|
“Lebih jauh, diharapkan hasil survei dapat menjadi bahan diskusi menarik
untuk memahami peta politik pemilihan di negeri ini dan tindak lanjutnya guna
mendorong partisipasi politik lebih signifikan lewat pemilu yang akuntabel,
lebih baik, dan andal.”
Kemarakan hasil survei lembaga-lembaga polling menjelang Pemilu 2014 telah mengundang kritik karena hasilnya dianggap tidak objektif dan menyesatkan. Maklum, banyak lembaga survei (LS) juga berperan sebagai konsultan politik kandidat tertentu.
LS dicurigai telah mengatur hasil riset agar dapat memenuhi kepentingan kandidat yang mendanainya. Selanjutnya, dipublikasikan untuk menggalang opini publik. Boleh saja LS menjadi agen ganda, asal bekerja secara profesional, akuntabel, dan berintegritas.
Akuntabilitas menyangkut metode, waktu pelaksanaan, jumlah responden, tujuan, dan hasilnya. Masyarakat sudah tahu bahwa survei didanai tokoh tertentu. LS harus dapat menjelaskan kritik ini tidak hanya informatif, tapi juga edukatif bagi publik.
Yang mensponsori harus dijelaskan secara terbuka dan objektif. Demikian juga dengan tujuan dan hasil survei. Artinya, di poin inilah LS maupun konsultan politik harus mampu menunjukkan bahwa penelitiannya sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Mereka harus mampu membuktikan bahwa hasil survei objektif dan tidak direkayasa untuk memenuhi kepentingan kandidat.
Objektivitas hasil survei dan profesionalisme LS menjadi sangat penting karena mereka juga harus mendidik masyarakat, khususnya informasi politik kepada para pemilih.
Sebab ada kekhawatiran hasil survei pesanan pihak tertentu dijadikan konsumsi publik. Di sisi lain, LS dibayar atau didanai kontestan politik juga sewajarnya dipahami. Sebab, bagaimanapun, dalam pasar politik, LS membutuhkan biaya untuk survei.
Namun, ketika hasil survei disebarluaskan menjadi konsumsi publik, harus ada tanggung jawab moral, ilmiah, profesionalitas, dan akuntabilitas. Jangan sampai hasil survei dimanipulasi untuk memenuhi kepuasan klien yang mendanai. Ini bisa menyesatkan pemilih.
Objektivitas menyangkut survei dijalankan, metode yang diterapkan, pertanyaan yang diajukan (terbuka maupun tertutup), daftar kandidat dan model variasi head to head kandidat dalam kuesioner, pemilihan responden, dan area survei.
Dengan begitu, LS memberi pendidikan, tidak mengarahkan atau menggiring ke opini atau pilihan tertentu. LS juga tidak menyesatkan dan membodohi responden khususnya, serta masyarakat umumnya. Dengan demikian, hasil survei yang pada dasarnya disarikan secara kuantitatif juga dapat dipahami konteks dan realitas politiknya oleh para pihak yang membaca.
Hal tersebut juga dapat dilihat dari pertanyaan yang diajukan serta hasil survei itu sendiri. Tambah lagi presentasi hasil survei berdasarkan indikator yang menjadi acuan analisis hasil. Jangan sampai sejak awal proses survei, terutama desainnya, menyesatkan responden maupun pihak lain yang akan mencerna atau menjadi target.
Realitas Politik
Lembaga survei harus mempertimbangkan realitas politik, termasuk perundang-undangan, terkait ketentuan kandidat pemilu. Menarik jika ada pertanyaan terbuka, misalnya jawaban top of mind responden soal preferensi terhadap kandidat dan kriteria kandidat yang diinginkan.
Dengan demikian, lewat pertanyaan yang diajukan maupun proses survei, responden memperoleh pengetahuan dan memunyai ruang untuk menyatakan pendapat. Di samping itu, masyarakat memperoleh pengetahuan terkait topik yang ditanyakan. Apalagi pascareformasi, pemilih semakin melek politik dan bisa jadi enumerator atau responden yang kritis saat melihat nama-nama yang diajukan dalam kuesioner.
Di sisi lain, ada kebebasan LS merancang daftar pertanyaan, metode yang digunakan, indikator atau pertanyaan khusus sebagai landasan acuan survei dan analisis. Ini boleh saja sejauh dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah dan objektivitas. Jadi, semua kembali pada maksud dan tujuan survei.
Hasil survei bisa jadi tidak selalu paralel atau konsisten antarpilihan yang menjadi preferensi responden. Misalnya, elektabilitas partai politik tidak selalu sebanding dengan kandidat. Interpretasinya bisa beragam.
Penting melengkapi analisis kualitatif untuk memperkaya dan memperdalam temuan-temuan survei yang kuantitatif tersebut untuk menjelaskan lebih jauh hasilnya. Dengan demikian, LS dapat memaparkan temuannya, tidak hanya secara edukatif, tapi juga komprehensif dan sesuai dengan realitas politik sehingga tidak menyesatkan. Meskipun tetap saja tiap individu memiliki cara tersendiri menginterpretasikan hasil survei.
LS, konsultan politik, kandidat, atau pendana harus mengimbangi survei kuantitatif tersebut dengan penelitian berpendekatan kualitatif. Misalnya, lewat kajian literatur, analisis media, wawancara mendalam, dan diskusi terbatas dengan narasumber tertentu sesuai kebutuhan penelitian.
Dengan demikian, survei yang dilakukan dapat menyajikan hasil yang komprehensif, tidak hanya secara kuantitatif lewat data angka yang dihasilkan, namun juga komprehensif secara kualitatif terkait konteks dan aspek-aspek politik, demografis, sosial, ekonomi, dan budaya.
Lebih jauh, diharapkan hasil survei dapat menjadi bahan diskusi menarik untuk memahami peta politik pemilihan di negeri ini dan tindak lanjut guna mendorong partisipasi politik lebih signifikan lewat pemilu yang akuntabel, lebih baik, dan andal.
Survei merupakan salah satu, bukan segalanya, baik bagi pemilih maupun kandidat. Butuh aspek lain, seperti kesadaran, kemauan, informasi dan pengetahuan memadai mengenai demokrasi. Akhirnya semua kembali lagi pada pilihan dan pertimbangan hati.
Hasil survei bisa menjadi salah satu rujukan membantu kandidat maupun pemilih dalam membaca dan menelaah peta politik, terutama jika dilengkapi dengan penjelasan lewat penelitian kualitatif paralel dengan survei kuantitatif tersebut.
LS dapat memainkan peran dengan menginformasikan kepada kandidat, pendana, responden, dan masyarakat. Selama hasilnya dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan realitas politik, tetap sah. Namun yang terpenting, survei harus menjauhkan diri dari tujuan komersial. Sebab jika sudah seperti itu, jangan harap ada survei yang kredibel. ●
Kemarakan hasil survei lembaga-lembaga polling menjelang Pemilu 2014 telah mengundang kritik karena hasilnya dianggap tidak objektif dan menyesatkan. Maklum, banyak lembaga survei (LS) juga berperan sebagai konsultan politik kandidat tertentu.
LS dicurigai telah mengatur hasil riset agar dapat memenuhi kepentingan kandidat yang mendanainya. Selanjutnya, dipublikasikan untuk menggalang opini publik. Boleh saja LS menjadi agen ganda, asal bekerja secara profesional, akuntabel, dan berintegritas.
Akuntabilitas menyangkut metode, waktu pelaksanaan, jumlah responden, tujuan, dan hasilnya. Masyarakat sudah tahu bahwa survei didanai tokoh tertentu. LS harus dapat menjelaskan kritik ini tidak hanya informatif, tapi juga edukatif bagi publik.
Yang mensponsori harus dijelaskan secara terbuka dan objektif. Demikian juga dengan tujuan dan hasil survei. Artinya, di poin inilah LS maupun konsultan politik harus mampu menunjukkan bahwa penelitiannya sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Mereka harus mampu membuktikan bahwa hasil survei objektif dan tidak direkayasa untuk memenuhi kepentingan kandidat.
Objektivitas hasil survei dan profesionalisme LS menjadi sangat penting karena mereka juga harus mendidik masyarakat, khususnya informasi politik kepada para pemilih.
Sebab ada kekhawatiran hasil survei pesanan pihak tertentu dijadikan konsumsi publik. Di sisi lain, LS dibayar atau didanai kontestan politik juga sewajarnya dipahami. Sebab, bagaimanapun, dalam pasar politik, LS membutuhkan biaya untuk survei.
Namun, ketika hasil survei disebarluaskan menjadi konsumsi publik, harus ada tanggung jawab moral, ilmiah, profesionalitas, dan akuntabilitas. Jangan sampai hasil survei dimanipulasi untuk memenuhi kepuasan klien yang mendanai. Ini bisa menyesatkan pemilih.
Objektivitas menyangkut survei dijalankan, metode yang diterapkan, pertanyaan yang diajukan (terbuka maupun tertutup), daftar kandidat dan model variasi head to head kandidat dalam kuesioner, pemilihan responden, dan area survei.
Dengan begitu, LS memberi pendidikan, tidak mengarahkan atau menggiring ke opini atau pilihan tertentu. LS juga tidak menyesatkan dan membodohi responden khususnya, serta masyarakat umumnya. Dengan demikian, hasil survei yang pada dasarnya disarikan secara kuantitatif juga dapat dipahami konteks dan realitas politiknya oleh para pihak yang membaca.
Hal tersebut juga dapat dilihat dari pertanyaan yang diajukan serta hasil survei itu sendiri. Tambah lagi presentasi hasil survei berdasarkan indikator yang menjadi acuan analisis hasil. Jangan sampai sejak awal proses survei, terutama desainnya, menyesatkan responden maupun pihak lain yang akan mencerna atau menjadi target.
Realitas Politik
Lembaga survei harus mempertimbangkan realitas politik, termasuk perundang-undangan, terkait ketentuan kandidat pemilu. Menarik jika ada pertanyaan terbuka, misalnya jawaban top of mind responden soal preferensi terhadap kandidat dan kriteria kandidat yang diinginkan.
Dengan demikian, lewat pertanyaan yang diajukan maupun proses survei, responden memperoleh pengetahuan dan memunyai ruang untuk menyatakan pendapat. Di samping itu, masyarakat memperoleh pengetahuan terkait topik yang ditanyakan. Apalagi pascareformasi, pemilih semakin melek politik dan bisa jadi enumerator atau responden yang kritis saat melihat nama-nama yang diajukan dalam kuesioner.
Di sisi lain, ada kebebasan LS merancang daftar pertanyaan, metode yang digunakan, indikator atau pertanyaan khusus sebagai landasan acuan survei dan analisis. Ini boleh saja sejauh dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah dan objektivitas. Jadi, semua kembali pada maksud dan tujuan survei.
Hasil survei bisa jadi tidak selalu paralel atau konsisten antarpilihan yang menjadi preferensi responden. Misalnya, elektabilitas partai politik tidak selalu sebanding dengan kandidat. Interpretasinya bisa beragam.
Penting melengkapi analisis kualitatif untuk memperkaya dan memperdalam temuan-temuan survei yang kuantitatif tersebut untuk menjelaskan lebih jauh hasilnya. Dengan demikian, LS dapat memaparkan temuannya, tidak hanya secara edukatif, tapi juga komprehensif dan sesuai dengan realitas politik sehingga tidak menyesatkan. Meskipun tetap saja tiap individu memiliki cara tersendiri menginterpretasikan hasil survei.
LS, konsultan politik, kandidat, atau pendana harus mengimbangi survei kuantitatif tersebut dengan penelitian berpendekatan kualitatif. Misalnya, lewat kajian literatur, analisis media, wawancara mendalam, dan diskusi terbatas dengan narasumber tertentu sesuai kebutuhan penelitian.
Dengan demikian, survei yang dilakukan dapat menyajikan hasil yang komprehensif, tidak hanya secara kuantitatif lewat data angka yang dihasilkan, namun juga komprehensif secara kualitatif terkait konteks dan aspek-aspek politik, demografis, sosial, ekonomi, dan budaya.
Lebih jauh, diharapkan hasil survei dapat menjadi bahan diskusi menarik untuk memahami peta politik pemilihan di negeri ini dan tindak lanjut guna mendorong partisipasi politik lebih signifikan lewat pemilu yang akuntabel, lebih baik, dan andal.
Survei merupakan salah satu, bukan segalanya, baik bagi pemilih maupun kandidat. Butuh aspek lain, seperti kesadaran, kemauan, informasi dan pengetahuan memadai mengenai demokrasi. Akhirnya semua kembali lagi pada pilihan dan pertimbangan hati.
Hasil survei bisa menjadi salah satu rujukan membantu kandidat maupun pemilih dalam membaca dan menelaah peta politik, terutama jika dilengkapi dengan penjelasan lewat penelitian kualitatif paralel dengan survei kuantitatif tersebut.
LS dapat memainkan peran dengan menginformasikan kepada kandidat, pendana, responden, dan masyarakat. Selama hasilnya dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan realitas politik, tetap sah. Namun yang terpenting, survei harus menjauhkan diri dari tujuan komersial. Sebab jika sudah seperti itu, jangan harap ada survei yang kredibel. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar