Kita telah memasuki abad millenium, dimana kemudahan
akses informasi semakin mendominasi segala lini kehidupan. Keadaan ini
merupakan sebuah tantangan bagi bangsa kita untuk mensejajarkan diri dengan
bangsa lain, dengan segala potensi sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki.
Jika tidak terus bergerak, maka kita pasti akan tertinggal. Patut disyukuri
beberapa hal kita bisa unggul dibandingkan dengan bangsa lain, namun di
sisi lain beberapa hal kita juga masih dinilai jauh tertinggal, semisal
rendahnya kemampuan bernalar serta rendahnya minat membaca yang keduanya
merupakan suatu indikator kemajuan sebuah bangsa.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengingatkan
dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus 2013 lalu bahwa kemungkinan bangsa ini
akan terjebak dalam ekonomi menengah (middle
income trap). Dimana masyarakat kita merupakan orang-orang yang
pengeluaran per kapita per harinya sebesar 2-20 dolar AS. Dari pengertian
tersebut, menurut McKinsey, jumlah kelas menengah di Indonesia dari 2003
sejumlah 81 juta naik sekitar 50 juta orang menjadi 131 juta orang pada
2010. Hal ini tentu merupakan peningkatan yang sangat fantastik.
Namun, peningkatan ini tetap harus diwaspadai. Jangan
sampai kita terlena dan terjebak dengan hasil yang sangat cepat. Banyak
contoh dari berbagai negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang masuk
dalam jebakan kelas menengah, namun pertumbuhannya justru malah jadi
tersendat dan menjadi konsumtif akan produk dari negara lain. Maka,
peningkatan kualitas SDM harus terus dilakukan agar kita akan mampu
bertahan dan bahkan mampu mengungguli negara lain.
Pendidikan merupakan sebuah jalan yang diharapkan mampu membawa
bangsa ini kepada kemajuan, dengan guru sebagai garda terdepan pemimpinnya.
Tilaar (2012), mengatakan, bagaimanapun bentuk masyarakat yang akan datang,
profesi guru tetaplah diperlukan. Fungsi dan peranannya bisa saja terus
berubah, namun profesi ini akan tetap langgeng selama manusia memerlukan
sosok guru untuk membantu setiap perkembangannya, yang tidak mungkin
diserahkan begitu saja kepada kekuatan alam.
Guru diharapkan mampu membimbing anak manusia melalui
setiap tahap perkembangannya. Guru dianggap mempunyai pengalaman dan
kemampuan khusus dalam membantu anak manusia menjadi seorang yang
berkepribadian dan sanggup memasuki dan menghadapi dunia baru yang penuh
dengan tantangan dan harapan.
Guru sekarang, bukan lagi disebut pahlawan tanpa tanda
jasa. Hal ini terjadi setelah tunjangan sertifikasi guru digulirkan,
sehingga guru dituntut untuk benar-benar profesional menjalankan
pekerjaannya. Menjadi profesional dibutuhkan sebuah mental
transformasional, bukannya malah menjadi transaksional (sekuler-kapitalistik),
yaitu sebatas mentransfer ilmu untuk siswanya selama 24 jam mengajar, dan
sebagai imbalannya mereka mendapatkan tunjangan profesional.
Itulah tantangan besar seorang guru. Maka, perubahan
atas dirinya pun mutlak diperlukan, karena tanggung jawab besar ada di
pundaknya. Seorang guru seharusnya mempunyai dasar ilmu pengetahuan yang
kuat serta mau dan mampu meng-update informasi dan pengetahuan yang ada
padanya. Masyarakat yang kompetitif tentu saja hanya bisa terlahir dengan
bantuan seorang guru yang profesional juga.
Keberanian seorang guru melakukan sebuah transformasi
dalam model pembelajarannya adalah sebuah langkah besar bagi dirinya untuk
memberikan satu hal terbaik bagi siswanya. Keputusan bertransformasi itu
dapat diartikan guru mampu melepaskan segala macam kungkungan status quo
lingkungan, keterbelakangan dan juga ketertinggalan. Artinya, ia dia telah
menjadi pahlawan untuk dirinya sendiri dalam mengalahkan egoisme, kemalasan
dan juga kenyamanan. Semua dilakukan untuk orang lain, yaitu siswanya.
Hari guru yang diperingati setiap tanggal 25 November
bertepatan juga dengan hari kelahiran organisasi terbesarnya, PGRI, yang
kini telah memasuki usianya yang ke-68. Di usianya ini, profesi guru di
negeri ini boleh dikatakan baru menggeliat beberapa tahun terakhir, setelah
kesejahteraannya mulai diperhatikan.
Repotkan Guru
Sinyalemen ini pun nyatanya mampu mendongkrak minat
lulusan SMA memasuki LPTK. Terlepas dari pandangan bahwa niatan mereka ini
karena sekedar mengejar materi, namun hal ini merupakan sebuah kabar baik,
bahwa peningkatan jumlah peminat menjadi guru akan memberikan ruang untuk
menyeleksi calon-calon guru yang lebih baik.
Maka, harapan besar akan terlahirnya guru-guru yang
lebih berkualitas mulai terbangun. Semua tentu saja harus diimbangi dengan
peningkatan kualitas guru yang sudah ada. Keluhan-keluhan dari berbagai
pihak akan stagnannya kinerja guru, bahkan menurun pasca kesejahteraannya
dinaikkan, harus menjadi lampu kuning bagi pemerintah maupun guru sendiri.
Pemerintah harus menetapkan standar yang lebih jelas dan
tegas untuk penilaian keprofesionalan seorang guru. Berubah-ubahnya
persyaratan dan ketatnya aturan seharusnya bukan malah menyulitkan dan
merepotkan apalagi menambah pekerjaan guru. Kecenderungan yang ada, banyak
guru kini malah sibuk memperjuangkan nasibnya sendiri, bolak-balik
mengurusi berkas ini dan itu, yang kesemuanya itu justru akan mengganggu
kinerjanya pada tataran proses belajar mengajar yang menjadi pekerjaan
utamanya.
Sebaliknya guru harus memberikan umpan balik yang
seimbang atas perbaikan yang telah diupayakan oleh pemerintah. Integritas,
konsistensi dan komitmen seorang guru adalah sebuah harga mati yang harus
dimiliki untuk mengantarkan anak-anak didiknya menjadi manusia yang lebih
unggul dan berkualitas. Selamat Hari
Guru! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar