|
“Demokrasi tak mengharamkan pemogokan sebagai bagian
penyelesaian perselisihan yang tersendat.”
Semua
pihak, termasuk pengusaha mengakui upah buruh yang diterima saat ini belum
layak untuk mewujudkan kehidupan berkualitas bagi buruh dan keluarganya.
Wakil
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pernah berseloroh bahwa
upah buruh Jakarta mestinya bisa mencapai Rp 4 juta per bulan. Betapa mahal
hidup di Jakarta dideskripsikan Ahok, bahkan dengan gaji Rp 20 juta per bulan
pun, warga DKI tetap tak bisa memiliki rumah bagus di wilayah Jakarta.
Pengakuan
kesulitan buruh yang berupah minim, toh dihadapkan pada kesulitan khas
pengusaha yang selalu diembus-embuskan. Upah yang naik tinggi akan semakin
menggerus keuntungan mereka. Beberapa perusahaan mungkin mengambil langkah
drastis, seperti efisiensi (PHK massal) atau merelokasi pabrik ke daerah
berupah rendah, bahkan ke luar negeri.
Ancaman-ancaman
ini turut meyakinkan pemerintah sehingga mendukung pembatasan kenaikan upah
seperti yang pernah diwacanakan sejumlah menteri. Banyak pengamat ekonomi yang
juga berdiri di sisi ini. Dengan demikian, masalah-masalah pengusaha mendapat
tempat lebih penting ketimbang masalah kaum buruh.
Buruh
lantas merasa tak memiliki ”kawan sejati” yang mampu membela kepentingannya.
Bukan dalam hal upah saja perasaan ketertindasan buruh mengemuka. Dalam
berbagai perselisihan hubungan kerja, buruh sudah dikalahkan ”aliansi”
pengusaha, pemerintah, dan aparat keamanan. Hukum positif perburuhan mudah saja
diakali kalangan berduit ini, sedangkan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker)
berlindung pada minimnya jumlah pengawas.
Perihal
sistem kerja kontrak dan outsourcing adalah pelanggaran nyata-nyata yang
dijalankan mayoritas pengusaha. Saat ini nyaris tak ada mekanisme perekrutan
tenaga kerja yang lolos dari sistem penjajahan gaya baru ini. Segala
undang-undang dan peraturan setingkat kementerian diturunkan untuk membatasinya
secara ketat. Di lapangan, peraturan perundangan tersebut hanyalah macan
kertas, galak hanya di atas kertas.
Membebaskan
diri dari kesulitan-kesulitan ini, buruh harus menghadapinya sendiri. Mereka
membangun serikat, tapi hal ini juga tak mudah. Bagi pekerja
kontrak/outsourcing, memiliki serikat buruh adalah kemewahan. Berani
melakukannya, ancaman mengadang jelas dalam bentuk pemutusan kontrak.
Fase
Lanjutan
Wajar
jika pola perjuangan buruh kemudian bermetamorfosis ke tingkat lebih tinggi
yaitu mogok nasional. Inilah arena tanding yang menghadapkan pihak
berkepentingan pada situasi ”tos-tosan”.
Pengusaha
terancam kehilangan keuntungan besar-besaran akibat berhentinya operasi pabrik,
buruh tak dibayar selama melakukan mogok, dan pemerintah kelimpungan mencari
solusi yang tepat. Fase selanjutnya seperti di Bangladesh, pemogokan adalah
senjata oposan melucuti kekuasaan pemegang tampuk kepemimpinan.
Pemogokan
adalah fase baru perjuangan buruh, setidaknya sejak era Reformasi bergulir.
Demokrasi di negeri ini melahirkan protes, demonstrasi, unjuk rasa, bagai buih
yang kecil-kecil, tapi berjumlah amat banyak. Selain mahasiswa, buruh termasuk
elemen masyarakat yang menikmati kebebasan berekspresi ini.
Demonstrasi
buruh di seantero negeri tak terhitung lagi. Beberapa menemui hasil positif,
sebagian besar lainnya tidak. Pada tuntutan-tuntutan berskala nasional atau
peringatan May Day, buruh tak pernah alpa memperlihatkan kekuatan besarnya.
Namun, demonstrasi saja rasanya belum cukup. Belum cukup ”nendang”.
Pemogokan
seperti jalan keluar yang logis. Tahun lalu, 3 Oktober 2012, merupakan
percobaan kecil yang berhasil. Meski berlangsung sehari dan hanya terbatas di
seputar kawasan industri penting, pemogokan nasional buruh sukses membetot
perhatian publik secara luar biasa.
Para
pengusaha gelagapan dibuatnya dan terpaksa mengalami kerugian hingga puluhan
triliun rupiah. Hasilnya pun manis, upah minimum di sekitar DKI Jakarta
melonjak tajam hingga 44 persen.
”Efek
destruktif” pemogokan demikian mengkhawatirkan, inilah celah yang ingin
dimanfaatkan kaum buruh. Tahun ini, ”percobaan” pemogokan digulirkan kembali
dengan masa pemogokan bertambah sehari.
Buruh
yang kepentingannya selalu dinomorduakan ini mengerti bahwa kekuatannya justru
terletak pada dirinya sendiri, saat mereka tak sudi bekerja untuk waktu yang
telah ditentukan.
Lumrah
Bagi
yang fobia terhadap demonstrasi dan (kini bertambah) pemogokan, mulai kini
harus menyadari bahwa keduanya adalah produk atau setidaknya menyertai
demokrasi. Menyepakati demokrasi sebagai sistem kehidupan bernegara, berarti
menerima ekses-eksesnya. Demokrasi tak mengharamkan pemogokan sebagai bagian
penyelesaian perselisihan yang mampat.
Di
negara-negara dengan demokrasi purna, pemogokan adalah hal wajar. Di Portugal,
Prancis, Inggris, dan Yunani pemogokan beberapa kali terjadi dan cukup sering
akhir-akhir ini. Pemogokan itu biasanya respons terhadap kebijakan pemerintah
yang merugikan rakyat, seperti memotong anggaran publik, lalu dana publik itu
malah digelontorkan untuk menyelamatkan bank-bank bermasalah (bailout).
Saat
pemogokan terjadi, nyaris semua orang berhenti bekerja. Kota-kota yang biasanya
ramai oleh hilir mudik kendaraan dan manusia sontak sepi, seperti Jakarta saat
Lebaran. Anda tak bisa terbang atau naik kereta karena semua moda transportasi
berhenti beroperasi. Sekadar belanja pun jadi rumit karena toko-toko pada
tutup. Kota lumpuh, negara lumpuh.
Suasana
semacam ini belum dialami rakyat Indonesia. Pemogokan nasional edisi kedua
tahun ini lebih sebagai kompaknya kaum buruh untuk tidak bekerja. Masyarakat
nonburuh pabrik masih tetap bekerja seperti biasanya, sehingga orang tak perlu
khawatir bepergian kemana pun, meski terkena imbas kemacetan lalu lintas yang
tidak biasanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar