Jumat, 08 November 2013

Paradoks Praksis Pendidikan Nasional

Paradoks Praksis Pendidikan Nasional
Darmaningtyas  Aktivis Pendidikan di Taman Siswa
MEDIA INDONESIA, 07 November 2013


“Kita dapat melihat ada yang hilang dari praksis pendidikan nasional, yakni pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat.”

DUNIA pendidikan nasional dikagetkan dengan beredarnya video mesum yang pelakunya ialah murid SMP dan dilakukan di sekolah serta disaksikan oleh beberapa teman, baik laki-laki maupun perempuan. Konon tindakan sejenis sudah terjadi lebih dari sekali di tempat yang sama. Muncul perdebatan mengenai latar belakang kejadian tersebut. Ada yang menilai itu merupakan bagian dari bullying, sedangkan menurut pihak kepolisian dilakukan suka sama suka. Tulisan ini tidak ingin ikut membahas motif tindakan, tapi mengajak pembaca merefleksikan praksis pendidikan nasional yang terasa amat paradoks antara jargon yang diusung dan realitas yang terjadi di lapangan.

Merefleksikan kembali praksis pendidikan yang penuh paradoks itu penting untuk menghindarkan pengulangan kasus serupa yang membuat gaduh masyarakat tapi tidak mencerdaskan sama sekali. Kita teringat pada salah satu penggalan syair Jalaluddin Rumi, penyair sufi asal Persia yang seperti pesan kepada kita agar “...hindarilah hilir mudik pikiran yang seperti kebisingan pasar, temukan kekuatan dirimu.“

Kasus-kasus serupa selalu silih berganti muncul di masyarakat, dari Jakarta sampai Kediri atau Probolinggo, Jawa Timur. Perbedaannya hanya pada lokasi dan situasi. Apa yang terjadi pada murid-murid SMPN 4 Jakarta itu di lingkungan sekolah. Adapun di Kediri, Probolinggo, atau lainnya, meski pelakunya sama-sama pelajar, dilakukan di luar sekolah. Tetapi bila kita hanya berkutat bicara kasus, itu tidak menyelesaikan persoalan. Peristiwa sejenis akan kembali muncul berganti di tempat lain dengan aktor dan setting yang berbeda pula.

Masyarakat awam yang melihat praksis pendidikan secara hitam putih langsung akan memvonis bahwa pelajar atau sekolah (institusi) telah bobrok. Tetapi vonis itu tidak akan mengubah keadaan, juga ti dak menyelesaikan persoalan, mengingat persoalannya amat kompleks dan saling berkelink dan satu sama lain. Antara d sistem yang dibangun, praksis yang dijalankan, kondisisi sosial serta budaya yang berkembang di masyarakat saling memengaruhi satu sama lain, yang ironisnya tidak saling mendukung.

Sistem pendidikan (mencakup seluruh komponen: kurikulum, guru, metode, prasarana dan sarana, dll) yang dibuat oleh pemerintah diarahkan untuk tercapainya suasana belajar, dan proses pembelajaran peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia. Serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU Sisdiknas No 20/2003), praksisnya di lapangan juga amat agamais, dan manajemennya mengikuti standar baku yang terjadi di industri-industri manufaktur ataupun jasa.

Namun, karena perkembangan budaya masyarakat yang lebih lamban jika dibandingkan dengan perkem bangan teknologi, teknologi yang oleh penciptanya dimaksudkan untuk mempermudah kerja-kerja manusia berubah fungsi menjadi media pamer perilaku primitif bagi anakanak usia remaja. Dalam istilah Alvin Toffler, anak-anak mengalami cultural shock karena melompat secara tajam, dari masyarakat gelombang I (dari pemburu menjadi agraris) tibatiba masuk ke gelombang III (dari industri ke informasi).

Mereka tidak pernah masuk ke gelombang II (masyarakat industri) yang memberikan dasar berpikir dan bertindak lebih rasional, efektif, efisien, kreatif, dan produktif. Akhirnya yang terjadi ialah tindakan-tindakan yang kontraproduktif.

Paradoks

Maraknya fenomena video mesum yang melibatkan pelajar di berbagai wilayah Tanah Air sebagai pelakunya, sungguh merupakan suatu paradoks dalam praksis pendidikan nasional. Sebab, praksis pendidikan nasional, terutama sejak reformasi, khususnya sejak satu dekade terakhir amat agamais (dari berbagai aspek: salam, pakaian, kegiatan, ataupun jumlah jam pelajaran agama yang bertambah) serta penuh dengan standar-standar baku yang berlaku di industri manufaktur maupun industri jasa komersial. Akan tetapi, yang dihasilkan justru sebentuk penyimpangan (anomali) dari praksis pendidikan.

Bila kita mengikuti alur berpikir secara linier, seharusnya praksis pendidikan nasional saat ini mampu melahirkan orang-orang yang paripurna, sempurna secara nalar maupun mental spiritualnya. Berbeda misalnya dengan praksis pendidikan sebelum 2000-an yang boleh dibilang `sekuler', wajar seandainya memunculkan perilaku menyimpang.

Namun, ironisnya, justru pada saat itu tidak muncul kasus-kasus serupa. Betul bahwa pada saat itu peranti teknologi informasi belum sedahsyat sekarang, tapi tindakan menyimpang pelajar tetap termonitor oleh media massa. Kenyataannya, perilaku menyimpang di kalangan pelajar pada saat itu yang dominan ialah tawuran. Dan tawuran itu sesungguhnya tiruan dari produk masyarakat.
Apa yang salah dengan sistem pendidikan nasional?

Dalam proses produksi manufaktur, bila standarnya sudah dibuat baku tapi produknya jelek, sangat mungkin terjadi kesalahan prosedur. Ada standar prosedur operasional yang tidak ditepati, sehingga kesalahannya ditimpakan kepada manajer produksi, bukan pada sistem produksinya. Bila sistem pendidikan yang dikembangkan sudah dinilai bagus dan praksisnya juga sudah agamais, ketika terjadi penyimpangan (moral) di lingkungan sekolah, kesalahannya akan ditimpakan pada manajer di lapangan, yaitu kepala sekolah.

Di sekolah-sekolah yang manajemennya bagus, kepala sekolah dengan dibantu oleh wali kelas dan petugas keamanan akan selalu melakukan kontrol terhadap ruang-ruang kelas, begitu kegiatan sekolah usai. Jika alibinya ialah tindakan tersebut terjadi pada saat kondisi istirahat atau saat menjalankan ibadah, tentu tidak semua unsur sekolah (ke pala sekolah, guru, tata usaha, petugas keamanan) beristirahat atau beribadah secara serentak pada waktu yang bersamaan. Selalu ada pengaturan waktu istirahat dan beribadah secara bergiliran untuk mengantisipasi kalau ada tamu atau kejadian di luar dugaan. Salah satu fungsi kepala sekolah ialah mengatur jam-jam piket dan istirahat bagi guru, tata usaha, murid, maupun petugas keamanan, serta menjelaskan apa saja yang harus dilakukan saat melaksanakan piket.

Terlepas dari siapa yang bertanggung jawab atas berulangnya kejadian serupa, kita dapat melihat bahwa ada yang hilang dari praksis pendidikan nasional kita, yakni pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Menurut Ki Hadjar Dewantara, ada tiga pusat pendidikan, yaitu keluarga, masyarakat, dan sekolah.

Pada saat ini praksis pendidikan hanya bertumpu di sekolah. Sementara, meskipun praksis pendidikan di sekolah sudah amat agamais, selalu dikejar oleh target-target pragmatis. Akhirnya sentuhan kemanusiaan dan budayanya menjadi hilang. Padahal, sentuhan manusiawi dan budaya itu yang akan membuat murid dimanusiawikan sehingga mereka juga akan menjunjung tinggi harkat dan martabat sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar