Uji Ketahanan AirAsia
M Wiman Wibisana ; Pemerhati
Penerbangan
|
JAWA POS, 29 Desember 2014
PERISTIWA hilang kontak AirAsia tujuan Singapura dari Surabaya kemarin
(28/12) bukan semata sebuah kecelakaan pesawat. Namun, lebih dari itu.
Kejadian tersebut juga merupakan sebuah uji ketahanan bagi AirAsia. Jika
berhasil melalui itu, AirAsia akan memasuki era kejayaan barunya. Jika gagal,
bukan mustahil itu adalah pukulan mematikan yang bakal menutup maskapai bujet
itu selamanya.
AirAsia benar-benar sukses memosisikan diri dengan brand sebagai
maskapai penerbangan murah. Sebelum diambil alih Tony Fernandes pada 2002,
maskapai tersebut nyaris bangkrut. Promosi online yang masif dan manajemen
yang efisien mampu menempatkan AirAsia sebagai perusahaan yang meraih
predikat maskapai low cost terbaik. Gelar bagi AirAsia sebagai maskapai
berbiaya rendah terbaik bukanlah pepesan kosong. Saat maskapai lain berusaha
main-main dengan biaya perawatan pesawat, AirAsia justru sebaliknya memangkas
biaya yang tidak perlu pada sektor lain. Salah satu sektor efisiensi yang
ditempuh ialah meniadakan penjemputan bagi kru dari rumah ke bandara. Jangan
heran jika mendapati kru AirAsia turun dari kendaraan pribadi atau menumpang
angkutan umum kala menuju bandara.
Efisiensi AirAsia juga ditempuh lewat perencanaan rute dan jadwal yang
tepat. AirAsia mengatur rutenya sedemikian rupa sehingga tidak mengharuskan
krunya menginap di suatu kota. Pada hari itu juga, krunya akan kembali ke
kota di mana dia berdomisili. Langkah tersebut juga terbukti meningkatkan
efisiensi tanpa mengompromikan perawatan pesawat.
Dalam bukunya The AirAsia Story, Sen Ze & Jayne Ng juga mengisahkan
berbagai terobosan lain yang dilakukan Tony Fernandes, CEO AirAsia, untuk
menjadikan AirAsia sebagai maskapai penerbangan yang nyaman. Slogan All for
One, One for All yang mungkin acap kita temui di seragam pegawai AirAsia
ternyata bukan tanpa makna. Ada makna yang dalam di balik slogan tersebut. Lewat
slogan itu, Tony Fernandes ternyata bermaksud mengikis ego setiap lini, baik
itu pilot, pramugari, mekanik, maupun staf darat. Lewat slogan itu, Tony
bermaksud menyatukan semua lini demi membesarkan AirAsia.
Soal pemilihan jenis pesawat pun, AirAsia menerapkan pilihan tunggal ke
Airbus A-320 untuk rute regional dan Airbus A-330 untuk AirAsia X, unit
bisnis jarak jauh. Pemilihan itu ternyata didasari pertimbangan bahwa
pelatihan awak pesawat akan lebih mudah jika hanya mengoperasikan satu jenis
pesawat. Promosi yang masif via internet pun ternyata bukan tanpa alasan.
AirAsia memandang bahwa perkembangan masyarakat yang melek internet
menjadikan efisiensi bisa dilakukan karena memangkas biaya promosi. Soal
efisiensi, penggunaan tiket elektronik dan self check-in harus diakui
merupakan kepeloporan AirAsia.
Noda
di Rekor Mulus
Efisiensi dan kecermatan manajemen yang diterapkan AirAsia hingga kini
memang mampu menghasilkan rekor yang fantastis. Rekor AirAsia Group sejak
diambil alih Tony Fernandes pada 2002 mulus tanpa kecelakaan serius yang
merenggut korban jiwa. Itu menandakan bahwa upaya AirAsia bertumbuh juga
seiring dengan peningkatan kesadaran keselamatan dan perawatan armadanya.
Jika dibandingkan dengan sebelum diambil alih Tony Fernandes pada 2002, AirAsia
merupakan maskapai penerbangan yang tidak efisien dan diragukan. Setelah era
Tony, AirAsia merupakan maskapai penerbangan yang dapat diandalkan.
Adalah sebuah kemestian sebuah produk akan mengalami uji ketahanan,
baik dari lingkungan maupun pasar. Sebagai gambaran, Garuda Indonesia sukses
membalikkan tahun buruk penuh utang dan kecelakaan pesawat sehingga sekarang
menjadi maskapai penerbangan bintang lima. Garuda sudah lulus uji tahan.
Kemudian, Malaysia Airlines sepanjang 2014 dihantam hilangnya MH 370 rute
Kuala Lumpur–Beijing dan tertembaknya MH-17 rute Amsterdam–Kuala Lumpur. Kini
saat Malaysia Airlines berupaya memulihkan diri, muncul cobaan lain bagi
AirAsia menghadapi hilangnya kontak dengan QZ-8501 rute Surabaya–Singapura.
Sebuah noda di rekor mulus AirAsia, tampaknya, bukan hanya mencoreng
brand AirAsia dari sisi safety. Lebih dari itu, ujian ketahanan yang dihadapi
AirAsia tersebut benar-benar merupakan uji ketahanan yang menentukan.
Fluktuasi harga bahan bakar dan tingkat keterisian penumpang, rupanya, bukan
masalah berat bagi AirAsia. Sebab, selama ini mereka mampu melalui itu dengan
baik. Namun, pembentukan tim penyelamat dan tim pencari untuk QZ 8501 akan
menjadi ujian sesungguhnya. Tidak mudah mengelola musibah, baik dalam
penanganannya maupun re-branding pasca penangangan. Sebagai sebuah brand,
itulah ujian terberat AirAsia. Semoga pesawat segera ditemukan dan AirAsia
lolos dari uji ketahanan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar