Konon, di negara Kepulauan Solomon, ketika penduduk asli
memerlukan lahan di hutan untuk bercocok tanam, mereka tidak menebang
pohon. Mereka mengitari pohon tersebut beramai-ramai kemudian mencaci-maki,
meneriakkan kata-kata negatif dan kasar ke pohon tersebut setiap hari. Lama
kelamaan, pohon itu pun layu, kering dan mati dengan sendirinya.
Seandainya pohon itu manusia, lebih tepatnya anak dalam
'usia emas' yakni usia 0 sampai 9 tahun, bisa kita bayangkan apa yang akan
terjadi? Banyak dijumpai di sekitar kita, seorang ayah atau ibu membentak
atau memarahi anak balita mereka. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu.
Bahkan kadang mengancam dengan ancaman yang tidak logis.
Misalnya, seperti peristiwa yang penulis temui di salah
satu supermarket. Seorang ibu berbelanja dengan anak balitanya yang
didudukkan di atas troli. Anak itu tampak riang melihat produk warna-warni.
Sesekali, ia mencoba menggapai produk-produk di sekitarnya. Melihat itu,
sang ibu biasanya kesal dan membentak, "Kamu nakal sekali, ya! Bisa
diam, nggak! Kalau kamu nggak diam, nanti ditangkap pak polisi!"
Bertindak Jujur
Mari kita perhatikan apa yang terlewat dan dilupakan
oleh ibu muda tersebut. Pertama, ia lupa bahwa kodrat anak balita adalah
bermain. Melalui bermainlah mereka belajar.
Kedua, ia tidak menyadari bahwa membentak anak di depan
umum sangat berbahaya bagi kepercayaan diri si anak. Bayangkan, apa yang
dipikirkan anak balita itu menghadapi bentakan sang ibu. Dia akan bertanya
dalam dirinya sendiri, "Salah aku apa, ibu? Aku tidak paham. Aku hanya
bermain." Apakah anak bisa begitu saja mengetahui aturan 'bermain' di
supermarket tanpa si ibu memberi penjelasan?
Ketiga, sang ibu telah menanamkan sebuah ide dalam alam
bawah sadar anaknya sejak usia dini bahwa dia anak nakal. Manusia lahir
dengan fitrahnya yang suci. Ibarat selembar kertas kosong. Jika orangtua
mengisinya dengan kata-kata bentakan dan kata-kata negatif maka itulah yang
akan tertulis dalam kertas kosong tersebut.
Keempat, ucapan ibu muda itu memberangus akal sehat si
anak. Apakah pernyataan bahwa pak polisi menangkap anak yang nakal itu
logis atau fakta yang bisa kita temui sehari-hari? Kalau diperhatikan,
betapa banyak jumlah ancaman tidak logis dari orangtua atau orang dewasa
kepada anak yang kita dengar sehari-hari.
Tahun 1988, Robert Fulghum menulis sebuah buku berjudul
What I Really Need to Know I Learned in Kindergarten (Apa Yang Benar-benar
Perlu Aku Ketahui, Aku Pelajari di Taman Kanak-kanak). Dalam buku ini, dia
menceritakan hal-hal sederhana yang dia pelajari ketika masih balita; yakni
berbagi, berkata dan bertindak jujur, serta tidak memukul orang lain
sembarangan.
Ia juga dididik untuk meletakkan sesuatu kembali ke
tempatnya semula. Merapikan kembali mainan yang berantakan. Tidak mengambil
benda yang bukan miliknya. Bermain sesuai dengan aturan. Minta maaf bila
menyakiti orang lain. Belajar hidup seimbang - belajar, menggambar,
mewarnai, menyanyi, bermain. Mentaati rambu-rambu lalu lintas.
Bukankah hal-hal sederhana ini yang sebenarnya paling
kita butuhkan dalam hidup? Bayangkan, apa dampaknya ketika sejak kecil anak
dididik dengan prinsip-prinsip utama dalam hidup seperti di atas?
Keluarga Huxtable
Kita bisa belajar dari situasi komedi The Cosby Show,
yang populer di era 1980-an, mengenai keluarga dokter Huxtable yang
memiliki lima anak. Anak bungsunya, Rudy, berusia balita. Beberapa episode
khusus menceritakan Rudy. Dalam interaksi keluarga Huxtable, mereka
berbicara, menjelaskan kejadian dan hal baru kepada Rudy secara logis.
Menghormati 'ketidaktahuan' Rudy terhadap dunia orang dewasa. Menjelaskan
aturan dengan mengajak Rudy berdialog. Bahwa Rudy masih balita, iya. Tetapi
berkomunikasi dengannya adalah dengan kesetaraan. Layaknya diskusi dengan
orang dewasa.
Orang dewasa menganggap bahwa anak tidak tahu, tidak
bisa berpikir logis dan tidak bisa diajak berkomunikasi. Alhasil, bentuk
komunikasi yang sering muncul adalah perintah, larangan, bentakan dan
intimidasi. Anggapan demikian tentu saja salah. Semua tergantung kepada
bagaimana orang dewasa membangun komunikasi dengan anak.
Penelitian mengatakan, efek permanen sebuah konsep dalam
pikiran anak kecil akan tertanam dalam otaknya hingga 30 tahun lebih. Jika
kata-kata positif yang disampaikan, maka dia akan menjadi manusia positif
dan bahagia. Jika kata-kata negatif yang terus dijejalkan, maka nasibnya
akan tragis seperti pohon di Kepulauan Solomon, layu dan mati
perlahan-lahan.
Demikian juga Lao Tse, seorang filsuf China, pernah
berkata, "Perhatikan pikiran Anda, mereka menjadi kata-kata.
Perhatikan kata-kata Anda, mereka menjadi tindakan. Perhatikan tindakan
Anda, mereka menjadi kebiasaan. Perhatikan kebiasaan Anda, mereka menjadi
karakter. Perhatikan karakter Anda, itu menjadi takdir Anda."
Betapa hebatnya dampak pikiran dan kata-kata yang kita
ucapkan! Mengasuh dan mendidik anak yang baik, dengan demikian, bisa kita
mulai dengan memilih menyampaikan kata-kata yang positif kepada anak. Ini
penting agar mereka tumbuh menjadi manusia yang positif dan bahagia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar