PENYADAPAN telepon
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ny Ani Yudhoyono, dan sejumlah menteri
oleh Australia mengingatkan kita pada bocornya Wikileaks tahun 2010. Hanya
segelintir elite dan warga yang marah kepada Amerika Serikat.
Rata-rata rakyat tidak
peduli karena penyadapan dan Wikileaks tak berhubungan dengan urusan perut.
Lagi pula yang membocorkan bukan Pemerintah Australia atau AS.
Boleh saja pemerintah
melancarkan protes, menuntut maaf, atau mengkaji ulang kerja sama
bilateral. Namun, itu ”salah alamat”.
Demo di Kedubes
Australia atau AS oleh segelintir orang silakan saja selama tak anarkis
atau bikin macet. Toh, hidup jalan terus.
Jelas yang membocorkan
penyadapan Edward Snowden, Wikileaks dibocorkan Julian Assange. Mereka
vandalis yang di banyak negara justru dielu-elukan sebagai pahlawan.
Akan makin banyak orang
yang membocorkan pelbagai jenis rahasia negara. Kita hidup di the internet galaxyyang menguak
tabir rahasia yang terpendam puluhan tahun.
Silakan pemerintah minta
Australia menyampaikan maaf. Namun, merujuk pada Wikileaks, mungkin
Australia cuma menyampaikan penyesalan saja alias enggan minta maaf.
Meminta maaf akan
ditafsirkan sebagai pengakuan bersalah. Dan, yang mengaku bersalah biasanya
terpaksa berjanji takkan mengulangi perbuatannya.
Berbeda dengan cuma
mengutarakan penyesalan sebagai tanda simpati, seperti yang
ditunjukkan AS saat Wikileaks bocor. Mana sudi Presiden Barack Obama minta
maaf pada kita?
Apalagi, Australia
sampai kiamat akan tetap melanjutkan penyadapan. AS juga tetap akan menulis
laporan-laporan rahasia negara yang dibocorkan para pejabat kita sendiri.
Memang begitulah dunia
intelijen yang mutlak harus berjalan terus tanpa gangguan. Pemerintah boleh
gonta-ganti ideologi atau partai, intelijen hanya loyal kepada negara.
Triliunan dollar AS
habis untuk dana intelijen Perang Dingin. Kelihatannya saja Gedung Putih
dan Kremlin yang berkuasa di AS dan Uni Soviet, padahal pemilik kuasa
terbesar NSA dan KGB.
Ibaratnya, selama
film-film James Bond masih laku dan berlanjut, kegiatan intelijen tak
pernah stop.
Kalaupun PM Australia
Tony Abbott minta maaf, itu hebat! Dan, jika ia berjanji takkan mengulangi
lagi penyadapan, itu istimewa!
Ingar-bingar penyadapan
tak perlu meningkatkan eskalasi yang memperburuk hubungan bilateral yang
bertetangga baik ini. Toh, hubungan bilateral pernah mencapai titik nadir
pascajajak pendapat Timor Timur 1999.
Buat kita yang penting
meninjau doktrin politik luar negeri a
thousand friends, zero enemies. Ini doktrin yang naif karena sejatinya tak
ada teman atau musuh yang abadi—yang yang ada hanya kepentingan yang abadi.
Pasca-Reformasi kita
berubah wujud jadi kekuatan menengah yang lemah di percaturan Asia Pasifik.
Dan, selama empat tahun terakhir kita jadi bangsa kerdil karena seluruh
sendi kehidupan dirusak oleh korupsi.
Kerusakan multi-faceted itu membuat kita abai menjaga
kedaulatan wilayah dan daya tahan nasional/regional. Semua tergerogoti:
mulai dari SDA (sumber daya alam) sampai SDM (sumber daya manusia), mulai
dari BUMN sampai harga diri.
Pendek kata, Indonesia
kini seperti bukan milik kita lagi. Dan, panggung politik nasional sampai
daerah terus-menerus digaduhkan dengan skandal-skandal korupsi.
Ketika pemerintah dari
pusat sampai daerah dalam kondisi lemah, intelijen negara-negara asing
bergerak cepat mengambil keuntungan. Bagi mereka, Indonesia yang lemah
dibalut korupsi ibarat ”surga di dunia”.
Sudah tertakdir kita
tidak bisa bersembunyi dari kompetisi sengit antarnegara yang bersaing di
kawasan. Kita negara kepulauan terbesar yang wajib membuka Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI) untuk kepentingan dagang dan militer
internasional.
Asia Pasifik kawasan
dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Semua negara di kawasan
terlibat sengketa wilayah laut dan darat, yang di bawahnya terkandung
kekayaan SDA dengan nilai ekonomi tak terkira.
Maka, semua negara di
kawasan ini memacu aktivitas mencari, mengumpulkan, dan menganalisis
data-data intelijen di Indonesia. Sekali lagi, salah satu kepentingan
intelijen mereka ialah melemahkan kita.
Setelah Perang Dunia
kedua berakhir, Indonesia jadi ajang pertempuran antardinas intelijen AS,
Uni Soviet, China, Jepang, Australia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan
lain-lain. Sadap-menyadap salah satu lingua
francayang menentukan perang antar-intelijen.
Terlalu naif meyakini
perubahan penting di republik ini, seperti tahun 1965 dan 1998, tak terkait
aneka kepentingan regional/global. Kita bisa jadi entitas yang ”serba
besar” selama bisa dikendalikan dari jauh olehremote control.
Penyadapan oleh
Australia ataupun Wikileaks hanyalah penegasan yang memperlihatkan kita
tidak akan kebal, juga sering jadi korban, dari perang intelijen yang
abadi. Beruntung Assange dan Snowden telah membuka lagi mata kita tentang
kelemahan-kelemahan kita.
Lebih baik urus wilayah
udara kita yang sebagian dikontrol tetangga kita yang kecil. Lebih baik
stop korupsi dana pembangunan jalan raya perbatasan darat di Kalimantan.
Janganlah mengorupsi
dana modernisasi patroli laut untuk menghentikan pencurian produk-produk
kelautan. Tambahlah dana intelijen untuk memperkuat kedaulatan, bukan untuk
merekayasa hasil pilpres-pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar