Kehadiran Ekonomi Islam berusaha menjawab ketidakadilan
dari dua sistem ekonomi (Kapitalis dan Sosialis), diganti dengan
nilai-nilai luhur yang adil, bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah.
Nilai-nilai keadilan dalam ekonomi Islam lebih menitikberatkan pada
nilai-nilai ke-Tuhanan (Ilahiyyah/Tauhidiyah). Sehingga kegiatan ekonomi
(produksi, distribusi, konsumsi) tidak saja berimplikasi pada kehidupan
dunia, akan tetapi dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.
Allah telah menjelaskan bagaimana seseorang yang tidak
memiliki kredibilitas keadilan dalam melakukan transaksi di kehidupan
sehari-hari. Sesuai dengan firman-Nya di dalam Al-Quran, "Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan, apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi," (QS
Al-Mutaffifin, 83:1-3).
Allah berusaha mendeskripsikan bagaimana seseorang yang
tidak memiliki kredibilitas dalam melakukan transaksi ekonomi. Allah
menggunakan kiasan timbangan, akan tetapi apabila digeneralisasikan, ayat
tersebut memiliki makna yang lebih luas cakupannya, yaitu menyuruh kepada
manusia untuk selalu berbuat adil dalam melakukan transaksi dengan tidak
melakukan kecurangan pada orang lain. Selain itu, bentuk keadilan dalam
ekonomi Islam dengan ditiadakannya riba dalam kegiatan ekonomi sehari-hari.
Allah telah menegaskan di dalam Al-Quran, yang berbunyi: "... Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (QS. al-Baqarah,
02: 275).
Riawan Amien (Satanic Finance, 2008:48) menganalisis
dari sisi Ilmu Ekonomi bahwa ada tiga konsekuensi utama dengan berlakukanya
bunga. Pertama, bunga akan terus menuntut tercapainya pertumbuhan ekonomi
yang terus menerus meskipun kondisi ekonomi aktual mencapai titik jenuh
atau konstan. Kedua, bunga mendorong persaingan di antara para pemain dalam
sebuah ekonomi. Ketiga, bunga cenderung memposisikan kesejahtraan pada
segelintir minoritas dengan memajaki kaum mayoritas.
Selain dua ayat di atas, ada lagi perintah Allah yang
menyuruh manusia untuk berbuat adil. Seperti yang termaktub dalam
firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan
berbuat kebajikan ..." (QS: An-Nahl, 16:90). Di lain ayat: "...
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan
akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan mereka," (QS:
Al-An'am,06: 150).
Term ya'dilun di sini berarti menyekutukan, sedangkan
term adl berarti keseimbangan (Khusnul Hakim, Prinsip-Prinsip Keadilan
Menurut al-Quran, 2009: 68). Dapatlah disimpulkan bahwa orang-orang yang
tidak adil dalam bertransaksi sama saja dengan menyekutukan Allah SWT.
Dalam ayat An-Nahl tersebut, term al-adl lebih di dahulukan dari term
al-ihsan, menurut az-Zamakhsyari karena berlaku adil berhukum wajib,
sedangkan berlaku ihsan berhukum sunnah (Khusnul Hakim, Prinsip-Prinsip
Keadilan Menurut Al-Quran, 2009:68).
Dari pendapat ulama tersebut, dapatlah digeneralisasikan
bahwa adil dalam kegiatan ekonomi berhukum wajib. Adil dalam kegiatan
ekonomi seperti meninggalkan transaksi bunga yang terdapat di lembaga
keuangan (bank konvensional, asuransi konvensional, pegadaian konvensional,
koperasi konvensional, dll), meninggalkan transaksi gharar (remang-remang)
seperti penimbunan barang, merusak harga dengan mempermainkan supply
(penawaran) dan demand (permintaan), menyembunyikan cacat barang, dan
sebagainya, serta maysir (transaksi judi/gabling) seperti bermain saham
yang tidak spot (goreng-goreng saham), jual beli valas yang tidak spot, dan
lainnya.
Sementara, transaksi dalam kegiatan ekonomi menyangkut
transaksi sektor rill dan transaksi sektor non-rill/sektor moneter. Bentuk
transaksi di sektor rill seperti bertransaksi ekonomi antara perorangan,
antara orang dengan lembaga maupun lembaga dengan perorangan, ataupun
lembaga dengan lembaga.
Transaksi sektor rill yang dilakukan oleh ummat Islam
harus terjauh dari praktik seperti riba, gharar dan maysir. Karena praktik
tersebut merupakan praktik yang dilarang oleh Allah SWT. Dengan
menghilangkan praktik tersebut dalam kehidupan ekonomi, berarti seorang
muslim telah berusaha mengamalkan keadilan dalam kegiatan ekonomi
sehari-hari. Agar wujud itu maujud, ia membutuhkan sebab (Muhammad Baqir
Ash-Shadr, Falsafatuna, 1991: 217). Sebab seorang muslim diperintahkan
untuk meninggalkan transaksi riba, gharar, maysir, karena transaksi
tersebut merupakan transaksi yang jauh dari keadilan. Salah satu contoh
ketidakadilannya ialah, seseorang yang tidak menanggung risiko harus
menikmati keuntungan dari setiap risiko yang dihadapi orang lain.
Transaksi sektor non-rill biasanya dilakukan di Pasar
Modal. Namun selama ini pasar modal identik dengan pasar yang bertransaksi
ribawi, gharar, dan maysir. Maka dari itu, ummat muslim haram untuk
bertransaksi di pasar modal. Dengan haramnya tansaksi di pasar modal, maka
dibuatlah Pasar Modal Syariah untuk mengakomodir ummat muslim yang hendak
melakukan transaksi di sektor non-rill. Tentu Pasar Modal Syariah merupakan
pasar yang terbebas dari transaksi ribawi, gharar, dan maysir.
Sejarah Pasar Modal Syariah di Indonesia dimulai dengan
diterbitkannya Reksa Dana Syariah oleh PT Danareksa Investment Management
pada 3 Juli 1997. Selanjutnya, Bursa Efek Indonesia (d/h Bursa Efek
Jakarta) berkerjasama dengan PT Danareksa Investment Management meluncurkan
Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli 2000, bertujuan memandu investor
yang ingin menginvestasikan dananya secara syariah (Pasar Modal Syariah,
Sejarah Pasar Modal Syariah, Diakses dari http://www.bapepam.go.id.). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar