PUTUSAN
hakim kasasi yang dipimpin hakim agung Artidjo Alkostar dengan menjatuhkan
pidana terhadap tiga dokter ternyata menimbulkan aksi solidaritas oleh
ribuan dokter dengan turun ke jalan (unjuk rasa) di Jakarta dan sejumlah
daerah.
Mahkamah Agung memvonis tiga
dokter RS Prof Kandou, Manado, dengan hukuman 10 bulan penjara pada 18
September 2012. Salah satu pertimbangan hukum MA, ketiga dokter itu
melakukan ”malapraktik” dalam menangani Julia Fransiska Maketey yang hendak
melahirkan pada 10 April 2010, yang akhirnya meninggal dunia.
Kita memahami solidaritas itu
sebagai kerisauan para dokter lantaran diduga terjadi kriminalisasi dalam
menolong pasien. Keniscayaan perlindungan terhadap dokter dalam
melaksanakan tugasnya yang amat mulia patut diapresiasi sebagai langkah
bijak untuk tak boleh mengkriminalisasi para dokter dan pekerja medis.
Kriminalisasi bisa dimaknai sebagai tindakan hukum yang sebetulnya tidak
bersalah, tetapi dinyatakan bersalah dalam sebuah proses peradilan.
Pemenuhan keadilan
Siapa pun akan mendukung dokter
yang bekerja secara profesional, menjalankan dan menaati seluruh standar
etika, moral, dan profesi. Apabila ada perlakuan yang tidak adil, bukan
hanya dokter yang gerah, melainkan juga pasien dan warga masyarakat akan
turut gelisah.
Akan tetapi, juga bisa muncul
pertanyaan: apakah dokter tidak bisa dipidanakan jika dalam melaksanakan
profesinya melanggar prosedur dalam penanganan seorang pasien sebagaimana
dimaksud dalam UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36/2009
tentang Kesehatan, dan Kode Etik Kedokteran?
Tulisan ini tidak akan terlalu
jauh menelisik posisi malapraktik dan risiko hukumnya yang sudah tertera
dalam putusan MA. Namun, ada pertanyaan lain yang juga patut dicermati,
selain memahami solidaritas para dokter. Misalnya, apakah pasien juga butuh
keadilan? Apakah pelayanan kesehatan yang mestinya juga berkeadilan buat
pasien dan semuanya, tetapi banyak yang tidak terpenuhi lantaran para
dokter meninggalkan tugas?
Pertanyaan ini juga sering
dilontarkan para pengusaha saat buruh berunjuk rasa atau mogok kerja, yang
menurut para pengusaha menimbulkan kerugian (ketidakadilan) bagi
perkembangan usahanya. Semua profesi di mata hukum tidak ada yang kebal
hukum, tetapi tidak boleh dikriminalisasi.
Apalagi hukum mengatur:
siapa pun bisa dipidana jika jelas-jelas dan terbukti melakukan pelanggaran
hukum dalam menjalankan profesinya.
Aksi solidaritas dokter dengan
melakukan unjuk rasa dijamin dalam konstitusi. Akan tetapi, tidak boleh
berimplikasi sebagai pembenaran seolah-olah betul terjadi kriminalisasi
dalam putusan MA. Upaya hukum masih bisa dilakukan melalui peninjauan
kembali (PK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat 2 KUHAP.
Pertama, bila terdapat keadaan
baru atau bukti baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat jika keadaan itu
diketahui saat sidang masih berlangsung, hasilnya bisa membebaskan terdakwa
atau dipidana lebih ringan.
Kedua, bisa juga terjadi jika
sejumlah putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi
alasan putusan yang dinyatakan terbukti itu ternyata bertentangan satu
dengan yang lain. Ketiga, jika putusan itu dengan jelas memperlihatkan
suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan nyata. Artinya, putusan MA
secara nyata terjadi kekeliruan hakim dalam menerapkan pasal undang-undang.
Ketiga alasan untuk mengajukan PK merupakan alasan yang bersifat limitatif.
Profesi dokter begitu mulia
lantaran berada pada wilayah kemanusiaan, yang bertujuan menolong orang dan
tidak berniat membahayakan pasien. Ini merupakan konsekuensi dari filosofis
bahwa tidak ada pekerjaan yang mulia di muka bumi ini yang diniatkan untuk
membahayakan orang lain. Kecuali, tentu saja, para penjahat atau koruptor
yang memang memiliki niat jahat (mens rea) sehingga tidak bisa dijadikan
argumen pembenaran untuk melakukan aksi solidaritas oleh sejawatnya.
Tidak antikritik
Profesi apa pun tidak luput dari
kesalahan atau kealpaan karena yang menjalankan adalah manusia biasa. Tak
boleh antikritik, apalagi arogan, dalam menyikapi putusan hukum sebab sudah
disiapkan sarana untuk memperbaikinya jika putusan itu dianggap salah atau
keliru.
Dalam beberapa keluhan di
masyarakat, seperti profesi kepolisian, advokat, atau guru dan dosen
acapkali juga menerima kritik tajam. Hal ini sesuatu yang wajar sebab dalam
praktik sehari-hari, ada saja polisi yang dinilai menyalahi ketentuan, advokat
yang keliru, atau guru dan dosen dicurigai tidak adil memberikan nilai.
Begitu pula profesi dokter, misalnya keluhan bahwa dokter lamban atau
ceroboh menangani pasien. Semuanya harus disadari bahwa kritik itu berguna
sebagai introspeksi untuk diperbaiki dan tidak akan terulang di kemudian
hari.
Kasus tersebut memberi pelajaran
amat berharga bahwa keadilan haruslah diberikan untuk semua. Siapa pun
harus berlaku adil kepada dokter, kepada pasien, dan kepada siapa saja
untuk memperoleh perlakuan adil dalam kehidupan sehari-hari dan di muka
hukum.
Solidaritas patut diapresiasi
asalkan dilakukan dengan elegan dan bermartabat untuk menyelesaikan
persoalan. Dalam negara hukum, putusan hakim selalu dihormati meski wajar
dikritisi. Kalau putusan MA yang secara formal telah berkekuatan hukum
tetap dianggap tidak adil, disediakan mekanisme untuk melawan ketidakadilan
itu.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar