Minggu, 03 November 2013

Menuju Kemapanan Modal

Menuju Kemapanan Modal
Fahrul Riza  ;  Dosen Univ Bunda Mulia Jakarta
KORAN JAKARTA, 01 November 2013

Proses akumulasi modal ini nantinya hanya ditentukan oleh penawaran dan permintaan terhadap barang. Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi.

Ekonomi negara pada suatu waktu tertentu bisa dalam situasi menggunakan tenaga kerja penuh (full employment) atau banyak pengangguran. Di luar itu, kadang masih disertai inflasi tinggi. (Sadono Sukirno, 2000). Angka pertumbuhan tinggi tujuan pengelolaan ekonomi suatu negara, kecuali China yang justru melawan arus umum karena terpaksa mengerem pertumbuhan agar tidak terlalu tinggi.

Tumbuh tinggi sering dianggap mencerminkan bahwa negara berhasil meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal itu disertani penurunan jumlah pengangguran dan inflasi yang terkendali. 

Namun pengelola perekonomian Indonesia saat ini dihadapkan pada buah simalakama. Apa pun kebijakan yang ditempuh berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Berpangkal dari defisit transaksi berjalan yang kian membesar, membuat tekanan pada rupiah, diikuti inflasi karena tekanan impor.

Bank Indonesia (BI) sebagai pengambil kebijakan moneter mengatasi gejolak rupiah dan inflasi dengan menaikkan suku bunga acuan atau BI rate. Dengan tingkat BI rate mencapai 7,25 persen konsekuensinya, ada lonjakan suku bunga kredit perbankan. Alhasil pengusaha enggan berinvestasi. 

Inflasi menurunkan daya beli konsumen sehingga tingkat konsumsi riil rumah tangga menurun dan kembali memaksa perusahaan untuk mengurangi kapasitas produksi. Apalagi dalam distribusi PDB Indonesia 2012, konsumsi memiliki porsi 62,8 persen dari PDB, sehingga penurunan konsumsi ini cukup dapat melemahkan kegiatan ekonomi secara signifikan dan mempertinggi pengangguran.

Kondisi tersebut membentuk sebuah lingkaran masalah tak berujung. Belum jelas waktu Indonesia mampu mencapai pertumbuhan mapan.

Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi dalam jangka panjang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya. Pertambahan potensi memproduksi seringkali lebih besar dari pertambahan produksi yang sebenarnya. 

Dengan demikian perkembangan ekonomi adalah lebih lambat dari potensinya. (Sadono Sukirno, 1994;10). Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. 

Jika dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk, maka pertumbuhan ekonomi adalah proses terjadinya kenaikan PDB riil atau pendapatan nasional riil. Perekonomian dikatakan tumbuh bila terjadi pertumbuhan pada output riil. Pertumbuhan harus menyangkut pada tingkat pertumbuhan kesejahteraan per-orang (perkapita). Maka ukuran pertumbuhan ekonomi juga harus dikaitkan dengan adanya kenaikan taraf hidup yang diukur dengan output riil per-orang.

Model Solow sebagai salah satu model pertumbuhan ekonomi memberikan analisis statis bagaimana keterkaitan antara akumulasi modal, pertumbuhan populasi penduduk, dan perkembangan teknologi serta pengaruh ketiganya terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi.

Anggapan pertama model Solow adalah tidak ada perubahan pada angkatan kerja dan teknologi ketika terjadi proses akumulasi modal dalam perekonomian di suatu negara. Proses akumulasi modal ini nantinya hanya ditentukan oleh penawaran dan permintaan terhadap barang. Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi. 

Setiap pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja hanya akan dialokasikan kepada dua tempat, yaitu konsumsi dan tabungan. Oleh karenanya untuk mencapai kondisi pertumbuhan ekonomi yang maksimal, jumlah tabungan harus sama dengan jumlah investasi. Kondisi tersebut dikenal dengan tingkat perekonomian mencapai kondisi kemapanan.

Selanjutnya terdapat dua kekuatan yang mempengaruhi persediaan modal, yaitu investasi dan penyusutan. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, dan hal itu menyebabkan persediaan modal bertambah. Sedangkan penyusutan mengacu pada penggunaan modal, dan hal itu menyebabkan persediaan modal berkurang.

Negara harus mampu menciptakan kebijakan yang menyejahterakan setiap individu dalam masyarakat. Individu itu sendiri tidak peduli pada jumlah modal dalam perekonomian, atau bahkan besaran output. Mereka hanya peduli pada jumlah barang dan jasa yang dapat dikonsumsi. Jadi, seorang pembuat kebijakan yang jeli akan memilih kondisi mapan dengan tingkat konsumsi tertinggi. Nilai kondisi mapan kapital yang memaksimalkan konsumsi tersebut disebut tingkat modal kaidah emas (Golden Rule Level of Capital).

Masalahnya, pertumbuhan populasi yang tinggi adalah salah satu alasan persediaan modal per pekerja selalu kecil. Maka, agar pertumbuhan berada pada kondisi mapan, investasi harus mengimbangi pengaruh depresiasi dan pertumbuhan penduduk. 

Negara-negara dengan pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi akan memiliki tingkat GDP per kapita yang lebih rendah. Ketika tingkat petumbuhan populasi meningkat, maka depresiasi juga naik. Kondisi mapan baru memiliki tingkat modal per pekerja yang lebih rendah ketimbang pada masa awal. 

Seuai dengan model Solow yang memprediksi bahwa perekonomian dengan tingkat pertumbuhan populasi lebih tinggi akan memiliki tingkat modal per pekerja lebih rendah dan pendapatan juga begitu.

Kondisi Nasional
Indonesia berkondisi dengan jumlah kapital rendah dan angka pertumbuhan populasi masih tinggi. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyampaikan, tahun ini penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 250 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,49 pertahun. 

Tingginya pertumbuhan penduduk tersebut tidak diiringi kenaikan output sehingga pendapatan perkapita rendah yang mengakibatkan minimnya tingkat pembentukan modal karena masyarakat tidak mampu menabung. Tambah lagi, inflasi terus menggerus nilai uang, sehingga masyarakat yang pas-pasan tidak mampu menyisihkan pendapatannya untuk ditabung.

Akibatnya, tabungan menjadi barang mewah bagi kelompok masyarakat ini. Sementara, golonghan masyarakat di atasnya berperilaku "doyan" kredit dengan gaya hidup konsumerisme dan boros sehingga semakin memperlambat akumulasi pembentukan modal yang berasal dari dalam negeri. 

Tanpa mampu membentuk modal dan investasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap tertinggal. Melihat kondisi seperti ini tentu akan lebih panjang jalan bagi Indonesia untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi pada kondisi mapan. Banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Dimulai dari menekan defisit transaksi berjalan, laju pertumbuhan penduduk, dan meningkatkan kemampuan akumulasi modal dalam negeri. 

Problem tersebut pada hakikatnya dapat terselesaikan secara bertahap apabila pengelola negara mau menginvestasikan lebih banyak waktu, tenaga, dan biaya pada aspek pengembangan modal manusia (human capital). Peningkatan modal ini dapat meredam budaya konsumerisme yang menjadi salah satu penyebab tingginya volume impor.

Investasi pada modal manusia akan menjadi daya ungkit proses pembentukan input tenaga kerja dan modal sehingga mampu meningkatkan produktivitas pertumbuhan ekonomi. Sejarah mencatat bahwa negara yang menerapkan pradigma pembangunan berdimensi manusia telah mampu berkembang walaupun tidak memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. 

Penekanan pada investasi modal manusia diyakini merupakan basis dalam meningkatkan produktivitas secara total menuju tingkat pertumbuhan ekonomi mapan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar