Dilema
Jurnalisme Warga
Bagja Hidayat ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
23 November 2013
Jurnalisme warga bermasalah sejak dari nama.
"Warga" adalah kata yang melekat pada tempat. Ia tak bisa berdiri
sendiri: warga Solo, warga Jakarta, warga Bojongkenyot. Dan,
"jurnalisme" dipersempit menjadi sekadar mengumpulkan dan menyiarkan
kabar tentang sebuah kejadian.
Istilah
jurnalisme warga diIndonesiakan dari citizen journalism, yang lahir dari
gerakan wartawan Amerika Serikat mengikutsertakan publik dalam memberi
informasi tentang calon-calon presiden dalam pemilihan umum pada 1988.
Setelah itu, citizen journalism berkembang menjadi partisipasi publik dalam
melaporkan peristiwa di sekitarnya dalam media non-konvensional. Karena
itu, padanan yang pas untuk citizen barangkali "publik"-untuk
mendefinisikan liputan yang bukan dilakukan oleh wartawan.
Jurnalisme
publik menjadi alternatif bagi orang banyak untuk mendapatkan informasi
tentang sebuah insiden secara jujur dan utuh. Bagaimanapun, mata dan
telinga para wartawan terbatas. Mereka tak bisa mengendus semua hal dan
melaporkannya. Dan media massa punya kriteria layak berita untuk sebuah
peristiwa. Maka, jurnalisme publik perlu disambut karena meluaskan dan
memberagamkan informasi.
Invasi
Amerika Serikat ke Irak, konflik Suriah, reformasi Mesir, tsunami Aceh,
hingga demonstrasi besar di Turki tersiar sebermula karena laporan-laporan
dari para pendemo dan korban bencana langsung dari tempat kejadian.
Informasi itu tersebar melalui jejaring media sosial: Facebook, Twitter,
blog. Di mana para wartawan? Mereka masih rapat di ruang redaksi.
Internet
membuat jurnalisme publik menemukan waktu yang tepat untuk berkembang
pesat. Informasi tersiar cepat tanpa melalui proses keredaksian media
konvensional yang rigid. Don Tapscoot dan Antony William dalam
Macrowikinomics mencontohkan Huffington Post sebagai media daring yang
berhasil mengorganisasikan jurnalisme publik.
Di
sinilah justru persoalannya. Huffington Post pada akhirnya mempraktekkan
apa yang media konvensional lakukan. Jurnalisme tetap saja jurnalisme yang
menuntut verifikasi dan konfirmasi, karena kebenaran tak dimonopoli satu
pihak. Jurnalisme menyediakan kemungkinan kebenaran lain dari sebuah
informasi. Para wartawan mesti sadar bahwa kamera, foto, dan jumlah halaman
koran tak bisa merengkuh obyek berita secara menyeluruh. Ia berbingkai
karena informasi terbatas.
Laporan-laporan
saksi mata dari tempat kejadian sebuah peristiwa hanyalah laporan sepihak
jika tak membuka ruang bagi semua aktor dalam peristiwa itu untuk
berbicara. Ia akan menjadi laporan jurnalistik jika kerja verifikasi dan
konfirmasi telah terjadi, seperti liputan-liputan Huffington Post. Di
Indonesia, jurnalisme publik dipahami sebagai hanya penyebaran informasi,
yang celakanya sepihak dan medianya menjadi sarana memfitnah di balik nama
palsu.
Karena
mengandung kata jurnalisme, media-publik tetap harus bertanggung jawab.
Para penulisnya harus memberi tahu publik bagaimana ia mendapatkan
informasi, sehingga faktanya bisa ditakar. Atau pengelola medianya, seperti
redaksi Huffington Post, yang memberlakukan verifikasi ketat terhadap kontributor
dan fakta yang ditulisnya. Maka, jurnalisme publik hanya berbeda pada
status kewartawanannya belaka: yang satu profesi, lainnya mungkin hanya
hobi. Kaidah, prosedur, dan etika pengumpulan serta penyiaran informasinya
tetap sama. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar