Jenak
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 27 Desember 2014
Dengan alasan ini tulisan di
akhir tahun, saya ingin ngomongi soal kata jenak, yang menjadi nama rubrik di
setiap Sabtu. Sebagai nama, jenak bisa berarti sebentar. Mungkin bisa
diartikan jeda, berjarak. Ini saya rasakan setelah sibuk Natal kemarin, dan
menjelang akhir tahun, lalu awal tahun baru.
Mungkin ada saat menjenak,
menjaga jarak dengan persoalan yang berlangsung. Ini semacam siulan, yang
menjadi selingan ketika bernyanyi. Semacam reffrain dalam hidup, sebelum
akhirnya kembali ke nada semula. Jenak mungkin ada miripnya dengan jenaka,
mungkin sudah termasuk jinak. Mungkin hanya “gothak-gathuk mathuk”, atau asal
dicocok-cocokkan. Namun, kalau dalam pengertian menjaga jarak, saya kira ada
manfaatnya. Saya pernah sesekali mengulangi itu, yaitu saat tanpa tujuan
tertentu pergi ke suatu tempat, yang juga tidak direncanakan sebelumnya, dan
melihat kemungkinan secara terbuka.
Kadang pergi ke tempat di mana
masih bisa melihat sawah yang basah, yang luas, dan menatapi terus tanpa
terganggu disapa atau ditanya. Atau sebetulnya ada tanya ada sapa, namun
tanpa suara. Juga tidak dalam rangka mencari inspirasi, atau ilham, atau
riset. Semata untuk menikmati, untuk berjenak saja.
Terakhir, kemarin ini, saya
berjenak di Pasar Santa, daerah Kebayoran Baru, yang ramai dibicarakan. Saya
berangkat, masuk ke sana, sendirian. Mungkin dalam hati mencatati ada ruangan
lama, dan masih dipakai berjualan sayur, atau ruang atasnya masih ada
penjahit, dan di tingkat atasnya masih ada penjahit atau penjual bumbu atau
mainan, dan tingkat atasnya lagi warung nongkrong model kafé, dengan pajangan
dagangan piringan hitam lama, lukisan modern, dan pernikpernik yang dinikmati
sebagai pure hiasan, tanpa embelembel apa gunanya.
Dan menikmati naik-turun tangga,
bertukar pandang, tak dihiraukan tukang yang mengergaji, atau yang mengecat
calon kiosnya. Sampai kemudian di pintu keluar, duduk menikmati kelapa ijo.
Ini peristiwa yang saya sebut menjenak. Keluar dari perhitungan sebab-akibat,
dari kebiasaan pergi untuk sesuatu, dan atau jadwal resmi.
Menjenak adalah menikmati yang
selama ini terlupakan karena kesibukan. Semacam selingan kegiatan yang dibiarkan
menemukan iramanya sendiri. Dalam kehidupan, saya memang sering mengulang
ini. Pergi tanpa tujuan, dan menatap apa yang sebelumnya tak diperhatikan.
Kadang saya praktikkan dengan istri.
Jenuh dengan suasana rumah
tangga, dengan urusan anak-menantucucu- pembantu, dengan iuran rukun tetangga
dan atau bayar listrik, kami berdua pergi giiii, gitu saja. Sampai mendarat
di pantai Ancol - bukan untuk munas atau sejenisnya, sampai malam, blusukan
tempat yang tak pernah terlintas sebelumnya.
Awalnya memang istri
bertanya-tanya, merasa aneh dengan curiga, kemudiannya menikmati. Ini yang
saya rasakan menjelang besok, hari Minggu, lalu Senin–Selasa–Rabu yang dalam
suasana libur dan menganggur. Saya ingin menikmati. Tanpa rencana pergi ke
mana dan atau menginap atau alasan lain. Selain ngeri kalau terperangkap
kemacetan dan memperparah stres. Saya memang ingin menikmati saat-saat untuk
“tidak merencanakan dan tidak melakukan apa-apa”, sampai harus melakukannya.
Saya jadi ingat 25 tahun lalu
ketika Titiek Hamzah, musisi sejak band wanita Dara Puspita, mencipta lagu
yang liriknya sejenak/diamlah sejenak/…..
Yang sangat mengesan karena setelah itu terjadi huru-hara dalam perjalanan
hidup. Saya masih ingat betul kalimatnya, ajakannya untuk “berdiam sejenak”,
dalam arti menyendiri.
Biarlah di akhir tahun ini, saya
yang menulis di rubrik ini, saya berada di sini, sementara, sebelum akhirnya,
yeaaah akhirnya hari Sabtu
berikutnya bersapa dengan, dan dalam rencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar