KETIKA saya berceramah di
Perhimpunan Masyarakat Amerika Serikat-Indonesia (US-Indonesia Society, Usindo) di Washington DC beberapa pekan
silam, banyak yang skeptis akan keberhasilan memberantas korupsi di
Indonesia.
Puncak pesimisme itu adalah
ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelum itu, Kepala BP Migas Rudi Rubiandini
juga ditangkap KPK. Maka, munculnya pesimisme itu masuk akal dan manusiawi.
Siapa yang menduga MK yang selama ini dianggap bersih dan berwibawa
akhirnya terjerat kasus korupsi juga. Bahkan tidak tanggung-tanggung, yang
terlibat justru ketuanya.
Sudah ratusan koruptor diciduk
KPK, dan sebagian besar sudah meringkuk di penjara. Mereka adalah gubernur,
bupati, wakil wali kota, menteri, komisioner, kepala badan, dan
anggota-anggota DPR, baik daerah maupun pusat.
Sampai tahun 2012, KPK sudah
menangani 283 kasus korupsi. Dari 283 kasus korupsi ini, terbanyak adalah
kasus penyuapan (bribery) dan pengadaan barang dan jasa (procurement).
Selebihnya adalah penyalahgunaan APBN/APBD, gratifikasi, dan pemerasan.
Terakhir ada juga kasus yang berbau penggunaan pengaruh kekuasaan atau trading
in influence, seperti kasus kartel daging sapi impor.
Sebetulnya dengan jumlah
sebanyak ini, kita mesti bangga bahwa untuk
pertama kali dalam sejarah
negeri ini ada sekian banyak kasus korupsi yang diseret ke pengadilan. Pada
32 tahun Orde Baru, kasus korupsi yang sampai ke pengadilan bisa dihitung
dengan jari.
Jadi, meski harapan begitu
tinggi, kita mesti juga menyadari bahwa pemberantasan korupsi butuh waktu
yang panjang. Korupsi yang sudah systemic, endemic, dan widespread, seperti
kata Transparency International,
tak akan mudah diberantas hanya dalam kurun waktu singkat, apalagi KPK baru
efektif bekerja pada tahun 2003.
Tutup mata
Penting untuk mengingat bahwa
dulu korupsi dianggap bisa ditoleransi, baik dari segi budaya maupun
ekonomi. Tak kurang dari ilmuwan ternama, Samuel Huntington, mengatakan
bahwa korupsi bisa berperan sebagai minyak pelumas (lubricant, grease) dari
pertumbuhan ekonomi di mana birokrasi yang lamban bisa digenjot. Malah ada
yang menggunakan istilah functional
corruption.
Para teknokrat kita saat itu
bukan tak menyadari, melainkan secara sadar setengah menutup mata karena
angka pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi. Para teknokrat kita
waktu itu terbantu iklim kebebasan pers yang terkungkung ancaman
pembredelan oleh pemerintah. Alhasil, semua korupsi menemukan lahan yang
subur sehingga korupsi diterima sebagai norma. Korupsi bukanlah kekecualian.
Tak heran jika para pengusaha
waktu itu memasukkan korupsi sebagai bagian dari komponen investasi.
Bentuknya bisa saham kosong, nepotisme dan kolusi dalam berbagai pengadaan,
atau keuntungan yang dialirkan ke sejumlah badan sosial.
Dalam literatur mengenai
korupsi yang jumlahnya sudah puluhan ribu karena studi mengenai korupsi
sudah marak sejak 1980-an, ada yang membuat klasifikasi korupsi dengan
menggunakan warna. Arnold J Heidenheimer banyak menulis persoalan
korupsi, membagi korupsi dalam tiga warna: korupsi hitam (black corruption), korupsi putih (white corruption), dan korupsi
abu-abu (grey corruption).
Korupsi hitam adalah korupsi
yang sangat merugikan keuangan negara, merusak perekonomian, dan tak bisa
dibenarkan apa pun alasannya. Korupsi putih adalah korupsi yang fungsional
dan memberi dampak positif sehingga masih bisa ditoleransi. Adapun korupsi
abu-abu adalah korupsi yang berada di antara kedua korupsi tersebut.
Celakanya, banyak korupsi yang
masuk kategori korupsi abu-abu di mana para penguasa dan koruptor bisa
bermain-main. Di sini kontrol terhadap kekuasaan dan media ikut menentukan
perubahan dari korupsi abu-abu menjadi korupsi yang masuk kategori putih.
Di negara otoriter, hal ini
dengan gampang bisa dilakukan karena di situ masyarakat sipil antikorupsi
tak berfungsi optimal. Mentalitas banyak orang Indonesia masih di lingkar
di mana mereka merasa bisa mengubah korupsi yang mereka lakukan, hitam atau
abu-abu, menjadi korupsi putih. Karena itu angka korupsi tidak pernah
turun.
Setiap hari media kita terus
sibuk dengan berita mengenai korupsi. Dan memang kita dikejutkan oleh
berita korupsi yang sering mencengangkan kita semua. Orang yang selama ini
kita anggap terhormat dan saleh tiba-tiba tertangkap tangan karena korupsi.
Orang-orang yang sering berpidato untuk penegakan hukum tiba-tiba menjadi
tersangka korupsi.
Rupanya ratusan orang yang sudah
dihukum sebagai koruptor tak membuat orang jera untuk korupsi. Anehnya
mereka semua tahu bahwa transaksi melalui elektronik itu bisa dilacak oleh
PPATK, tetapi tetap saja mereka menggunakan modus tersebut.
Jadi, kita sering tak bisa
memahami kecerdasan para koruptor yang nekat korupsi dengan uang tunai dan
transaksi perbankan. Intelektualitas mereka sudah bebal. Mereka menganggap
bahwa hanya orang-orang sial yang akan tertangkap. Buktinya masih banyak
yang terus korupsi dan tak tertangkap.
Mudah lupa
Mereka hanya gemetar ketika
melihat seseorang tertangkap dan diberi baju tahanan muncul di koran dan
layar televisi. Namun, seminggu kemudian, mereka lupa dan korupsi lagi.
Korupsi itu seperti opium, malah ada yang mengatakannya sebagai sexual
deviance.
Kita semua menginginkan
KPK lebih berhasil lagi dalam memberantas korupsi. Angka 283 kasus korupsi,
seperti yang dilaporkan dalam Laporan Tahunan KPK 2012, memang bukan angka
yang besar jika dibandingkan dengan angka kasus korupsi di China yang
jumlahnya sudah puluhan ribu, melainkan angka itu cukup signifikan.
Pesimisme bahwa KPK akan
berhasil harus dicatat sebagai cambuk untuk bekerja lebih keras lagi, tetapi
jangan biarkan diri kita tidak percaya bahwa pemberantasan korupsi tersebut
akan berhasil.
Italo Pardo dalam buku Between Morality and the Law menulis hal
yang sangat bagus, ”a belief in the
prevalence of corruption is corrupting in its own right”.
Kita harus percaya bahwa korupsi
bisa diberantas. Membiarkan diri kita percaya bahwa korupsi itu biasa dan
merajalela adalah juga sebuah korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar