Ada
sederet modus penyelewengan dana BUMN untuk kegiatan politik praktis. Modus
tersebut sangat rapi dan terbungkus dengan program sosial dan
kemasyarakatan yang selama ini dilakukan pengelola BUMN. Modus itu semakin
marak karena pucuk pimpinan BUMN semakin getol bermain politik praktis dan
terjun langsung dalam kegiatan konvensi parpol untuk merebut tiket calon
presiden dalam Pemilu 2014.
Sudah barang tentu aksi Menteri BUMN, Dahlan
Iskan, yang getol bermain politik praktis berpengaruh langsung terhadap
kondisi pengelola BUMN yang secara halus dan diam-diam mendapat tekanan dan
bermacam titipan kegiatan sosial sepanjang tahun politik. Tekanan itu bisa
datang dari para komisaris BUMN yang notabene kebanyakan adalah
inner-circle penguasa atau mantan menteri dan mantan pejabat negara
lainnya.
Kekhawatiran sejumlah kalangan dan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait penyaluran dana secara terselubung oleh
BUMN untuk kegiatan politik praktis sangat berdasar. Ada berbagai modus
untuk mengeruk dana BUMN bagi kegiatan politik.
Modus yang paling empuk adalah memainkan
dana tanggung jawab sosial (CSR) BUMN yang dikenal dengan sebutan dana
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang digelontorkan kepada
kelompoknya. PKBL mirip dengan bansos yang selama ini menjadi senjata ampuh
para petahana untuk mempertahankan jabatan dalam pilkada. PKBL sangat
rentan untuk kegiatan sosial yang ditunggangi kampanye terselubung parpol
atau politisi.
Modus lain yang lebih menyerempet bahaya
adalah commitment fee dari BUMN kepada parpol atau politisi yang telah
membantu memenangi proyek tender. Di BUMN sektor perbankan, modus juga
dilakukan dengan penyaluran kredit fiktif yang kemudian dianggap macet.
Commitment fee semacam itu, salah satunya, telah dikuak KPK dalam kasus
korupsi proyek Pedidikan dan Latihan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) Hambalang.
Modus lain yang bisa menghancurkan masa
depan BUMN yang selama ini dianggap sehat dengan laba gemuk adalah dengan
cara menjual anak perusahaan. Padahal, anak perusahaan BUMN itu memiliki
posisi sangat strategis dalam menunjang kegiatan korporasi induk. Salah
satu modus tersebut yang patut dicurigai dan terus diawasi adalah penjualan
Mitratel, anak perusahaan PT Telkom.
DPR sudah menolak aksi penjualan Mitratel,
apalagi ada aturan bahwa rencana penjualan aset yang bernilai di atas 200
miliar rupiah harus disetujui DPR. KPK harus mendalami alasan pengelola PT
Telkom begitu berkeras dan suka menjual anak perusahaan. Kasus penjualan
Telkomvision sebaiknya juga diusut lebih mendalam karena telah menjadi
preseden buruk bagi direksi BUMN lainnya. Mereka ikut menjual secara
serampangan anak perusahaan.
Ironi
Telkom adalah perusahaan telekomunikasi
berperingkat AAA yang sangat gampang memperoleh pendanaan dari pasar
finansial. Jadi, penjualan Mitratel untuk mendapatkan pendanaan sangat
ironis. Hal itu justru bisa mengurangi posisi tawar PT Telkom di kemudian
hari. Sekadar catatan, Telkom memiliki nilai pasar sekitar 225 triliun
rupiah atau hampir tujuh kali lipat dari perusahaan-perusahaan menara
seperti Tower Bersama atau Sarana Menara.
Telkom juga perusahaan dengan rasio utang
yang jauh lebih baik dari perusahaan-perusahaan menara. Maka, jauh lebih
mudah mendapat utang dibandingkan perusahaan menara mana pun. Selain itu,
Mitratel sendiri adalah perusahaan yang sangat menguntungkan dengan marjin
laba bersih sekitar 20 persen. Angka tersebut lebih baik dari perusahaan
induknya sendiri. Mitratel juga memiliki captive market sangat besar, yaitu
Telkom dan Telkomsel.
Mestinya, Direksi PT Telkom belajar dari
pengalaman pahit PT Indosat yang telah menjual 4.500 menara ke Tower
Bersama. Yang terjadi setelah penjualan, Tower Bersama membukukan laba
sangat besar dengan marjin laba hampir 50 persen, sedangkan Indosat
mencatat kerugian yang cukup besar dalam sembilan bulan tahun 2013 ini,
antara lain akibat meningkatnya biaya sewa menara.
Penjualan anak perusahaan BUMN sarat dengan
kepentingan politik sehingga harus dicegah karena kelak akan mengurangi
kinerja, bahkan bisa menghancurkan induk.
Akar persoalan timbulnya modus-modus
penyelewengan dana BUMN dari yang empuk hingga modus yang paling kasar
karena pola rekrutmen direksi dan Komisaris BUMN. Selain jumlahnya yang
terlalu banyak dengan gaji sangat tinggi, komisaris dan direksi BUMN juga
kurang menguasai persoalan teknis BUMN karena mereka datang dari latar belakang
yang tidak relevan dengan tantangan BUMN. Tidak mengherankan bila pengelola
BUMN tidak mengerti portofolio usaha dan prosedur pengadaan barang serta
menentukan harga pembelian komponen yang ideal.
Sebenarnya pengeluaran atau belanja BUMN
saat ini menjadi faktor sangat penting untuk menanggulangi laju pelambatan
perekonomian nasional. Celakanya, ada masalah mengenai optimalisasi belanja
karena kompetensi dan kredibilitas pengelola yang kurang memadai. Hal itu
juga berdampak buruknya penyerapan anggaran dan peruntukan.
Kini, para pengelola BUMN tidak mau
repot-repot lagi kerja detail untuk mengatasi masalah pengadaan barang dan
faktor efisiensi. Mereka juga kurang menyadari proses bisnis global yang
kini mengedepankan solusi teknologi e-sourcing.
Solusi elektronik berbasis internet ini merupakan kerangka atau bagian dari
e-procurement.
Sebenarnya solusi tersebut bukan sekadar
katalog elektronik untuk pengadaan barang dan jasa BUMN, namun bisa
dijadikan rujukan standar teknis barang atau jasa publik bagi para user.
Sebagai source harga pasar untuk owner
estimate (OE), perkiraan yang dikalkulasi lewat keahlian, sebagai acuan
utama dalam menilai kewajaran harga di lingkungan BUMN. Solusi tersebut
dikembangkan dengan prinsip supply
chain management (SCM). Mestinya ada integrasi e-sourcing terhadap seluruh BUMN agar bisa mengurangi mark up dan penyimpangan tender.
Apalagi, sebagian besar BUMN, hingga kini,
belum bisa menyediakan laporan keuangan yang baik sesuai dengan standar
pelaporan keuangan. Hanya sedikit BUMN yang dapat membuat laporan keuangan
dengan baik sesuai dengan kaidah International Financial Reporting
Standards.
Padaahal, ukuran kinerja keuangan BUMN
merupakan faktor penting untuk mewujudkan IPO BUMN yang berkualitas. Secara
umum, makna kata kinerja atau performance merupakan outcome yang dihasilkan dalam suatu periode. Ukuran kinerja
keuangan BUMN yang dipakai adalah profitabilitas, yang diartikan sebagai
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Profitabilitas dapat mengukur
kinerja perusahaan secara keseluruhan dan dapat mengukur tingkat efisiensi
dalam pengelolaan aset, kewajiban, dan ekuitas perusahaan.
Agar peran komisaris lebih efektif dalam
mengembangkan BUMN, mestinya sosok yang dipilih harus bisa mengevaluasi
kinerja korporasi. Mereka juga harus aktif mengontrol aksi-aksi direksi
secara independen dan bebas politik praktis. Melihat kondisi BUMN yang
masih karut-marut, mestinya jumlah direksi dan komisaris sebaiknya
dipangkas.
Birokrasi gemuk di tubuh perusahaan negara
malah membuat kas perusahaan goyah karena harus menggaji tinggi para
pemimpin. Sayang, selama ini, Menteri BUMN, Dahlan Iskan, hanya berani
menggeser atau mengganti jajaran direksi, tetapi jarang mengutak-atik
posisi komisaris angker yang banyak menyedot anggaran, tetapi kurang
kredibel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar