|
“Kita
dapat melihat ada yang hilang dari praksis pendidikan nasional, yakni
pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat.”
DUNIA
pendidikan nasional dikagetkan dengan beredarnya video mesum yang pelakunya
ialah murid SMP dan dilakukan di sekolah serta disaksikan oleh beberapa teman,
baik laki-laki maupun perempuan. Konon tindakan sejenis sudah terjadi lebih
dari sekali di tempat yang sama. Muncul perdebatan mengenai latar belakang
kejadian tersebut. Ada yang menilai itu merupakan bagian dari bullying, sedangkan menurut pihak
kepolisian dilakukan suka sama suka. Tulisan ini tidak ingin ikut membahas
motif tindakan, tapi mengajak pembaca merefleksikan praksis pendidikan nasional
yang terasa amat paradoks antara jargon yang diusung dan realitas yang terjadi
di lapangan.
Merefleksikan
kembali praksis pendidikan yang penuh paradoks itu penting untuk menghindarkan
pengulangan kasus serupa yang membuat gaduh masyarakat tapi tidak mencerdaskan
sama sekali. Kita teringat pada salah satu penggalan syair Jalaluddin Rumi,
penyair sufi asal Persia yang seperti pesan kepada kita agar “...hindarilah hilir mudik pikiran yang
seperti kebisingan pasar, temukan kekuatan dirimu.“
Kasus-kasus
serupa selalu silih berganti muncul di masyarakat, dari Jakarta sampai Kediri
atau Probolinggo, Jawa Timur. Perbedaannya hanya pada lokasi dan situasi. Apa
yang terjadi pada murid-murid SMPN 4 Jakarta itu di lingkungan sekolah. Adapun
di Kediri, Probolinggo, atau lainnya, meski pelakunya sama-sama pelajar,
dilakukan di luar sekolah. Tetapi bila kita hanya berkutat bicara kasus, itu
tidak menyelesaikan persoalan. Peristiwa sejenis akan kembali muncul berganti
di tempat lain dengan aktor dan setting yang berbeda pula.
Masyarakat
awam yang melihat praksis pendidikan secara hitam putih langsung akan memvonis
bahwa pelajar atau sekolah (institusi) telah bobrok. Tetapi vonis itu tidak
akan mengubah keadaan, juga ti dak menyelesaikan persoalan, mengingat
persoalannya amat kompleks dan saling berkelink dan satu sama lain. Antara d
sistem yang dibangun, praksis yang dijalankan, kondisisi sosial serta budaya yang
berkembang di masyarakat saling memengaruhi satu sama lain, yang ironisnya
tidak saling mendukung.
Sistem
pendidikan (mencakup seluruh komponen: kurikulum, guru, metode, prasarana dan
sarana, dll) yang dibuat oleh pemerintah diarahkan untuk tercapainya suasana
belajar, dan proses pembelajaran peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia. Serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU Sisdiknas No 20/2003), praksisnya
di lapangan juga amat agamais, dan manajemennya mengikuti standar baku yang
terjadi di industri-industri manufaktur ataupun jasa.
Namun,
karena perkembangan budaya masyarakat yang lebih lamban jika dibandingkan
dengan perkem bangan teknologi, teknologi yang oleh penciptanya dimaksudkan
untuk mempermudah kerja-kerja manusia berubah fungsi menjadi media pamer
perilaku primitif bagi anakanak usia remaja. Dalam istilah Alvin Toffler,
anak-anak mengalami cultural shock karena melompat secara tajam, dari
masyarakat gelombang I (dari pemburu menjadi agraris) tibatiba masuk ke
gelombang III (dari industri ke informasi).
Mereka
tidak pernah masuk ke gelombang II (masyarakat industri) yang memberikan dasar
berpikir dan bertindak lebih rasional, efektif, efisien, kreatif, dan
produktif. Akhirnya yang terjadi ialah tindakan-tindakan yang kontraproduktif.
Paradoks
Maraknya
fenomena video mesum yang melibatkan pelajar di berbagai wilayah Tanah Air
sebagai pelakunya, sungguh merupakan suatu paradoks dalam praksis pendidikan
nasional. Sebab, praksis pendidikan nasional, terutama sejak reformasi,
khususnya sejak satu dekade terakhir amat agamais (dari berbagai aspek: salam,
pakaian, kegiatan, ataupun jumlah jam pelajaran agama yang bertambah) serta
penuh dengan standar-standar baku yang berlaku di industri manufaktur maupun
industri jasa komersial. Akan tetapi, yang dihasilkan justru sebentuk
penyimpangan (anomali) dari praksis pendidikan.
Bila
kita mengikuti alur berpikir secara linier, seharusnya praksis pendidikan
nasional saat ini mampu melahirkan orang-orang yang paripurna, sempurna secara
nalar maupun mental spiritualnya. Berbeda misalnya dengan praksis pendidikan
sebelum 2000-an yang boleh dibilang `sekuler', wajar seandainya memunculkan
perilaku menyimpang.
Namun,
ironisnya, justru pada saat itu tidak muncul kasus-kasus serupa. Betul bahwa
pada saat itu peranti teknologi informasi belum sedahsyat sekarang, tapi
tindakan menyimpang pelajar tetap termonitor oleh media massa. Kenyataannya,
perilaku menyimpang di kalangan pelajar pada saat itu yang dominan ialah
tawuran. Dan tawuran itu sesungguhnya tiruan dari produk masyarakat.
Apa yang salah dengan sistem pendidikan nasional?
Apa yang salah dengan sistem pendidikan nasional?
Dalam
proses produksi manufaktur, bila standarnya sudah dibuat baku tapi produknya
jelek, sangat mungkin terjadi kesalahan prosedur. Ada standar prosedur
operasional yang tidak ditepati, sehingga kesalahannya ditimpakan kepada
manajer produksi, bukan pada sistem produksinya. Bila sistem pendidikan yang
dikembangkan sudah dinilai bagus dan praksisnya juga sudah agamais, ketika
terjadi penyimpangan (moral) di lingkungan sekolah, kesalahannya akan
ditimpakan pada manajer di lapangan, yaitu kepala sekolah.
Di
sekolah-sekolah yang manajemennya bagus, kepala sekolah dengan dibantu oleh
wali kelas dan petugas keamanan akan selalu melakukan kontrol terhadap
ruang-ruang kelas, begitu kegiatan sekolah usai. Jika alibinya ialah tindakan
tersebut terjadi pada saat kondisi istirahat atau saat menjalankan ibadah,
tentu tidak semua unsur sekolah (ke pala sekolah, guru, tata usaha, petugas
keamanan) beristirahat atau beribadah secara serentak pada waktu yang
bersamaan. Selalu ada pengaturan waktu istirahat dan beribadah secara
bergiliran untuk mengantisipasi kalau ada tamu atau kejadian di luar dugaan.
Salah satu fungsi kepala sekolah ialah mengatur jam-jam piket dan istirahat
bagi guru, tata usaha, murid, maupun petugas keamanan, serta menjelaskan apa
saja yang harus dilakukan saat melaksanakan piket.
Terlepas
dari siapa yang bertanggung jawab atas berulangnya kejadian serupa, kita dapat
melihat bahwa ada yang hilang dari praksis pendidikan nasional kita, yakni
pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Menurut Ki Hadjar Dewantara,
ada tiga pusat pendidikan, yaitu keluarga, masyarakat, dan sekolah.
Pada
saat ini praksis pendidikan hanya bertumpu di sekolah. Sementara, meskipun
praksis pendidikan di sekolah sudah amat agamais, selalu dikejar oleh
target-target pragmatis. Akhirnya sentuhan kemanusiaan dan budayanya menjadi
hilang. Padahal, sentuhan manusiawi dan budaya itu yang akan membuat murid
dimanusiawikan sehingga mereka juga akan menjunjung tinggi harkat dan martabat
sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar