Minggu, 03 November 2013

Mengeluh

Mengeluh
R Valentina Sagala  ;  Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan 
SINAR HARAPAN, 02 November 2013


Di banyak media belakangan ini, kita menyaksikan keluhan Presiden Yudhoyono yang berbuntut beragam komentar dari masyarakat.

Reaksi yang muncul konon sebagai respons keras presiden terhadap pernyataan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terkait dugaan kedekatan presiden dengan Bunda Putri yang diduga sebagai calo yang mengatur proyek pemerintah.
Presiden juga mengeluhkan Anas Urbaningrum dan ormas Perhimpunan Pergerakan Indonesia yang dibentuk Anas, serta menuduh Anas hendak menghancurkan dirinya dan Partai Demokrat yang dipimpinnya.

Soal keluhan, beberapa tahun lalu, atas permintaan seorang teman, saya terlibat dalam audit sosial perusahaan. Satu hal yang mendapat perhatian, di antara berpuluh aspek yang hendak diperiksa adalah complaint procedure atau prosedur penanganan keluhan.

Secara teori, selain prosedur penanganan keluhan dari pelanggan (eksternal), dalam perusahaan sangat penting memastikan adanya penanganan keluhan karyawan (datang dari internal).

Keluhan yang datang dari karyawan umumnya berupa perasaan ketidakpuasan atau ketidakadilan pribadi karyawan yang berkaitan dengan kerjanya. Sebuah perusahaan atau organisasi tidak boleh mengabaikan keluhan karyawan atau anggotanya.

Itu mengapa prosedur keluhan disusun sebagai suatu proses yang sistematis formal yang memungkinkan karyawan untuk mengungkapkan keluhan tanpa membahayakan pekerjaan mereka. Pada saat bersamaan, manajemen perlu memastikan adanya “pengecekan dan penyeimbangan” (checks-and-balances).

Pengaturan ini memastikan keakuratan keluhan, menjamin transparansi, mencegah dominasi, dan menjaga proses yang adil. Tujuannya untuk membantu manajemen mencari penyebab dan solusi untuk keluhan.

Di mana letak keluhan para pemimpin perusahaan? Pada saat bersamaan, perusahaan juga memiliki mekanisme kontrol internal sebagai penjaga dari adanya tindak penipuan dan kesalahan karena kelalaian yang bisa merugikan atau mengancam bubarnya perusahaan.

Dalam sistem dengan checks-and-balances, kewenangan untuk membuat keputusan, dan tanggung jawab terkait untuk memverifikasi pelaksanaan yang tepat, didistribusikan di antara departemen/unit yang berbeda. Prinsipnya tidak ada satu unit yang dapat menyelesaikan transaksi semua sendiri.

Sebagai contoh, departemen pembelian pesanan bahan baku dan penjualan barang/jasa, menerima dan membandingkan pesanan pembelian masing-masing; departemen jaminan kualitas memeriksa dan memverifikasi kualitasnya; departemen akuntansi memverifikasi jumlah faktur, dan keuangan melakukan pembayaran untuk pembelian.

Proses ini menekankan saling ketergantungan dan menciptakan rekam data atau dokumen yang dapat diaudit. Tujuannya agar tidak ada “kekuasaan” yang absolut berada hanya di satu posisi, termasuk pemimpin perusahaan. Dengan kata lain, tidak ada dominasi di satu pemegang kekuasaan; tidak ada yang boleh berbuat semaunya sendiri dengan kekuasaan yang dimilikinya.

Di masyarakat global, sistem hukum ketenagakerjaan diharuskan memastikan adanya pengakuan terhadap ruang penyampaian keluhan dan penanganannya.
Kita tahu para pemilik perusahaan, misalnya, tunduk terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang salah satunya menjamin adanya penyampaian keluhan atau aspirasi kepada lembaga negara seperti presiden (langsung atau melalui kementerian terkait), Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif), dan mekanisme peradilan (yudikatif).

Filosofinya, dalam industri sekalipun, negara harus memastikan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial (yang menjadi tujuan bernegara) terwujud.

Indonesia bukanlah negara kekuasaan (machtstaat), melainkan negara hukum (rechtstaat). Sebagai konsekuensi perubahan UUD, prinsip kedaulatan rakyat dibagi secara horizontal dengan memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan-kekuasaan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan, berdasarkan prinsip check and balances.

Kekuasaan negara mesti diatur, dibatasi bahkan dikontrol, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara dapat dicegah dan diatasi.

Selain lewat norma hukum, yang tidak kalah penting adalah diperlukannya norma etika-moral guna mengatur, mengendalikan, dan mendorong dinamika kehidupan yang bermartabat, misalnya bagaimana seorang pemimpin bisa menempatkan posisinya sebagai pemimpin negara, “individu”, atau “pemimpin partai politik”.

Dari kecil orang tua mendidik saya bahwa sikap pemimpin bukanlah mengeluh, tetapi nyata melayani rakyat. Didikan ini terus saya yakini.

Bagi saya, sebagai presiden, Pak Yudhoyono semestinya berhenti mengeluh, apalagi soal internal Partai Demokrat. Dalam pemilihan umum lalu yang menjadi legitimasinya sebagai presiden, rasanya tak ada etika-moral yang menempatkannya mendahulukan kepentingan Partai Demokrat dibandingkan kepentingan rakyat, termasuk perempuan dan anak, yang mesti nyata dilayaninya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar