|
PRAKTIK
korupsi di daerah, tak terbantahkan lagi, merajalela di era reformasi ini. Data
yang kerap diungkapkan oleh Mendagri Gamawan Fauzi lebih dari 300 kepala daerah
tersangkut kasus korupsi dalam beberapa tahun terakhir. Tentu saja data itu
baru yang terungkap oleh pihak berwenang. Karena sebenarnya hampir semua
daerah, sebagian besar oknum pejabatnya menikmati `hasil penyalahgunaan
kekuasaan', tetapi tetap saja survive dengan berbagai modus yang digunakan.
Kecenderungan
menarik dalam upaya membongkar praktik korupsi di daerah itu adalah peran
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang demikian signifikan. Setiap gebrakan
atau aksinya pasti selalu heboh. Lihat saja, misalnya, kasus keluarga Gubernur
Banten, Ratu Atut Chosiyah, yang terindikasi melakukan praktik korupsi dalam
bangunan politik dinasti. Atau kasus korupsi proyek pembangunan fasilitas PON
di Riau oleh Gubernur Rusli Zainal. Beritanya sungguh menggemparkan, dan
seolah-olah akan memberi efek jera terhadap para pejabat di daerah lainnya yang
praktik korupsi mereka masih belum sempat tersentuh itu.
Gerakan
pemberantasan korupsi oleh KPK saat ini memang sudah sangat luar biasa. Namun
bisakah semua praktik korupsi mampu ditangani oleh KPK? Jawabannya `pasti
tidak'. Kalau pun bisa dilakukan, memerlukan waktu lama. Karena itu, realistis
saja, jumlah daerah otonom (kabupaten, kota dan provinsi) di Indonesia mencapai
lebih dari lima ratus, sedangkan KPK hanya memiliki kantor di Jakarta dengan
sumber daya penyelidik dan penyidik yang sangat terbatas.
Maka karena itulah, agaknya, tak berlebihan jika dikatakan bahwa aksi yang
dilakukan KPK hanya merupakan bagian dari contoh-contoh kasus bagaimana
memberantas korupsi di negeri ini tanpa bisa kita berharap akan jadi lembaga
utama yang berperan maksimal untuk menjadikan negeri ini `bersih dari korupsi'.
Tepatnya, KPK memang bertaring kuat nan tajam untuk kasus-kasus tertentu
terseleksi.
Lalu,
bagaimana dengan kondisi korupsi yang masif terjadi di berbagai daerah?
Terhadap hal ini sebenarnya dapat ditangani oleh pihak kejaksaan dan kepolisian
yang memang di hampir seluruh daerah kabupaten/kota di Indonesia. Dua instansi
yang berada langsung di bawah kendali presiden ini dapat langsung menanganinya,
dan tak sulit mendeteksi gejala gejala g awalnya.
Soalnya,
kedua lembaga itu memiliki aparat atau sumber daya manusia yang melekat atau
bekerja langsung di setiap daerah. Dan pihak aparat terakit dapat secara
langsung mengamati perilaku aparat daerah, termasuk melalui cara-cara spionase.
Bukankah, misalnya, secara kasatmata terbuka `gaya hidup dan kemewahan' dari
sebagian pejabat di daerah, yang sangat tak masuk akal jika dibandingkan dengan
akumulasi pendapatan resmi yang diterima pejabat bersangkutan?
Data
penyimpangan proses-proses penganggaran dan penyimpangannya pun tersedia secara
resmi berdasarkan temuan baik BPK, BPKP, maupun lembaga-lembaga kajian atau LSM
di tingkat lokal--meskipun yang disebut terakhir, pada tingkat tertentu, sudah
banyak yang terpengaruh dengan pejabat korup dan mitra--pengusahanya melalui
pendekatan persuasive pragmatis.
DPD
RI, misalnya, secara aktif melakukan advokasi tentang hasil temuan BPK itu
kepada pihak yang terkait, baik jajaran kepolisian maupun kejaksaan. Bahkan
sejumlah kasus indikasi korupsi atau penyimpangan anggaran negara pun sudah
disampaikan ke KPK.
Singkatnya,
pihak kejaksaan dan kepolisian sebenarnya bisa dengan mudah mengakses dan atau
memperoleh informasi awal tentang praktik korupsi di berbagai daerah dan bisa
segera menindaklanjutinya dalam proses hukum. Jika itu dilakukan, praktik
korupsi yang merajalela itu akan berlangsung pasti masuk ke kuburan, dan semua
pihak ang potensial korup pun akan merasa takut untuk coba-coba mereproduk
sikan budaya kejahatan kerah putih itu.
Akan
tetapi, mengapa kedua lembaga itu tak be kerja efektif dalam mem berantas
korupsi di daerah? Atau, mengapa pula para pejabat korup itu masih juga bebas
berkeliaran, bahkan sudah dalam status tersangka pun belum kunjung dimasukkan
di hotel prodeo? Terhadap kedua pertanyaan ini, saya menduga beberapa faktor
penyebabnya.
Pertama,
tidak diterapkannya pembuktian terbalik terhadap para pejabat (atau siapa pun)
yang memiliki harta melampaui batas kewajaran. Meskipun bisa diamati dengan
mudah, para pejabat yang kaya mendadak setelah menempati posisi strategis
tertentu dalam pemerintahan, misalnya, oleh pihak penegak hukum tak bisa (atau,
tepatnya, tak mau) untuk serta-merta mempertanyakan sumber harta dari oknum
bersangkutan.
Bahkan,
sekalipun PPATK bisa menyiapkan data, atau dengan mudah memperoleh rekening
pejabat (berikut keluarganya) dengan berbagai transaksi yang dilakukan,
tampaknya belum muncul watak atau sikap proaktif aparat untuk langsung
melakukan penyelidikan tentang asal muasalnya. Apalagi, pada hari-hari ini,
saat KPK sudah mulai menerapkan undang-undang tindak pidana pencucian uang
(TPPU), sejumlah pejabat korup diduga tak lagi menyimpan uang di dalam rekening
bank, tetapi menggunakan brankas sendiri yang diamankan di kediaman atau
tempat-tempat rahasia tertentu, termasuk di dalamnya membeli barang-barang
berharga seperti emas, berlian dan sebagainya. Karena itu, akan semakin sulit
untuk mencoba mengungkap `kewajaran harta' dari para pejabat korup.
Kedua,
pihak pimpinan dan aparat (lapangan) kejaksaan dan kepolisian di berbagai
daerah membangun sikap bersahabat dengan para oknum pejabat (kepala daerah)
korup. Pertemuan-pertemuan resmi dan informal bisa secara intens dilakukan di
antara pihakpihak itu. Dengan proses-proses interaksi sosial terbatas itulah
yang menjadi awal mula `penjinakan' aparat penegak hukum.
Para
oknum pejabat korup di daerah sangat mafhum jika para pejabat penegak hukum yang
bertugas di daerah adalah manusia biasa yang butuh uang tambahan pendapatan,
untuk keluarga dan untuk tetap berjaya pada masa purnatugas. Apalagi, memang,
pejabat penegak hukum memiliki masa terbatas tugas di daerah. Ya, pastilah
waktu tugas itu diman faatkan secara maksimal untuk akumulasi harta bekerja
sama dengan pejabat korup.
Dalam
konteks ini, semakin banyak masalah korupsi di suatu daerah, akan semakin
banyak aparat penegak hukum pula yang menggandrunginya.
Bukan untuk menjadikan oknum pejabat korup itu diproses dan dimasukkan ke bui,
melainkan diduga untuk turut ambil bagian dari harta yang dikorup itu.
Ketiga,
kepemimpinan yang abai. Presiden, baik sebagai kepala eksekutif maupun
(apalagi) sebagai kepala negara sebenarnya memiliki peluang besar atau otoritas
untuk mengomandoi gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Apalagi, seperti sudah disinggung tadi, jajaran kejaksaan dan kepolisian
merupakan instrumen eksekutif untuk, antara lain, memberantas korupsi. Artinya,
jika kedua lembaga itu, seperti yang terjadi hingga saat ini, tidak juga
efektif untuk memberantas korupsi di daerah, sebenarnya sudah pasti `berkinerja
buruk'. Pihak pimpinannyalah yang harus diberi perhatian atau sanksi khusus.
Namun,
yang terjadi saat ini, kepemimpinan presiden di negeri ini tak menunjukkan
wataknya sebagai `pejuang sejati penciptaan pemerintahan yang bersih'. Dan bila
diingatkan dalam wujud kritik tentang situasi itu, pihak presiden akan
menjawabnya: penegakan hukum tak bisa diintervensi. Padahal, tafsir `intervensi'
dalam penegakan hukum sebenarnya terkait dengan proses-proses pengambilan
keputusan di pengadilan. Sementara itu, mendorong atau mengomandoi
pemberantasan korupsi bukanlah intervensi, melainkan merupakan tugas dan
kewajiban fundamental bagi siapa pun yang jadi presiden. Ini merupakan mandat
substantif pemimpin di era reformasi ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar