“Hubungan kedua negara sangat penting, khususnya bagi Indonesia yang
masih berusaha untuk mewujudkan ketahanan pangan.”
HUBUNGAN diplomatik antara Indonesia dan
Australia dalam seminggu terakhir sangatlah memprihatinkan. Media di Indonesia
dan Australia tidak henti-hentinya memberitakan hubungan yang tidak
harmonis di antara kedua negara tersebut. Hubungan itu semakin
mengkhawatirkan ketika beberapa pihak di luar pemerintahan, seperti para
politikus dan penasihat mereka, memberikan pernyataan yang tak semestinya
dilontarkan karena cenderung menambah keruh suasana.
Kondisi tersebut justru lebih memancing
kemarahan di kedua belah pihak, khususnya seperti unjuk rasa yang terjadi
di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta menjelang akhir pekan kemarin.
Kasus penyadapan terhadap beberapa petinggi negara di Tanah Air yang
dilakukan oleh Australia atas dasar laporan mantan agen intelijen Amerika
Serikat, Edward Snowden, memang akan menimbulkan polemik terhadap kedua
negara. Menlu Marty Natalegawa sempat memberikan pernyataan yang cukup
keras agar pemerintah Australia meminta maaf.
Namun sayangnya, respons pemerintah
Australia tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah dan publik
Indonesia. Atas dasar itulah, hubungan Indonesia dan Australia masih belum
pulih. Akhirnya berimbas pada peninjauan kembali terhadap beberapa
perjanjian yang berkaitan dengan isu perbatasan negara, kerja sama militer,
dan penyelundupan manusia atau yang lebih sering disebut people smuggling.
Kemudian, apakah hubungan yang tidak
harmonis ini berpengaruh pada hubungan perdagangan bilateral? Sebagai
negara yang bertetangga, idealnya rasio perdagangan di antara kedua negara
berada pada kisaran 10% atau b lebih jika dibandingkan dengan l perdagangan
kedua negara dengan negara-negara lain di dunia. Namun, sangatlah
mengejutkan jika kita melihat rasio nilai ekspor Australia ke Indonesia
terhadap nilai ekspor Australia ke seluruh dunia yang hanya berada pada
kisaran 2% pada kurun 2010-2012 berdasarkan data yang dikeluarkan oleh United Nations Commodity Trade
Statistics Database (UN Comtrade).
Rasio rendah
Adapun rasio nilai impor Australia dari
Indonesia terhadap nilai impor Australia dari seluruh dunia juga sangat
rendah, yaitu hanya sekitar 2,5%, pada kurun waktu dan dari sumber data
yang sama. Angka tersebut sangatlah jauh dari apa yang seharusnya terjadi
pada hubungan perdagangan kedua negara yang letaknya cukup berdekatan
secara geografis. Berdasarkan angka tersebut, bisa dikatakan bahwa hubungan
perdagangan Indonesia dan Australia tidak cukup signifikan.
Berdasarkan data dari UN Comtrade, kita juga
dapat melihat besaran nilai ekspor dan impor kedua negara selama kurun
2010-2012. Nilai ekspor Australia ke Indonesia pada 2010 sebesar US$4
miliar dan meningkat tajam pada 2011 pada kisaran US$5,5 miliar, dan baru
pada akhirnya turun kembali sekitar US$4,8 miliar di 2012. Sebaliknya,
nilai impor Australia dari Indonesia justru mengalami tren peningkatan dari
sekitar US$4,7 miliar di 2010, naik menjadi US$6 miliar pada 2011, dan
akhirnya konsisten meningkat pada 2012 di kisaran US$6,4 miliar.
Data tersebut menunjukkan bahwa nilai ekspor
Australia ke Indonesia lebih rendah ketimbang nilai impor Australia dari
Indonesia. Maka dari itu, sepanjang 2010-2012 Australia mengalami defisit
perdagangan dengan Indonesia, sementara Indonesia mengalami surplus.
Padahal jika melihat data mengenai nilai perdagangan Australia ke seluruh
dunia, Australia mengalami surplus perdagangan dalam kurun tiga tahun
terakhir.
Tercatat surplus perdagangan Australia dari kegiatan ekspor dan impornya
dengan seluruh negara di dunia berkisar US$10 miliar-US$30 miliar sepanjang
2010-2012, dengan surplus perdagangan terbesar terjadi pada 2011. Maka dari
itu, hubungan perdagangan dua negara ini cukup menguntungkan Indonesia
karena selama 2010-2012 Indonesia mengalami surplus perdagangan secara
konsisten.
Selanjutnya, jika ditelaah lebih jauh
mengenai komoditas yang diperdagangkan serta bagaimana pangsa pasar
komoditas tersebut di negara masing-masing, akan lebih terlihat betapa
pentingnya hubungan perdagangan di antara kedua negara. Sepanjang
2010-2012, empat komoditas Indonesia terbesar yang diekspor ke Australia
berdasarkan nilai ekspornya secara berurutan ialah bahan bakar, produk batu
dan kaca, produk mesin dan elektronik, serta produk logam. Adapun empat
komoditas Australia terbesar yang diekspor ke Indonesia selama 2010-2012
secara berurutan ialah produk sayuran, produk logam, produk hewan, dan
produk mesin dan elektronik.
Saling membutuhkan
Dari komposisi tersebut dapat terlihat bahwa
Indonesia dan Australia saling membutuhkan, khususnya untuk Indonesia
ketika kita sampai saat ini masih mengimpor sayuran dan hewan untuk
memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Ketahanan pangan di Indonesia
dengan konsep kemandirian pangan memang masih memerlukan waktu yang tidak
pendek untuk mewujudkannya. Hal tersebut masih terlihat dari arus impor
produk sayuran dan hewan dari luar negeri, khususnya Australia, untuk
memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Berkaitan dengan pangsa pasar komoditas
Indonesia di Australia dan sebaliknya, selama 2010-2012, empat komoditas
Indonesia yang cukup besar pangsa pasarnya di pasar Australia ialah produk
batu dan kaca (12%), bahan bakar (10%), produk alas kaki (6,65 %), dan
produk logam (3,51%). Adapun empat komoditas Australia yang pangsa pasarnya
cukup tinggi di pasar Indonesia ialah produk hewan (24,15%), produk sayuran
(22,14%), produk mineral (10,29%), dan produk logam (5,22%).
Berdasarkan data pangsa pasar tersebut,
secara eksplisit dapat terlihat bahwa kedua negara sama-sama memiliki peran
bagi kebutuhan masyarakatnya. Indonesia dalam hal ini bisa dikatakan sangat
membutuhkan pasokan hewan dan sayuran untuk memenuhi kebutuhan pangan di
dalam negeri, terlepas dari karakteristik Indonesia sebagai negara agraris
yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan pangannya tanpa bergantung pada
negara lain.
Jadi, hubungan perdagangan Indonesia dan
Australia memang tidak signifikan. Akan tetapi, jika ditinjau lebih jauh
lagi, terlihat bahwa hubungan perdagangan kedua negara sangat penting,
khususnya bagi Indonesia yang masih berusaha untuk mewujudkan ketahanan
pangan. Pernyataan yang pernah disampaikan oleh PM Australia Tony Abbott di
awal kepemimpinannya, yakni `more Jakarta, less Geneva', sebaiknya
dijadikan momentum baik bagi hubungan kedua negara, bukan justru
menjadikannya sebagai pernyataan yang menunjukkan ketidakpercayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar