asia-Pasifik. Tata kelola telah
diperkuat, bersama-sama dengan lebih dari setengah jumlah negara-negara
Asia-Pasifik telah memiliki undang-undang yang telah diberlakukan, serta
berbagai lembaga dibentuk secara khusus untuk menangani manajemen risiko
bencana. Alokasi anggaran untuk risiko bencana dan mitigasi kini telah lebih
baik meskipun berbeda di tiap-tiap negara. Kapasitas kelembagaan untuk
peringatan dini, kesiap-siagaan, dan respons juga telah diperkuat, tetapi
masih banyak yang harus dilakukan. Negara-negara di Asia dan Pasifik telah
melipat gandakan upaya untuk memperkuat kapasitas pelaksanaan, mendidik
masyarakat yang rentan, serta mengatasi risiko yang paling mendasar.
Kemajuan nyata
Komitmen regional untuk
peringatan dini tecermin dalam Peringatan Tsunami Samudra Hindia dan Sistem
Mitigasi (IOTWS) dan mulai beroperasi pada 2011, bersama Australia,
Indonesia, dan India berperan menyebarkan berita resmi tsunami untuk wilayah
regional. Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik PBB (ESCAP)
memprediksi bahwa sistem baru itu dapat menyelamatkan rata-rata 1.000 jiwa
setiap tahunnya untuk 100 tahun ke depan.
Pada 11 April 2012, gempa bumi
berkekuatan 8,6 skala Richter di lepas pantai Indonesia memberikan uji coba
yang berguna dari fungsi IOTWS. Dalam waktu 10 menit dari saat terjadinya
gempa, negara-negara yang berisiko telah menerima berita resmi yang memuat
informasi mengenai peringatan tsunami dari tiga penyedia layanan di kawasan
tersebut. Berikutnya, jutaan warga telah menerima peringatan dan secara cepat
bergerak menuju tempat yang lebih tinggi. Untungnya, tidak ada tsunami yang
terjadi pada hari itu, tapi pengalaman tersebut menunjukkan bahwa kemajuan
nyata telah dibuat sejak 2004.
Di tingkat nasional, beberapa
negara juga telah melakukan investasi besar dalam sistem peringatan dini,
termasuk membentuk pusat-pusat peringatan yang canggih, yang telah memberikan
kontribusi kepada wilayah Asia-Pasifik yang semakin dianggap sebagai pusat
global atas keunggulannya dalam bidang tersebut.
Tsunami juga menyebabkan
terciptanya mekanisme pendanaan yang inovatif. Berkat kontribusi pemerintah
Kerajaan Thailand sebesar US$10 juta, Dana Perwalian ESCAP untuk Persiapan
Tsunami, Bencana, dan Iklim diluncurkan pada 2005. Dengan mengumpulkan
berbagai sumber daya dari para donor untuk memperkuat sistem peringatan dini
atas berbagai bahaya, Dana Perwalian telah mendukung 26 proyek yang telah
memberikan manfaat kepada 19 negara di Samudra Hindia dan negara-negara di
Asia Tenggara. Dana Perwalian itu mendukung pelaksanaan IOTWS, dan telah
memberikan dukungan kepada negara-negara berisiko tinggi yang telah
ditargetkan, dengan kapasitas nasional yang terbatas.
Meski kemajuan itu telah
dicapai, kita tidak semestinya melupakan pentingnya pengurangan risiko
bencana berbasis masyarakat pada tingkat lokal. ‘Tahapan akhir’ dari sistem
peringatan dini ini– masyarakat yang rentan berisiko tetap mengalami
kesenjangan yang besar dalam membutuhkan perhatian dan sumber daya tambahan.
Ini harus menjadi prioritas utama untuk memastikan bahwa masyarakat yang
paling rentan menerima peringatan secara tepat waktu dan dapat dipahami, agar
mereka tahu apa saja yang harus dilakukan dalam menghadapi masa-masa krisis.
Jadi, setelah sepuluh tahun, sudah
seberapa baik kawasan Asia-Pasifik mempersiapkan diri untuk menghadapi
tsunami besar? Ini jauh lebih baik bila dibandingkan dengan 2004, tetapi
jawaban secara lengkap hanya akan diketahui pada suatu hari nanti di waktu
yang akan datang, ketika beberapa jam pertama setelah sebuah gempa besar
telah menyebabkan tsunami baru. Untuk mempersiapkan hari tersebut, kerja sama
regional sangat penting, terutama dalam hal peringatan dini, mengingat
bencana alam tidak mengenal batas.
Bekerja sama untuk mengurangi risiko
bencana dan membangun ketahanan itu sebanding dengan mendorong sebuah batu
besar ke atas bukit bersama-sama. Jika kita tidak terus bergerak maju, kita
akan berisiko meluncur mundur. Kerja sama itu melibatkan pembangunan budaya
kesiapan dan kerja sama di seluruh wilayah, serta bergeser dari fokus pada
respons menjadi lebih menekankan pada pencegahan.
Pada
Juni lalu, Pemerintah Kerajaan Thailand menjadi tuan rumah konferensi tingkat
menteri mengenai Pengurangan Risiko Bencana ke-6 untuk meng onsolidasikan
suara regional demi mencari pengganti perjanjian HFA. Saat negara dari
seluruh dunia mempersiapkan diri untuk bertemu di Sendai, Jepang, pada Maret
2015, kawasan Asia-Pasifik akan membawa pelajaran dan pengalaman penting kita
untuk membantu membentuk kerangka kerja global yang baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar