|
HIJRAH itu dalam sosiologi disebut
transformasi, per ubahan sosial ke arah yang lebih baik. Transformasi kaitannya
dengan sikap mental yang kemudian ditautkan dengan dinamika sosiokultural.
Demikian juga hijrah interaksi maknanya bukan sekadar mental, melainkan juga
pergerakan fisikgeografis. Dalam konteks kenabian, migrasi dari Mekah ke
Madinah. Peristiwa itulah yang kemudian
dijadikan titik pijak perhitungan kalender Islam.
Haikal mencatat hijrah nabi sebagai `pembuka pintu baru dalam kehidupan
politik'. Fazrul Rahman, Guru Besar Pemikiran Islam di Universitas Chicago,
menyebutnya sebagai marks of the
beginning of Islamic calendar and the founding of Islamic community (1984).
Dalam catatan Nurcholis Madjid
(1993), peristiwa hijrah di samping bersifat metafisis sebagai perintah Tuhan
juga merupakan lambang peristiwa kesejarahan karena dampaknya yang demikian
besar dan dahsyat pada perubahan sejarah seluruh umat manusia. Kalau sebuah
buku yang membahas tokoh-tokoh umat manusia sepanjang sejarah menempatkan Nabi
Muhammad SAW sebagai yang terbesar dan paling berpengaruh daripada sekalian
tokoh, bukti dan alasan penilaian dan pilihan itu antara lain didasarkan kepada
dampak kehadiran nabi dan agama Islam, yang momentum kemenangannya terjadi
karena peristiwa hijrah. Hijrah menjadi turning
point (titik balik) untuk membentuk masyarakat yang berperadaban.
Upacara hijrah
Hijrah sebagai awal tahun baru
Islam diperingati dengan serangkaian upacara. Tentu maksud utamanya tidak lain
sebagai media menginjeksikan ingatan-ingatan tentang nilai kejuangan. Tentang
sebuah epos dalam fragmen sejarah kenabian yang telah mencapai puncak-puncak
keadaban itu.
Ingatan masa silam itu penting
terus diulang walaupun teks narasinya sering didengar, minimal agar tidak lekas
lupa akan sebuah peristiwa. Secara ontologis, majunya sebuah bangsa
mensyaratkan daya ingat yang kuat terhadap `masa silamnya'. Kemudian masa silam
itu pada gilirannya menjadi energi yang terus menggerakkan elan vitalnya hari
ini dan masa depan. Kata Bung Karno, `jasmerah' (jangan sekali-kali meninggalkan
sejarah).
Eliade pernah mencatat, `Orang akan
menyusun kembali waktu yang menakjubkan masa lalu itu untuk menyusun waktu yang
tidak kalah menakjubkan untuk masa depan'. Peradaban Barat selalu mengklaim
sebagai ahli waris peradaban Yunani; Rumania mengidentifikasi sebagai titisan
Romawi; atau dalam ukuran yang lebih personal lagi mengapa raja-raja dan para
penguasa merasa wajib merangkai silsilah mereka kembali kepada zaman Majapahit
atau Mataram. Yang selalu disuntikkan para elite Yahudi untuk merawat daya
hidupnya ialah masa teologi pada masa lampau; sejarah bahwa mereka ialah umat
terpilih yang diberi tugas suci melakukan pekerjaan Tuhan di muka bumi. Adanya
jalinan yang erat antara orang-orang Yahudi dan Israel yang sangat
mistis-auratis dan historis realistis.
Itu juga yang menjadi alasan utama
setiap kitab suci begitu bersemangat mengungkap cerita silam sambil dibubuhi di
ujung ayatnya sebuah ungkapan, `Sungguh
dalam fragmen-fragmen sejarah itu terdapat pelajaran bagi mereka yang
menggunakan nalarnya'.
Menghidupkan memori hijrah ialah
menghidupkan narasi spirit masa lampau.
Tentang bentangan perjalanan menegangkan Muhammad SAW yang ditemani seorang kawannya di tengah padang pasir menempuh jarak ratusan kilometer dari tanah kelahiran yang dicintainya, Mekah, menuju tempat asing sebuah kampung Yastrib yang kelak beralih nama menjadi Madinah.
Tentang bentangan perjalanan menegangkan Muhammad SAW yang ditemani seorang kawannya di tengah padang pasir menempuh jarak ratusan kilometer dari tanah kelahiran yang dicintainya, Mekah, menuju tempat asing sebuah kampung Yastrib yang kelak beralih nama menjadi Madinah.
Masa lampau yang mencatat buah dari
hijrah itu; menampilkan Islam dalam wajah yang utuh. Islam yang bukan sekadar
gerakan kultural, melainkan juga sekaligus struktural. Tidak sebatas agama yang
mengurus ihwal urusan personal, tapi juga menjadi pilar bagi sistem sosial
seperti diterapkan di Madinah.
Di Madinah, Nabi membuktikan bahwa
ketika Islam menjadi kekuatan negara jadi kekuatan negara (masyarakat), kelompok
yang berbeda haluan budaya bahkan keyakinan mendapatkan perlindungan. Tata
kelola pemerintahan yang benar dirumuskan, dijangkarkan di atas prinsip
keterbukaan (openness), empati (empathy), kepositifan (positiveness), dan kesetaraan (equality).
Dinamika sosial
Nampaknya sudah menjadi ketentuan
sejarah bahwa perubahan sosial yang dahsyat sebelumnya selalu mengandaikan
terlebih dahulu hadirnya hijrah. Bukan hanya dialami oleh Muhammad SAW,
melainkan juga nabi-nabi sebelumnya. Hijrah sebagai sunatullah dalam rangka
menyongsong fajar peradaban baru yang menghadirkan harapan sekaligus
mengejawantahkan mimpi-mimpi tentang kehidupan yang lebih bagus.
Tentu tema utama perubahan yang
diusung para nabi harus berangkat dari visi keagamaan. Dari spiritualisme yang
menjadi landasan dasar fungsi profetiknya. Kalau merujuk pada The Protestant Ethic and The Spirit of
Capitalism Max Weber (18641920), agamalah yang berjasa melahirkan
perubahan sosial yang paling spektakuler dalam peradaban manusia. Agama tidak
saja menjanjikan surga, tapi pada saat yang sama menyuntikkan kesadaran tentang
perlunya sebuah tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai dan etika.
Di sinilah nilai penting tafsir
ulang ajaran agama, agar agama dapat terus beradaptasi dengan kehidupan.
Perubahan sosial sebagai spirit utama hijrah harus kita maknai sebagai upaya
revitalisasi teks agama agar kehadirannya membawa berkah bagi semesta. Tafsir
agama harus terus disegarkan kembali seiring dengan pergeseran dinamika sosial
tanpa menghilangkan elan vital nilai-nilai universalnya. Agama terus
berdialektika dengan manusia dan kompleksitas persoalan kemanusiaan bahkan
secara `ekstrem'. Karen Amstrong menggunakan idiom Tuhan (god) dalam A History of God
untuk perubahan itu.
Tuhan (atau pemahaman masyarakat tentang tuhan) terus `berevolusi'. Kita simak
pembacaan Karen Amstrong tentang realitas agama (Tuhan) kaitannya dengan
perubahan sosial di dunia muslim.
`Kaum muslim tidak mempunyai banyak
waktu atau energi untuk mengembangkan pemahaman tradisional mereka tentang
Tuhan. Mereka sibuk dalam upaya mengejar ketertinggalan dari Barat. Di Barat,
`Tuhan' dipandang sebagai suara keterasingan; di dunia Islam suara tersebut
berasal dari proses kolonial. Karena tercerabut dari akar budaya sendiri, orangorang
merasa kehilangan arah dan putus asa. Sebagian pembaharu muslim berupaya
mempercepat langkah kemajuan dengan cara paksa meletakkan Islam pada posisi
minor'.
Dalam melakukan perubahan sosial,
seperti pernah diidentifikasi Nurcholis Madjid, ada banyak hal yang harus diperhatikan
karena besarnya krisis akibat perubahan sosial yang ada di sekitar: 1)
deprivasi relatif, yaitu perasaan teringkari; 2) dislokasi, yaitu perasaan
tidak punya tempat dalam tatanan sosial yang sedang berkembang; 3)
disorientasi, yaitu perasaan tidak mempunyai pegangan hidup akibat yang ada
selama ini tidak lagi dapat dipertahankan karena terasa tidak cocok. 5) Maka
perubahan sosial dengan krisis-krisis yang ditimbulkannya itu, jika tidak
ditangani dengan baik, akan menciptakan lahan yang sangat potensial bagi tumbuh
suburnya radikalisme, fanatisme, sektarianisme, dan fundamentalisme yang dapat
mengancam fakta sosial yang majemuk.
Alhasil, peralihan tahun baru Islam
agar tidak hanya menyisakan sekadar pidato, harus ada agenda besar untuk
melakukan penyadaran yang lebih substansial baik dalam konteks keumatan ataupun
kebangsaan. Agenda tentang kesadaran transformasi sosial kebangsaan. Jika
tidak, semuanya hanya akan berhenti sebatas upacara! Tahun baru Islam satu
Muharam pun hanya menyisakan `rutinitas ceramah' para dai di atas mimbar
keindonesiaan yang semakin gelap. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar