Bangsa Indonesia yang sedang mempersiapkan
Pesta Demokrasinya pada Pemilu 2014 mendatang, tiba-tiba, digegerkan dengan
munculnya isu penyadapan oleh intelijen asing? Bahwa isu penyadapan itu
sebelumnya terbongkar berdasarkan dokumen Badan Keamanan Nasional Amerika
Serikat (National Security Agency), yang dibocorkan oleh Edward Snowden,
mantan agen spionase Amerika. Dalam pemberitaan media, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono telah menegaskan, bahwa “penyadapan yang dilakukan oleh
Amerika Serikat dan Australia ini telah mencederai kemitraan strategis
dengan Indonesia. Apalagi, Indonesia dan kedua negara itu adalah sama-sama
negara demokrasi!”.
Sejak adanya informasi terkait penyadapan
oleh Amerika Serikat dan Australia terhadap Indonesia, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menanggapi hal tersebut dengan sikap protes
keras pemerintah melalui jalur birokrasi (Kemenlu), dan pernyataan di
berbagai media. Meski demikian, Australia tak urung memperlihatkan itikad
baik sebagai negara tetangga yang mengaku menjadi mitra strategis Bangsa
Indonesia? Misalnya, melakukan proses klarifikasi, penyelidikan kasus,
penanganan hukum, bahkan permohonan maaf pun tidak? Sementara, bahwa dari
Canberra, Perdana Menteri Australia Tony Abbott justru bersikap menolak
menanggapi klaim bahwa badan intelijen Australia telah menyadap komunikasi
Presiden SBY pada 2009.
Bahkan, Abbott menilai jika penyadapan itu
suatu kewajaran? Karena, semua pemerintah negara di dunia tahu, bahwa
pemerintah negara lain mengumpulkan informasi (dikutip BBC). Sungguh sikap
Australia sangat lucu, dan sekaligus ngawur! Bagaimana tidak?, Perdana
Menteri Australia Tonny Abbott menganggap jika penyadapan yang dilakukan
melanggar hukum? Luar biasa, atau justru, Australia tak lagi menganggap
keramahan Indonesia sebagai mitra strategisnya, melainkan potensi ancaman
bagi masa depan negaranya?
Selasa (19/11/2013), di Gedung DPR RI
Jakarta, Anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya bahkan menyatakan tinggal
selangkah lagi hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Australia
berakhir. Hal ini diapresiasi melalui langkah tegas pemerintah yang menarik
Dubes RI di Australia sebagai bentuk protes. Dengan penarikan duta besar
Indonesia untuk Australia, itu berarti selangkah lagi Indonesia memutuskan
hubungan diplomatik dengan Australia. Selain itu, masyarakat
Indonesia juga sedang menunggu sikap tegas dan keras dari Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Presiden Barack Obama dan Perdana Menteri
Australia Tonny Abbott soal penyadapan ini. Meskipun, sikap pemanggilan Duta
Besar kedua negara telah dilakukan, namun yang kiranya diperlukan adalah
klarifikasi dari Presiden Amerika Serikat dan Perdana Menteri Australia
sesuai dengan otoritas dan kewenangannya. Bagaiana pun, persoalan
penyadapan ini bukanlah hal biasa-biasa saja seperti yang dikatakan oleh PM
Australia? Sebab, yang menjadi korban penyadapan adalah negara sahabat
sendiri.
Namun di tengah kegaduhan pemberitaan
tentang isu penyadapan itu, bagaimana kelanjutan pemberitaan tentang Edward
Snowden?, agaknya mantan agen spionase Amerika itu justru terlepas dari
lingkaran jerat polemik permasalahan yang ditimbulkannya? Pertanyaannya,
apakah kepentingan Edward Snowden atas konspirasi operasi penyadapan
intelijen Amerika Serikat dan Australia di Indonesia selama ini? Dan, sejak
kapan Intelijen Australia melakukan operasi penyadapan intelijennya di
lingkar birokrasi pemerintah Indonesia? Serta, bagaimana sikap dan tindakan
politik pemerintah Indonesia didalam menanggapi isu penyadapan intelijen
asing yang mulai menggugah rasa nasionalisme rakyat?
Pertama, siapakah Edward Snowden? Edward
Joseph Snowden (lahir 21 Juni 1983), adalah mantan kontraktor teknik
Amerika Serikat dan karyawan Central Intelligence Agency (CIA) yang menjadi
kontraktor untuk National Security Agency (NSA) sebelum membocorkan
informasi program mata-mata rahasia NSA kepada pers. Snowden membocorkan
informasi rahasia seputar program-progam NSA yang sangat rahasia seperti
PRISM kepada The Guardian dan The Washington Post pada Juni 2013. Snowden
mengatakan, bahwa pembocoran PRISM dan perintah FISA terkait dengan aksi
pengambilan data oleh NSA bertujuan mengungkapkan apa yang ia yakini
sebagai tindakan berlebihan oleh pemerintah untuk memantau aktivitas warga
Amerika Serikat. Skandal Snowden telah menyebabkan hubungan luar negeri
Amerika Serikat dengan beberapa negara di Eropa seperti Prancis dan Jerman
menjadi terganggu, termasuk bocoran informasinya terkait penyadapan
intelijen Australia di Indonesia yang menggegerkan Istana Negara beberapa
pecan ini. Berdasarkan pemberitaan media, bahwa Snowden saat ini berada
dibawah perlindungan suaka politik pemerintah Russia. Apakah Snowden
ini juga merupakan agen ganda Russia?
Kedua, sejak kapan Intelijen Australia
melakukan operasi penyadapan intelijennya di lingkar birokrasi pemerintah
Indonesia?
Sebagaimana artikel Philip Dorling yang
berjudul “Canberra Doesn't Trust
Jakarta” dalam SKH. Australia The
Age, edisi 19 November 2013. Dorling menyebutkan, bahwa Australia telah
memata-matai Indonesia sejak 1954, tepatnya sejak negeri Kanguru itu
membangun kantor kedutaan luar negeri pertama di Jakarta. Menurut Dorling,
dibalik deklarasi persahabatan antara kedua negara bertetangga ini,
Australia tidak pernah percaya dengan Jakarta, meski sudah menjalin
kerja sama bidang keamanan dan intelijen dengan Indonesia. Kami tidak
menganggap Indonesia sebagai sahabat sejati, dan kami tidak mengesampingkan
kemungkinan bahwa suatu hari, jauh di masa depan, (Indonesia) mungkin
menjadi ancaman," kata Dorling.
Lebih lanjut dikatakan Dorling, "Kami
telah memata-matai Jakarta untuk waktu yang sangat lama. Kedutaan Australia
di Jakarta adalah lokasi stasiun luar negeri pertama dari Intelijen Rahasia
Australia, didirikan pada tahun 1954, dan ASIS (Australian Secret Intelligence Service) selalu membuat
Indonesia sebagai prioritas utama."
Buku harian Duta Besar Australia pertama Sir
Walter Crocker di Indonesia mengungkap intelijen Australia melakukan
penyadapan sinyal direktorat pertahanan secara rutin sejak pertengahan
1950-an. Pada 1960, badan intelijen Inggris bernama GCHQ (The Government Communications
Headquarters), membantu Australia membongkar sinyal pertahanan dari
mesin sandi Hagelin yang diproduksi Swedia. Mesin ini dipakai kedutaan
besar Indonesia di Australia. Berikutnya pada 1970-an, fasilitas radio
sinyal pertahanan yang ada di Shoal Bay, di luar Darwin, telah memantau
komunikasi militer Indonesia, misalnya rencana Indonesia ketika hendak
menginvasi serangan ke pendudukan Timor-Timur. Operasi intelijen Australia
terus bekerja hingga 1999. Sejak saat itu Australia masih memiliki akses
luas untuk merekam komunikasi militer dan sipil Indonesia. Sesudah
Timor-Timur merdeka melalui jajak pendapat pada 1999, operasi intelijen
Australia terus berlanjut. Dan sepertinya, operasi intelijen Australia
sejak 1954 sampai 1999 ini berlanjut hingga pemerintahan Presiden SBY kini.
Ketiga, bagaimana sikap dan tindakan politik
pemerintah Indonesia didalam menanggapi isu penyadapan intelijen asing yang
mulai menggugah rasa nasionalisme rakyat?
Setelah berulang-kali meminta konfirmasi
Australia terkait penyadapan intelijennya di Indonesia, maka Pemerintah
akhirnya memanggil pulang Duta Besar Indonesia Nadjib Riphat Kesoema, di
Canbera, Australia untuk pulang ke tanah-air. Hal ini membuktikan, bahwa
pemerintah telah bertindak tegas dan terukur dalam menanggapi polemik
politik bilateral dengan Australia. Selain itu, pemerintah juga sedang
meninjau-ulang berbagai kesepakatan strategis dengan Australia, terutama
berhubungan dengan sektor perekonomian nasional. Dalam pemberitaan media,
bahwa Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto juga
menyatakan akan memanggil Duta Besar Australia, Greg Moriarty untuk
dimintai keterangan terkait penyadapan.
Sebagaimana pernyataan tegas Menteri Luar
Negeri Marty Natalegawa, bahwa Australia telah melanggar privasi individu
dan hak asasi manusia serta melukai hubungan antara kedua negara.
Sebagaimana pemberitaan media, bahwa
sejumlah pejabat pemerintah Indonesia yang menjadi target penyadapan
pemerintah Australia selain Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, adalah Ibu
Negara H. Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, Menko Bidang Perekonomian
Hatta Rajasa, Menko Polhukam Djoko Suyanto, Juru Bicara Kepresidenan Julian
Aldrin Pasha, nama lainnya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan
Menpora Andi Mallarangeng, mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan mantan
Panglima TNI Widodo AS. Demikian bocoran dokumen dari whistleblower NSA,
Edward Snowden yang dilansir Australian
Broadcasting Corporation dan The
Guardian.
Akhirnya, jikalau dalam waktu dekat Perdana
Menteri Australia Tony Abbot tidak juga mau meminta maaf secara resmi, maka
hal itu berarti Negeri Kangguru siap melepas hubungan diplomatik dengan
Indonesia. Dan, bila benar pemutusan hubungan diplomatik itu terjadi?, maka
Duta Besar Australia di Indonesia terpaksa kembali ke negaranya. Maka,
bahwa penjelasan resmi dari Dubes Indonesia untuk Australia terkait
penyadapan?, serta sikap resmi Tony Abbot untuk meminta maaf dari batas
waktu yang ditentukan?, jelas akan menentukan nasib hubungan diplomatik
kedua Negara (terhitung sejak November 2013). Dan sebagai pertimbangan,
bahwa banyaknya Warga Negara Indonesia (WNI) yang kini berdomisili di Benua
Suku Aborigin itu?
Terakhir, sebagai rakyat Indonesia, kita,
seyogyanya senantiasa mendukung langkah kebijakan nasional yang ditempuh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menyelesaikan polemik
penyadapan yang dilakukan oleh intelijen Australia. Maka, ketenangan,
kehati-hatian dalam beropini, dan fase kebangkitan rasa nasionalisme yang
lama mati suri kini dinantikan oleh Ibu Pertiwi Tercinta, demi menjaga
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar