Jumat, 08 November 2013

Cermin Sudah Telanjur Retak

Cermin Sudah Telanjur Retak
Adi Andojo Soetjipto  ;  Mantan Ketua Muda MA
KOMPAS, 08 November 2013


PAGI tanggal 4 November 2013 saya baca di harian Kompas tulisan yang berjudul ”Benteng Terakhir Itu Mulai Retak dan Goyah”.

Di dalamnya tertulis ”’Saat disampaikan, Bapak (Andi Ayyub) mengatakan akan dilihat dulu berkasnya. Bapak juga minta fee dinaikkan menjadi Rp 250 juta,’ katanya. Terakhir, kata Suprapto, Andi Ayyub minta fee dinaikkan lagi menjadi Rp 300 juta.”

Berita yang ditulis di harian Kompas tersebut, yang mengutip keterangan Suprapto ketika memberi kesaksian di depan sidang pengadilan tindak pidana korupsi, pasti akan dibantah Hakim Agung Andi Ayyub sebagai berita yang tidak benar.

Memang sekarang zamannya bantah-membantah. Namun, betapa sengitnya orang membantah, kalau namanya sudah disebut lewat media secara luas bahwa yang bersangkutan mau ditawari fee sampai ratusan juta rupiah, hal tersebut mau tak mau akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat akan penegakan keadilan di negeri ini.

Apa langkah selanjutnya yang akan ditempuh unsur pimpinan Mahkamah Agung (MA)? Memanggil yang bersangkutan untuk diperiksa di depan Majelis Kehormatan tentang hakim agung yang bersangkutan sudah melanggar kode etik? Itu cara yang menurut saya, berdasarkan norma yang ada, terlalu lunak dan tidak akan membuat jera.

Saya dulu pernah punya gagasan yang sempat saya sampaikan kepada Pak Ali Said selaku Ketua MA saat itu, yakni agar hakim agung yang sampai di-”isu”-kan (baru isu!) berbuat menjual perkara supaya langsung dipecat saja tanpa ampun. Menurut saya, hakim agung harus betul-betul bebas dari segala isu negatif: harus suci-bersih dari segala bentuk perbuatan kotor.

Akan tetapi, apa kata Pak Ali Said? Katanya (dalam bahasa Belanda), ”Dan ben jij als pimpinan niet waard!” (Kalau begitu, kamu tidak pantas jadi pimpinan).

Baiklah, memang saya tidak pernah sampai pada kedudukan itu. Namun, bagi saya itu tidak menjadi masalah karena yang penting dalam mengemban tugas sebagai hakim agung: kejujuran merupakan prinsip di atas segalanya. Namun, seandainya saya jadi pemimpin, gagasan saya itu pasti akan saya laksanakan demi tegaknya hukum dan keadilan.

Lihat saja kondisi sekarang: sangat menyedihkan! Banyak ketentuan UU yang dijungkirbalikkan. Bukan untuk rasa keadilan, melainkan untuk sebaliknya: demi untuk ”aku dan saku”.

Contohnya, menurut KUHAP, yang dapat mengajukan peninjauan kembali (PK) hanyalah terpidana atau ahli warisnya. Sekarang ahli waris itu diartikan dalam arti hukum perdata. Kalau zaman saya dulu, kasasi tak boleh mengubah hukuman (pidana yang dijatuhkan). Sekarang hukuman di tingkat kasasi dapat ditambah sampai berlipat-lipat. Sayang seandainya menaikkan pidana dalam tingkat kasasi hanya untuk menaikkan popularitas hakim yang menanganinya.

Ada satu hal lagi yang tak boleh dilakukan zaman saya dulu, yaitu hasil musyawarah majelis hakim yang bersifat rahasia. Sekarang bahkan ada surat edaran MA yang membolehkan hasil musyawarah diumumkan sehingga yang berpendapat beda (dissenting opinion) terangkat popularitasnya.

Menurut saya, pelan tapi pasti, MA harus diperbaiki. Saya kurang paham mengenai UU tentang Komisi Yudisial. Namun, timbul pertanyaan di hati kecil saya, sudah tepatkah KY mempunyai wewenang mengawasi MA atau hakim-hakim? Bukankah pihak eksekutif tidak boleh mengintervensi pihak yudikatif?

Menurut saya, KY adalah badan eksekutif. Wewenang KY hanya mengawasi pelaksanaan eksekusi putusan hakim, seperti wewenang yang dimiliki hakim pengawas dan pengamat menurut KUHAP. Jadi, hakim sendirilah yang mengawasi hakim tanpa ada intervensi dari pihak eksekutif. Saya tidak bermaksud untuk mengkritik, tetapi menginginkan suatu penjelasan yang proporsional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar