Jumat, 08 November 2013

Menata Ruang dan Air Berkelanjutan

Menata Ruang dan Air Berkelanjutan
Nirwono Joga  ;  Koordinator Gerakan Indonesia Menghijau
TEMPO.CO, 08 November 2013


Hari Tata Ruang Dunia (World Town-Planning Day), yang jatuh setiap 8 November, merupakan momentum yang tepat bagi kota-kota di Indonesia yang tengah bersiap-siap menghadapi musim hujan dan ancaman banjir. Mengapa?

Fenomena pemanasan global telah mengakibatkan perubahan iklim ekstrem dan degradasi kualitas lingkungan. Akibat salah kelola air, kota mengalami banjir pada musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Hal ini mendorong berbagai kota di dunia melakukan mitigasi, antisipasi, dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Untuk itulah, Hari Tata Ruang (Hataru) Dunia 2013 mengangkat tema "Water and Planning: The Fluid Challenge". Sedangkan di Indonesia, temanya adalah "Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup Lebih Baik".

Air adalah sumber kehidupan kita dan kota. Kota-kota besar dunia mencapai puncak kejayaan dan kesejahteraan ditandai dengan perilaku kota yang ramah terhadap air. Sungai mengalirkan air jernih dan bersih, bebas dari limbah dan sampah, menjadi tempat rekreasi menarik bersama keluarga. Waduk, danau, dan situ berfungsi sebagai daerah tangkapan air pada musim hujan, dan menyuplai air bersih di musim kemarau, serta menjadi habitat satwa air. Pantai menjadi ruang publik yang terbuka untuk umum, wajah depan lanskap kota, serta benteng alami penahan tsunami dan abrasi.

Sebaliknya, kala kita dan kota mengkhianati fitrah air, dipastikan kota tengah menuju bunuh diri ekologis. Wajah air di sungai, danau/situ/waduk, hingga ujung pantai berubah menjadi hitam pekat tercemar berat, berbau menyengat, dan kota pun sekarat.

Sungai dijadikan jamban buang hajat terpanjang, saluran limbah mengalir, tempat pembuangan sampah, dan dikerumuni perumahan liar di sepanjang bantaran. Sungai pun menyempit dan mendangkal. Pada musim hujan, air sungai meluap dan membanjiri kota. Sedangkan pada musim kemarau, debit air menurun tetapi air tidak dapat digunakan karena tercemar berat. 

Danau, situ, dan waduk menjadi kolam penampung air limbah rumah tangga, penuh sampah dan eceng gondok (Eichhornia crassipes). Eceng gondok mempercepat hilangnya air melalui penguapan daun, menurunkan tingkat kelarutan oksigen dalam air (dissolved oxygen) dan jumlah cahaya yang masuk ke dalam air. Eceng gondok yang mati akan turun ke dasar air dan mempercepat pendangkalan waduk. 

Bau busuk air waduk yang tercemar limbah dan tumpukan sampah telah memicu perkembangbiakan lalat dan nyamuk ke arah permukiman di sekitar waduk. Sampah juga menutup saluran dan pintu penyaring sampah, yang membuat aliran air terhambat. Akibatnya, fungsi danau, situ, dan waduk sebagai penampung air dan pengendali banjir pun menurun.

Selaras dengan tema Hataru 2013, ada tantangan membentang di depan dalam menata ruang dan air secara selaras, agar kota-kota terhindar dari bencana air. Bagaimana kota mampu memitigasi, mengantisipasi, dan beradaptasi terhadap perubahan iklim, sehingga kota dapat mengelola air dengan bijak dan berkelanjutan, tidak banjir pada musim hujan, tidak kekeringan di musim kemarau, dan persediaan air tercukupi sepanjang masa. 

Lima langkah

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah daerah wajib menata ulang ruang kota dan mewujudkan kota yang ramah air secara berkelanjutan. Lalu, apa yang harus dilakukan?

Pertama, cek regulasi yang berlaku. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang, setiap kota sebenarnya sudah memiliki peruntukan kawasan yang jelas di mana kawasan yang boleh dibangun dan di mana yang harus menjadi ruang terbuka hijau (RTH). RTH berfungsi sebagai daerah resapan air (taman, hutan, kebun raya), tangkapan air (danau, situ, waduk, kolam), pengalir air (bantaran sungai, jalur hijau saluran air), dan benteng alami pantai (hutan mangrove). RTH harus bebas dari bangunan dan dikembalikan menjadi daerah resapan air.

Kedua, cek legalitas lahan. Pemerintah daerah mesti segera mendata ulang legalitas kepemilikan lahan bangunan di atas RTH (bantaran kali, tepian danau/situ/waduk, tepi pantai, dan hutan mangrove). Inventarisasi status lahan, identifikasi dengan cepat, klarifikasi ulang dengan jelas, dan tentukan prioritas solusi. Kepemilikan lahan yang jelas akan memudahkan pemerintah dalam memutuskan langkah selanjutnya. Jika lahan itu merupakan milik badan pemerintah, pemda segera berkoordinasi di antara lembaga pemerintah terkait. Kalau lahan milik perusahaan, pemda dapat membelinya atau mengembangkan lahan bersama. Bagi warga yang memiliki surat tanah resmi, pemerintah harus mempermudah pengurusan surat dengan cepat, tidak berbelit, dan murah. 

Ketiga, pembangunan, penataan, dan pengelolaan kawasan air melibatkan pihak akademisi, pengembang, warga, dan pemerintah. Mereka berembuk merumuskan arah dan strategi pengembangan kawasan menjadi RTH. Meski memakan waktu dan daya tahan lama, pemda harus merekayasa sosialisasi untuk mengajak warga mau berpindah secara sukarela bergeser (bukan digusur) ke hunian rumah susun terpadu.

Kawasan dilengkapi fasilitas hunian vertikal dan pusat kegiatan komersial berimbang dengan komposisi 1 : 2 : 3. Kawasan terdiri atas satu menara pusat belanja dan perkantoran, dua menara apartemen menengah untuk karyawan pekerja kantoran atau keluarga muda, dan tiga atau lebih menara rumah susun milik atau sewa (rusunami/rusunawa). Pada bangunan rusun, dari lantai 1 sampai 5 bisa digunakan untuk ruang studio, tempat pendidikan keterampilan, dan usaha industri rumah tangga.

Keempat, pemda segera menormalisasi sungai, merehabilitasi saluran air mikro-meso-makro, merevitalisasi danau-situ-waduk, serta menyelamatkan pantai dan hutan mangrove. Sungai dilebarkan dan danau/situ/waduk diperluas dan diperdalam, diikuti relokasi warga bantaran sungai dan danau/situ/waduk ke rusun yang telah disediakan.

Sungai diperlebar dari 20-30 meter menjadi 100 meter (50 meter badan air, 25 meter kiri kanan bantaran sungai) dan diperdalam dari 2-3 meter ke 5-6 meter. Waduk dikeruk dari kedalaman 2-3 meter ke 6-10 meter, dan dikelilingi taman selebar 100-200 meter dari tepi waduk sebagai daerah limpahan air yang bebas dari bangunan, serta dilengkapi sejumlah titik saluran pembuangan air ke sungai terdekat. Selain itu, pemda dapat melakukan gerakan bersama membuat sumur resapan air di halaman rumah warga.

Kelima, pemda harus melakukan rekayasa sosial terhadap masyarakat di kawasan tepian air (bantaran sungai, tepian danau/situ/waduk) untuk membangun budaya baru, mensosialisasi kesadaran bersama berkota peduli tata ruang dan air kota yang berkelanjutan, bersedia secara sukarela berpindah, meremajakan kawasan, bertransformasi dari kawasan kumuh padat penduduk dan bangunan menjadi kawasan terpadu ramah lingkungan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan warga. 

Harmonisasi antara tata ruang dan tata kelola air bukan suatu pilihan, melainkan sebuah keharusan, sehingga kota dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi warganya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar