TANGGAL
21 Oktober Aliansi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak menyurati
Mahkamah Konstitusi.
Bersama penulis,
sejumlah pihak, seperti Saldi Isra, Hamdi Muluk, Ray Rangkuti, Jeirry
Sumampow, dan Sebastian Salang, datang menyampaikan surat dan bertanya.
Sementara Tamrin Amal Tomagola, Irmanputra Sidin, Alexander Lay, Fadjroel
Rachman, Kristiadi, Zainal Arifin Mochtar, dan Margarito ikut mendukung
atau menyertakan nama dalam surat itu.
Hal yang dipertanyakan
adalah nasib perkara No 14/PUU-XI/ 2013. Saya mewakili koalisi ini sebagai pengaju.
Saksi dan ahli adalah teman-teman dari koalisi, ditambah Didik Supriyanto
(Perludem), Slamet Effendy Yusuf (saksi sejarah penyusunan pasal UUD
tentang pemilu), dan Wakil Kamal selaku kuasa hukum. Perkara sudah selesai
disidangkan pada 14 Maret 2013.
Kenyataannya, sampai
kini belum ada kabar apa pun. Alasan utama pastilah kesibukan karena MK
harus menangani perkara pilkada. Perkara jenis ini, tanpa ada kasus suap
pun, mengalir deras sampai barangkali sekitar empat hari sekali. Mereka pun
punya hak khusus harus diputus dalam empat belas hari kerja.
Namun, apakah dengan
demikian pengujian UU terhadap konstitusi boleh ditunggak begitu saja atau
sampai berapa lama? Bukankah justru hal ini tujuan awal pendirian MK?
Kebetulan kami berbicara soal pemilu serentak atau pengujian Pasal 3 Ayat
5, Pasal 9, Pasal 12 Ayat 1 dan 2, Pasal 14 Ayat 2, dan Pasal 112 UU No
42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi, para
pengaju perkara UU Pendidikan Tinggi pasti juga menanyakan hal sama.
Roh
pemilu serentak
Pengujian yang kami
lakukan mendasarkan diri pada fakta bahwa roh pemilu serentak jelas berakar
dalam konstitusi. Kita sadar betul negara ini menganut sistem presidensial.
Karena itu, rohnya menjelma menjadi Pasal 22E Ayat 2 UUD 1945: ”Pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.”
Pasal tersebut jelas
satu tarikan napas, yang oleh anggota Forum Konstitusi sebagai ”Pemilu 5 Kotak”
(pemilu DPR pusat, DPRD tingkat I dan II, presiden dan wakil presiden,
serta DPD). Sebab itulah tidak ada pasal dalam UUD kita yang menyatakan
bahwa pemilihan presiden harus dilakukan sesudah pemilihan anggota
legislatif!
Alasan yang dicari-cari
bahwa kita perlu tahu perolehan kursi DPR untuk syarat mengajukan pasangan
calon presiden mengandung setidaknya empat cacat logika mendasar. Pertama,
kenapa ambang batasnya harus 20 persen suara parlemen? Kalau pihak koalisi
lawannya sekitar 80 persen tentu angka ini jadi tak berarti. Kenapa tak
sekalian 51 persen?
Kedua, dengan logika
itu, kita jadi makin mirip sistem parlementer.
Ketiga, fakta empiris
memperlihatkan koalisi bernama Sekretariat Gabungan sekarang ini, yang
bahkan memiliki 70 persen suara parlemen, sering terlihat main
sendiri-sendiri ketika membahas kebijakan amat penting bagi rakyat.
Keempat, logika bahwa
koalisi mendukung pasangan capres hanya bisa dibangun sesudah pemilu
legislatif juga berlawanan dengan prinsip ilmiah yang mampu membaca kehendak
publik melalui survei (yang jujur). Sebelum pemilu serentak pun, bisa
diperoleh peta untuk membangun koalisi!
Jangan
tersandera
Aliansi Masyarakat Sipil
untuk Pemilu Serentak memiliki beberapa tujuan dalam perjuangan ini.
Pertama, untuk menyelamatkan presiden terpilih dari politik transaksional
dan politik sandera. Bayangkan apa yang riil terjadi selama ini dan sangat
mungkin terjadi pada tahun 2014. Setiap kekurangan satu persen dari ambang
batas 20 persen bisa berarti transaksi puluhan miliar rupiah. Lebih dari
itu, terjadi pula tuntutan 3-4 kursi menteri! Di beberapa negara Asia yang
penegakan hukumnya konsisten, transaksi seperti ini terbukti dapat
menyandera presiden yang terpaksa menutup pengeluaran itu dengan berutang
(budi) pada cukong-cukong sehingga mereka berakhir di penjara pada saat
atau sesudah memerintah.
Kedua, menyelamatkan hak
pilih warga negara. Karena pemilu tidak dilaksanakan serentak sesuai UUD,
warga negara yang memilih di pemilu legislatif dan tidak berpartisipasi di
pemilu presiden (atau sebaliknya) pada 2004 berjumlah 2.255.184 orang, dan
meningkat jadi 5.591.009 orang pada 2009. Sebagian urusannya pastilah
masalah efisiensi waktu.
Ketiga, jika pemilu
dilaksanakan ”5 kotak”, menurut penghitungan sementara (yang juga sudah
dibahas informal dengan salah seorang komisioner KPU), penghematan uang
negara bisa Rp 5 triliun lebih. Kita bisa berpikir alternatif untuk
membagikan dana penghematan itu untuk mendukung fungsi-fungsi parpol
sehingga mereka terikat aturan penggunaan keuangan negara. Juga parpol
tidak perlu berburu komisi di aneka pembahasan anggaran. Begitu ada gejala
korupsi, parpol bisa terancam pembubaran diri.
Keempat, kami sebetulnya
juga meminta MK memberi keputusan lebih luas (semacam ultrapetita) dengan mengisyaratkan
pilkada pun harus dilaksanakan serentak. Dengan demikian, penyesuaiannya
menjadi penambahan masa jabatan maksimal satu seperempat tahun. Apakah
jadwalnya dibuat serentak dengan pemilu ”5 kotak” atau dibuat pemilu daerah
tersendiri masih bisa didiskusikan.
Yang pasti, dengan
demikian, MK pun hanya mengadili perkara pilkada 2,5 tahun sekali. Tak
seperti sekarang, bukan hanya para hakim, tetapi ruang-ruang dan halaman MK
pun seperti tersandera oleh berduyunnya rombongan perkara pilkada.
Akhirnya, apakah masih
sempat melaksanakan pemilu serentak? Secara informal, saya pernah bertanya
kepada ketua KPU pada satu kesempatan. Dia menjawab, jika diperintahkan MK
sampai di sekitar Desember pun, KPU akan siap. Siapa tahu ini bisa menjadi
alternatif jalan keluar. Kita rapikan betul semua daftar pemilih tetap
(DPT) sambil menunda pemilu menuju pemilu serentak!
Tentu akan selalu ada
kontroversi. Namun, kini diskursus bangsa menjadi bernas, bukan lagi soal
MK tersandera suap pilkada! Lagi pula, di atas semua itu, MK memang harus
bekerja semata berdasarkan konstitusi. Bukan menunggak perkara demi cari
aman, apalagi kalau ada tekanan pihak tertentu. Semoga tidak demikian.
Karena panitera MK saat menerima kami menyatakan, MK berencana memutuskan
perkara ini pada November. Ini saat memperbaiki! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar