“The easy way out usually leads back in.” (Senge, 1990)
Sudah saatnya bangsa
Indonesia lebih berhati-hati dalam mencari solusi permasalahan bangsa.
Jalan keluar yang ditawarkan harus dipastikan berdasarkan kerangka pikir
bersifat holistik serta berorientasi pada penyembuhan akar masalah.
Belum lama ini,
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merilis data terbaru mengenai
mengguritanya korupsi di daerah. Tercatat sejak tahun 2005 hingga Oktober
2013, 309 kepala daerah di Tanah Air terjerat kasus korupsi.
Menyikapi itu, Kemendagri membuka wacana ke publik agar mekanisme pilkada
kembali ke konsep tidak langsung, kepala daerah kembali dipilih wakil
rakyat di DPRD. Alasannya, pemilihan kepala daerah langsung dianggap berbiaya
tinggi.
Kemendagri menganggap mekanisme politik ini mendorong praktik jual beli
suara yang dilakukan antara pasangan calon dengan masyarakat pemilih.
Kemendagri yakin, tingginya biaya di atas menyebabkan kepala daerah
terpilih lebih berhasrat melakukan korupsi, guna mengembalikan modal
politik mereka.
Secara sekilas, argumentasi Kemendagri di atas memang tampak logis. Namun,
Kemendagri terkesan menilai faktor pendorong korupsi di daerah hanya
terletak pada masyarakat pemilih saat pilkada. Padahal, patut diyakini
terdapat aneka faktor pendorong korupsi lain.
Lebih dari itu,
dengan “menyalahkan” masyarakat pemilih, berarti Kemendagri mengabaikan
realita bahwa kepala daerah adalah individu yang berdaulat dalam menentukan
tindakannya, baik untuk bersikap korup maupun tidak.
Integritas dan Sistem
Di satu sisi, adalah benar masyarakat kerap menentukan pilihan mencoblos
berdasarkan amplop yang diberikan tim pasangan calon. Masyarakat cenderung
mencoblos pasangan calon yang memberi uang. Jika pasangan calon yang
bermain politik uang lebih dari satu, mereka cenderung memilih yang memberi
paling besar.
Dalam hal ini, benar apa yang dikatakan Mochtar Lubis tiga setengah
dasawarsa lalu (1977), masyarakat Indonesia memang munafik. Masyarakat
tidak sepakat dengan perbuatan korupsi, tapi bila menguntungkan, mereka mau
terlibat/mendukung praktik korupsi tersebut (Hehamahua, 2011).
Namun, praktik jual beli suara tetap tidak akan terjadi bila seluruh
pasangan calon menolak melakukan politik uang. Sayangnya, hasrat berkuasa
para pasangan calon kerap demikian tinggi. Mereka sering menghalalkan
segala cara untuk menang, termasuk membeli suara pemilih.
Sikap di atas kemudian dibaca sebagai peluang investasi oleh para pengusaha
nakal. Mereka menalangi keinginan pasangan calon untuk membeli suara
pemilih. Sebagai imbalannya, jika sang mereka menang, sistem pemerintahan
akan diselewengkan untuk memenuhi kepentingan pengusaha.
Sebelum pengusaha
melakukan investasi, tentu mereka telah melakukan kalkulasi. Mereka yakin
investasi mereka akan kembali membawa keuntungan. Artinya, bila aktivitas
ini jamak terjadi, mengindikasikan ada yang salah dengan sistem
pemerintahan kita.
Potret buram di atas menegaskan Kemendagri tidak sepatutnya menyalahkan
pilkada langsung. Problem integritas tidak hanya melanda masyarakat
pemilih, tetapi (setidaknya) juga melanda pasangan calon serta pengusaha
nakal. Problem integritas ini berbaur dengan lemahnya sistem pemerintahan,
sehingga mudah diselewengkan.
Pertanyaan Kritis
Mengingat realita permasalahan ternyata lebih kompleks, tawaran solusi
Kemendagri untuk mengubah mekanisme pilkada terkesan menyederhanakan
masalah sebagaimana pemikiran Senge di awal tulisan ini. Jalan keluar yang
mudah biasanya tidak memecahkan masalah, tetapi hanya membuat kita kembali
ke posisi semula (berjalan di tempat).
Solusi Kemendagri tidak menyinggung upaya peningkatan integritas.
Akibatnya, wajar jika kemudian diajukan pertanyaan, bagaimana jika solusi
Kemendagri hanya membuat praktik suap sekadar berpindah dari pasangan calon
“menyuap masyarakat” menjadi “menyuap anggota DPRD”?
Hal ini penting untuk dijelaskan. Jangan sampai publik berpendapat, output
yang membedakan antara gagasan pilkada langsung dengan pilkada via DPRD
hanya terletak pada siapa yang mendapat “kue” dan seberapa besar “irisan
kue” tersebut diperoleh.
Lebih dari itu, menjadi relevan untuk menanyakan dampak pilkada via DPRD.
Apakah sistem pemerintahan di daerah akan menjadi semakin kuat atau semakin
rentan untuk diselewengkan?
Patut diduga, kemungkinan yang belakangan disebutlah yang justru akan
tercipta. Pilkada tidak langsung membawa implikasi eksekutif tidak lagi
bertangung jawab langsung kepada rakyat, tetapi kepada DPRD sebagai pihak
yang memilih. Dengan demikian, mekanisme checks and balances berpotensi
terganggu. Pendulum kekuatan lebih condong ke lembaga perwakilan daerah.
Mengurai lebih lanjut dari kerangka pikir Abdullah dan Asmara (2006),
implikasi negatif dari hal ini adalah anggota DPRD akan bersikap lebih
oportunistis dalam mendesain APBD. Anggaran daerah akan diarahkan untuk
memenuhi kepentingan pribadi dan/atau kelompok anggota DPRD, serta perilaku
ini akan lebih sulit dicegah oleh eksekutif.
Baik kiranya jika Kemendagri meninggalkan wacana pilkada via DPRD, untuk
kemudian fokus untuk mencari solusi (i) peningkatan integritas para
pemangku kepentingan yang terlibat pilkada, serta (ii) perbaikan sistem
pemerintahan daerah.
Namun, jika
Kemendagri bersikeras melanjutkan wacana pilkada via DPRD, perlu dijawab
aneka pertanyaan kritis di atas. Termasuk membuktikan tidak akan terjadinya
dampak negatif yang dikhawatirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar