Pekan lalu Laily Prihatiningtyas ditunjuk Menteri BUMN Dahlan
Iskan menjadi chief executive officer
(CEO) di BUMN. Meski bukan di BUMN besar atau nature bisnisnya kompleks,
seperti perbankan, energi atau transportasi, penunjukan Laily tetap menarik
banyak perhatian.
Muda, pandai, dan berpendidikan bagus adalah
sebuah kebanggaan. Penunjukan itu merupakan kepercayaan. Di antara sosok
tua yang orangnya itu-itu saja, kehadiran orang muda pasti menjadi
perhatian. Tentu kita doakan agar Laily berhasil dan semakin banyak kaum
muda yang mendapat kepercayaan serta membuktikan kemampuannya. Namun saya
merasa perlu memberikan masukan-masukan dan berbagi pengalaman kepada kaum
muda yang menjadi CEO di usia muda.
Your Self
Power
Di usia 26 tahun saya juga pernah dipercaya
seorang pengusaha untuk memimpin perusahaannya. Dari angkatan saya di
Universitas Indonesia (UI), mungkin saat itu sayalah orang pertama yang
menduduki jabatan tertinggi. Tentu saja ini bukan perusahaan yang kompleks
dan mempunyai skop usaha yang sophisticated, tetapi kalau saya pikir
sekarang, rasanya lebih kompleks dari usaha yang dipercayakan kepada Laily.
Dan saya lebih senang menyebut pengusaha itu
sebagai “mentor” ketimbang bos atau atasan. Tidak dibimbing, saya dilepas
begitu saja karena saya dianggap pandai. Tapi setiap kali ada kesulitan,
mentor saya itu siap mendengarkan dan memberikan sesuatu. Meski demikian,
tetap saja ada hambatan mental dalam jiwa saya. Generation gap bukanlah
masalah yang simpel. Namun waktu berjalan, tetap saja saya merasakan
kesulitan. Kesulitan pertama, orang selalu menanyakan usia saya dan apa
latar belakang saya.
Meski merasa bisa dan mampu, kebanyakan orang
di sekitar saya sudah berada beberapa kilometer di muka saya. Itu saja
sudah cukup mengganggu influence yang bisa saya gunakan untuk menggerakkan
segala hal yang saya butuhkan. Kata orang, power is influence, not
position, dan saya memercayainya. Namun berkat kerja keras, lambat laun
saya mampu menjadi golden boy yang menjadi pusat perhatian. Saya bekerja
sangat keras untuk meraih influence itu. Namun harus saya akui ini tidak
mudah.
Dunia top executive adalah dunia orang berusia
40- an. Dan satu hal yang tidak bisa kita beli dengan usia muda adalah
pengalaman. Orang muda miskin pengalaman, jam terbangnya di usia kepala dua
masih sangat terbatas. Saya tidak tahu bagaimana anak-anak muda sekarang
yang dibesarkan dalam lingkungan yang borderless dan serbaterbuka. Mungkin
saja kita temukan orang-orang muda yang sudah punya cukup pengalaman,
tetapi kita harus meluaskan jangkauan pencariannya, dari kalangan
profesional itu sendiri.
Sementara Laily dibesarkan dalam lingkup
internal birokrasi kementerian. Namun akan lebih baik bila tangga karier
benar-benar dilalui: kenyang dimarahin di bawah (dan melakukan pekerjaan-
pekerjaan teknis), sudah matang memimpin di tengah, dan berhasil melewati ”office
politics” untuk naik ke atas. Masalahnya, sekarang ini kebanyakan orang
ingin serbacepat. Cepat-cepat naik, cepat berkuasa, cepat kaya, cepat jadi
bos. Padahal eksekutif puncak perlu melatih perspektifnya dulu di bawah.
Pekerjaan di bawah itu begitu banyak dan bisa
membuat kita hebat di atas kalau survive di bawah. Di bawah itulah
pekerjaan yang sesungguhnya terjadi di mana segala keruwetan harus diatasi.
Segala keputusan di atas akan berdampak besar di bawah. Orang-orang yang di
bawah itulah yang berhubungan langsung dengan pelanggan dan pihak luar. Di
situlah manusia belajar “menangkap” segala sinyal dan melatih muscle
memory-nya (myelin) untuk merespons. Maka hanya orang-orang yang tumbuh
dari bawahlah biasanya yang kuat di atas.
Mereka akan tahu dengan cepat “bahasa mata”
yang dimainkan para pelaku akrobat politik kantor yang bisa mengunci
keberhasilan para atasan. Tanpa kepekaan itu, sulit rasanya mematahkan
“mafia” yang mencengkeram perusahaan di tengah bila mereka eksis. Namun
begitulah pengelolaan usaha di sini, selalu ada invertia dan kelompok
kepentingan yang mengatur lalu lintas informasi dan rezeki. Inilah yang
saya sebut sebagai self power.Persepsi yang kuat bisa memperkaya leadership
dan keterampilan manajerial.
Kepercayaan
Diri
Masalah kedua muncul dari dalam. Dipercaya
dari luar adalah sebuah kredibilitas, tetapi dari dalam, pimpinan
perusahaan harus memercayai kemampuannya secara penuh. Ia harus bertanya
benar-benar secara jujur. “Aku ini ada di sini karena apa?” Apakah kemampuanku,
kerja keras jejaringku, karena aku dikenal atasan, atau maunya orang lain?
Kegundahan itu sudah pasti ada di hati orang lain. Ibarat pesawat terbang,
ia dikemudikan dengan 2–3 buah mesin yang harus berputar simultan.
Bila satu mesin saja mati akan menimbulkan
kegaduhan di dalam kabin dan dapat melumpuhkan kepercayaan diri para kru.
Dan kalau sebaliknya terjadi, kacaunya sama saja. Pemimpin usia muda yang
perspektifnya belum sempurna dapat menjadi overconfidence sehingga kurang
bijak dalam mendengar dan membaca sinyal. Akibatnya teamwork dan bawahan
menjadi kurang nyaman. Memang betul mereka bisa men-drive out para medioker yang lemah atau bad passenger yang
banyak bicara.
Tapi CEO muda perlu merapatkan barisan agar
“berjuang bersama-sama” dengan tim di dalam. Suara yang meninggi, berbicara
kasar, mudah meledak, menekan terlalu dalam, mengabaikan hubungan, dan
membentengi diri secara berlebihan adalah benih-benih gawat eksekutif muda
yang kurang matang. Laily tentu perlu mewaspadai dan menjaga ritmenya agar
berhasil. Demikian juga eksekutif-eksekutif muda lainnya.
Time management, managing your energy and chemistry, and
respect your team adalah kata kuncinya. Kepintaran dan intelektualitas
kita seakan tak ada harganya tanpa itu semua. Pak Dahlan sudah melakukan break, tetapi itu belum otomatis
menjadi breakthrough. Through-nya ada pada Laily sendiri,
sama seperti yang dilakukan Emirsyah Satar di Garuda Indonesia atau
Ignasius Jonan di PT KAI.
Dan itu harus dibuktikan, apalagi tahun depan
menteri dan atasan Laily mungkin akan berbeda dengan presiden yang
benar-benar baru. Itulah saat Laily harus membuktikan eksistensi dirinya,
berjuang bersama atasan atau berjuang bersama tim. Diterima di atas atau
diterima 360 derajat dengan laporan kinerja yang mumpuni. Selamat berkarya, sekaligus
berintrospeksi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar