Tanggal 25 November adalah Hari Guru. Harus dipahami
bahwa telah terjadi pergeseran nilai atas sosok dan profil guru. Saat ini,
para guru mogok mengajar, guru demonstrasi menuntut perbaikan merupakan hal
yang biasa. (Pada masa Orde Baru jelas hal tersebut tabu dan tidak
mungkin). Problematika seputar guru sesungguhnya telah menjadi problem
nasional yang berkepanjangan, dari masalah kesejahteraan guru yang tidak
sebanding dengan beban yang harus dipikul di pundak guru, hingga
profesionalisme guru yang terus diperdebatkan.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen
bukan berarti masalah guru selesai. Sebab, UU ini tak ayal akan memunculkan
masalah baru, misalnya, organsisasi profesi guru apakah bisa independen
atau harus masuk organisai tunggal bentukan negara. Problem lain yang harus
segera ditangani adalah serifikasi profesi guru, apakah hal tersebut bisa
dilakukan segera dengan standar yang betul-betul terjamin kualitasnya
ataukah sekedar selembar surat yang harus 'dibeli' oleh para guru.
Temuan Rektor Universitas Negeri
Malang terhadap pengujian berkas portofolio, banyak terjadi kecurangan,
salah satunya ada guru yang menaruh amplop berisi uang di berkas
portofolionya (2007), tentu ini hal yang memprihatinkan, sekaligus pertanda
hal tersebut biasa dialami oleh para guru saat mengurus kepangkatan ataupun
yang lainnya. Ini mengingat selama ini acapkali guru harus membayar secara
tidak resmi untuk kenaikan pangkatnya, dan atau saat guru dipromosikan
menjadi kepala sekolah atau penilik sekolah.
Masalah mendasarnya, selama ini
guru telah dijadikan korban kebijakan di negara ini. Potret guru sengaja
dicetak buram, keburaman itu dibingkai dengan image bernama "pahlawan
tanpa tanda jasa". Gelar pahlawan tanpa tanda jasa inilah yang mebuat
guru dan masyarakat di negara ini ternina bobok, sehingga masyarakat di
luar kesadarannya memahami guru sebagai profesi yang nrimo, dalam
kekurangan dan kesederhanaan. Guru menjadi sosok yang siap menderita,
menerima apa pun kebijakan dari pemerintah, guru harus sederhana, guru
harus tanpa pamrih dalam menjalankan tugasnya. Image inilah yang
sesungguhnya harus segera dicabut. Guru adalah guru, pahlawan adalah
pahlawan.
Gelar pahlawan tanpa tanda jasa
yang melekat pada profesi guru itulah yang menyebabkan guru menjadi
terhegeomoni dalam bingkai kegagahan yang tak berdaya. Profesi guru
terpenjara dalam kata indah 'pahlawan tanpa tanda jasa'. Secara demikian,
guru menjadi sosok yang seolah dirinya resi, yang dalam kehidupan
sehari-hari tidak lagi memikirkan materi, - bondo donya, harta duniawi -,
sehingga menjadi tidak pantas bila ada guru yang hidupnya bermewah-mewah.
Guru disamakan dengan guru dalam
cerita pewayangan, yang tugasnya mengajari para ksatria agar berada di
jalan yang benar, tanpa dipikirkan kebutuhan hidup dunianya. Guru dalam
pewayangan dicitrakan guru yang sederhana, bijak, waskita, tanpa pamrih.
Sosok inilah yang mau dilekatkan pada para guru-guru di Republik ini.
Sesungguhnya harus dipahami,
guru di Republik ini berada di alam nyata. Guru adalah guru, bukan resi
dalam dunia pewayangan. Guru di Republik ini adalah guru yang masih
menginginkan terpenuhinya kebutuhan hidup lainnya di luar keinginan
mencerdaskan anak didiknya. Maka, sudah saatnya bangsa dan masyarakat di
negeri ini menempatkan guru dalam deretan profesi yang terhormat lainnya,
seperti dokter, apoteker, pengacara, hakim, jaksa, arsitek, peneliti,
wartawan, dan profesi lainnya. Sehingga, guru dihargai karena profesinya
sebagai guru, sebagaimana kita menghormati dan menghargai dokter, arsitek
yang profesional di bidangnya, pengacara yang piawai menangai perkara, dan
profesi-profesi lainnya secara profesional. Menghormati guru bukan hanya
karena kesederhanannya dan pengabdiannya yang tak kenal waktu dan lelah.
Oleh sebab itu, marilah para
guru guru itu dibebaskan dari predikat 'pahlawan tanpa tanda jasa'. Sebab,
gelar ini hanya menghadirkan kesadaran semu, yang hanya melahirkan ilusi
ilusi indah bagi guru, yang seolah guru siap menderita, siap tidak kaya -
untuk tidak mengatakan miskin -, toh guru adalah pahlawan, sebagai pahlawan
pastilah tidak boleh berpamrih. Guru dan masyarakat di negeri ini harus
dibangunkan dari mimpi 'guru sebagai sosok pahlawan'.
Guru adalah guru, profesinalisme
guru semestinya diletakkan pada ukuran bagaimana kemampuan guru dalam
mencerdaskan anak didiknya. Oleh sebab itu, sudah saatnya guru memiliki
wibawa secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan intelektual di hadapan
masyarakat, siswa, dan orangtua siswa tentunya.
Wibawa yang dimiliki oleh guru,
akan menempatkan sosok guru yang dinilai, dihargai, dihormati sebagai sosok
yang secara profesional pantas mendapatkan ya. Bukan karena kasihan, dan
bukan karena hanya kesederhanaanya, dan juga bukan karena gelar 'pahlawan
tanpa tanda jasa' yang melekat.
Dengan terbebasnya guru dari
predikat semu, yaitu pahlawan tanpa tanda jasa, suatu saat nanti akan
muncul guru yang benar-benar menjadi pahlawan, seperti halnya dokter,
tentara, hakim, jaksa, advokat, yang mencurahkan hidupnya untuk mengabdi
demi kepentingan peradaban dan tumpah darahnya yang kemudian pantas
mendapat gelar menjadi pahlawan, seperti pahlawan-pahlawan lainnya yang
kita kenang sebagai pahlawan. Jadi, posisi guru adalah profesi, yang
semestinya profesional.
Secara manusiawi guru ada yang
nakal, ada yang jahat juga. Oleh sebab itu, marilah kita bersama
memposisikan guru sebagaimana profesi yang lain, tanpa memaksakan diri
sebagai 'pahlawan tanpa tanda jasa'. Dengan demikian, kelak akan muncul 'Ki
Hadjar Dewantara' abad modern yang mengabdikan diri pada dunia pendidikan. Selamat ulang tahun, Bapak-Ibu Guru
Republik Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar