TIDAK ada lagi senyum bahagia
Angelina Sondakh seperti beberapa saat setelah pembacaan putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, (10/1/2013).
Ketika itu, sekalipun dinyatakan
bersalah, wajah mantan politisi Partai Demokrat ini berbinar-binar dan
tanpa guratan sedih sama sekali karena ”hanya” divonis majelis hakim 4
tahun 6 bulan dan denda Rp 250 juta.
Namun, sekitar sepuluh bulan
kemudian, situasi berubah 180 derajat. Angelina Sondakh (Angie) harus
menerima kenyataan pahit: majelis hakim kasasi memperberat hukumannya dari
4 tahun 6 bulan menjadi 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta. Tak
sebatas mengembalikan kepada tuntutan jaksa, majelis hakim kasasi
menjatuhkan pula pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti Rp 12,58
miliar dan 2,35 juta dollar AS.
Seperti
dilansir Kompas (21/11/2013), salah satu dasar pertimbangan
majelis kasasi yang terdiri dari Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Mohammad
Askin menjatuhkan hukuman berat ini adalah Angie dinilai aktif meminta dan
menerima uang terkait dengan proyek di sejumlah kementerian negara. Dari
pertimbangan itu, putusan ini mengonfirmasi berita yang telah terbentang
sejak lama, Angie merupakan salah satu tokoh kunci proyek di Kementerian
Pendidikan Nasional dan Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Dari beragam perspektif, putusan
kasasi Angie jelas memiliki semangat yang berbeda dengan beberapa vonis
korupsi yang terasa hambar. Bahkan, dibandingkan dengan beberapa putusan
korupsi di tingkat kasasi yang juga ada pemberatan, vonis kasasi Angie
memiliki pesan yang tegas dan jelas. Karena itu, tak terlalu berlebihan
jika banyak pihak memberikan apresiasi luar biasa terhadap putusan ini.
Namun, kalau dilihat secara utuh
konstruksi Pasal 17 dan 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 junctoUndang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, putusan kasasi Angie akan memiliki lompatan luar
biasa besar jikalau majelis hakim juga memberikan hukuman tambahan dengan
mencabut hak-hak tertentu Angie, misalnya, hak untuk mendapatkan remisi.
Terlepas dari hal itu, mampukah semua pihak membaca pesan di balik putusan
Angie?
Jerat yang lain
Pesan pertama putusan kasasi
ini, proses hukum harus mampu membuktikan dapat menjangkau dan mengungkap
secara tuntas semua jejaring yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan
Angie. Alasannya amat sederhana, kejahatan ini terjadi tidak mungkin
dilepaskan dari posisi Angie sebagai politisi di komisi yang langsung
membawahkan kedua kementerian negara di atas. Karena itu, tindakan
penyelewengan yang dilakukan pasti tidak sendiri.
Dalam batas penalaran yang
wajar, tindakan Angie hampir dapat dipastikan melibatkan pihak lain di
komisi yang bermitra dengan kedua kementerian tersebut. Karena itu, agar
logika penegakan hukum berjalan linear, penyidikan harus mampu menjerat
pihak lain yang menjadi bagian dari jejaring Angie. Bagaimanapun, manuver
Angie ”menggoreng” anggaran di DPR sulit berjalan mulus tanpa dukungan
politisi lain.
Bukan hanya kemampuan menjangkau
politisi lain, proses hukum harus pula mampu mengendus kemungkinan keterlibatan
sejumlah pihak di Kementerian Pendidikan Nasional serta di Kementerian
Pemuda dan Olahraga. Sebagai kejahatan yang merupakan hasil kerja kolektif,
pengaturan proyek tidak mungkin terjadi tanpa melibatkan mitra kerja di
pemerintah. Alasannya sederhana, pembahasan anggaran di DPR, persetujuan
harus diberikan pemerintah dan DPR. Pertanyaan mendasarnya: bisakah
politisi bermain sendiri tanpa ”membangun” mitra dengan pemerintah?
Untuk mendukung logika di atas,
ketika tahap-tahap awal penegakan hukum skandal ini, terkuak fakta
keterlibatan sejumlah perguruan tinggi menerima kucuran dana dari manuver
Angie. Bahkan telah pula diketahui, beberapa pimpinan dari perguruan
tinggi menjadi tersangka. Namun, proses hukum sebagian perguruan tinggi
yang pernah dinyatakan menerima faedah dari manuver Angie mengalami
kelumpuhan total. Selain itu, penegakan hukum pun enggan menelusuri
kemungkinan adanya peran sejumlah pihak di Kementerian Pendidikan Nasional.
Hal yang sama harus pula dilakukan di Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Bukan hanya itu, penelusuran
kepada pihak lain yang tidak kalah pentingnya dilakukan adalah kemungkinan
keterkaitan dan peran Partai Demokrat. Sebagai salah seorang figur dengan
posisi sentral dalam partai politik peraih suara terbesar dalam Pemilu
2009, putusan kasasi Angie seharusnya dimaknai pula sebagai amanat kepada
KPK untuk menelusuri lebih jauh dan lebih serius kemungkinan keterlibatan
Partai Demokrat dan sejumlah elitenya di tengah pusaran korupsi yang
melibatkan Angie.
Mengkhianati UUD 1945
Skandal korupsi yang dilakukan
Angie membuktikan satu hal: mereka yang diberikan mandat untuk mengelola
negara, tanpa merasa takut, menggadaikan kewenangan yang diberikan
kepadanya. Terkait dengan fakta itu, pesan berikutnya dari putusan Angie:
mereka yang menggadaikan atau memperdagangkan kewenangan harus dijatuhi
hukuman berat. Dengan hukuman berat, mereka yang memperoleh mandat yang
sama harus berhitung kembali untuk menyalahgunakan kewenangan yang ada.
Dalam skandal Angie, mantan
elite Partai Demokrat ini ”menggoreng” sedemikian rupa otoritas yang
dimiliki anggota DPR dalam penyusunan keuangan negara via APBN. Jamak
diketahui, penyusunan APBN membuka celah terjadinya penyimpangan. Misalnya,
Pasal 157 Ayat (1) Huruf c UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;
serta Pasal 15 Ayat (5) UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara menyediakan
ruang bagi anggota DPR membahas RAPBN secara terperinci alias sampai Satuan
3. Bahkan, kesempatan untuk memblokir (perbintangan) anggaran dalam Pasal
71 Huruf (g) dan Pasal 156 Huruf a, b UU No 27/2009 potensial
”digoreng” untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Pesan memberikan vonis berat
tidak hanya karena alasan mengingkari amanah rakyat, tetapi juga karena
tindakan tersebut merupakan pengingkaran serius terhadap amanah UUD 1945.
Sebagai lembaga yang diberikan fungsi pengawasan, pembahasan, dan
persetujuan dalam penyusunan RAPBN, anggota DPR harus dimaknai secara
tepat. Salah satu pemahaman tersebut, peran dan keterlibatan DPR dalam
pembahasan dan persetujuan RAPBN mesti dimaknai sebagai pintu masuk untuk
melaksanakan fungsi pengawasan keuangan negara.
Sesuai dengan pemahaman ini,
ketika kesempatan ikut membahas dan menyetujui RAPBN dimanfaatkan
sedemikian untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok, para penyusun APBN
dapat dikatakan mengingkari secara nyata amanat konstitusi. Dalam hal ini,
Pasal 23 UUD 1945 secara eksplisit mengamanatkan bahwa pengelolaan keuangan
negara dilakukan secara bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Merujuk pertimbangan majelis
hakim kasasi, bentuk pengingkaran nyata amanat konstitusi dapat dilacak
dari tindakan aktif Angie meminta fee kepada Mindo Rosalina
Manulang sebesar 7 persen dari nilai proyek. Kemudian
disepakati, fee ini menjadi 5 persen yang harus sudah diberikan
50 persen saat pembahasan anggaran dan 50 persen (sisanya) saat DIPA turun
(Kompas, 21/11/2013). Secara sederhana, jelas Angie melakukan upaya
sistemastis dan terencana menggeser tujuan agung UUD 1945 menciptakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi keuntungan pribadi/golongan.
Memiskinkan koruptor
Bagi kalangan hakim sendiri,
putusan kasasi Angie memberikan pesan teramat jelas: dalam memutus kasus
yang merugikan keuangan negara, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan.
Dalam putusan ini, hakim kasasi menegaskan bahwa pengadilan tingkat pertama
dan banding terkesan enggan menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti
dengan alasan uang yang diterima Angie berasal dari swasta dan bukan dari
keuangan negara. Pada batas-batas tertentu, putusan ini harus dibaca
sebagai kritik terbuka hakim kasasi terhadap hakim pengadilan negeri dan
pengadilan banding yang gagal memaknai secara tepat ketentuan Pasal 17 dan
18 UU No 31/1999 juncto UU No 20/2002.
Boleh jadi, cara berpikir
seperti itu pula yang mendorong sebagian besar hakim di semua jenjang
peradilan gagal menjatuhkan hukuman berat dan pidana tambahan bagi pelaku
korupsi. Sejauh ini, putusan pengadilan terhadap pelaku korupsi hanya
berada pada kisaran 3 tahun 6 bulan penjara. Untuk sebuah kejahatan yang berpotensi
menghancurkan perekonomian dan masa depan, kisaran hukuman yang terbilang
ringan ini terasa hambar dan nyaris kehilangan pesan di tengah ancaman
korupsi yang mendera negeri ini.
Karena itu, banyak kalangan
berharap putusan kasasi Angie mampu mengubah cara pandang hakim dalam
memutus kasus korupsi. Di antara cara pandang yang didorong adalah
memberikan hukuman maksimal dengan maksud memberikan efek jera. Tidak hanya
sekadar mendorong, ketika korupsi dianggap sebagai kejahatan serius, secara
yuridis, UU No 31/1999 memberikan ruang untuk menjatuhkan pidana maksimal.
Bahkan, terlepas dari kontroversi hukuman mati, sebagai bagian dari desain
penjeraan, UU No 31/1999 memberi ruang untuk menjatuhkan hukuman mati.
Namun yang paling mendasar,
putusan kasasi Angie tidak hanya mendorong untuk menjatuhkan pidana
maksimal, tetapi juga mendorong untuk memiskinkan koruptor. Terkait dengan
hal ini, dalam ”Memiskinkan Koruptor” (Kompas, 12/3/2012) dikemukakan bahwa
menilik kecenderungan yang ada, salah satu motivasi orang melakukan korupsi
adalah karena mereka takut hidup miskin. Bahkan, bagi seorang politisi,
melakukan korupsi menjadi salah satu cara untuk melanggengkan kekuasaan.
Dengan pilihan memiskinkan, koruptor harus siap menghadapi risiko paling
buruk dan sekaligus kehilangan otoritas politik secara mengenaskan.
Melacak semangat ini, putusan
kasasi Angie dapat dikatakan sebagai langkah berani hakim melakukan
kombinasi antara pidana berat (maksimal) dan pilihan memiskinkan koruptor.
Karena itu, hakim di semua tingkat peradilan harus mampu membaca secara
tepat pesan di balik putusan kasasi Angie. Bahkan, untuk dapat menjadi
momok yang menakutkan, kombinasi hukuman kasasi Angie masih mungkin
ditambah dengan mencabut beberapa hak terpidana korupsi, seperti hak untuk
mendapatkan remisi. Di atas itu semua, yang jauh lebih penting, kombinasi
pidana maksimal dan pilihan memiskinkan koruptor tak boleh berhenti hanya
sampai putusan kasasi Angie. Putusan serupa harus jadi semangat baru untuk
menghentikan laju praktik korupsi yang kian masif. Apalagi, di depan kita,
banyak kasus korupsi dilakukan penyelenggara negara yang menunggu bukti
lebih lanjut untuk menularkan pesan di balik putusan kasasi Angie.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar