Minggu, 03 November 2013

Memahami Pemogokan Buruh

Memahami Pemogokan Buruh
Nining Elitos  ;  Ketua Umum Konfederasi KASBI
SINAR HARAPAN, 02 November 2013

  
“Demokrasi tak mengharamkan pemogokan sebagai bagian penyelesaian perselisihan yang tersendat.”

Semua pihak, termasuk pengusaha mengakui upah buruh yang diterima saat ini belum layak untuk mewujudkan kehidupan berkualitas bagi buruh dan keluarganya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pernah berseloroh bahwa upah buruh Jakarta mestinya bisa mencapai Rp 4 juta per bulan. Betapa mahal hidup di Jakarta dideskripsikan Ahok, bahkan dengan gaji Rp 20 juta per bulan pun, warga DKI tetap tak bisa memiliki rumah bagus di wilayah Jakarta.

Pengakuan kesulitan buruh yang berupah minim, toh dihadapkan pada kesulitan khas pengusaha yang selalu diembus-embuskan. Upah yang naik tinggi akan semakin menggerus keuntungan mereka. Beberapa perusahaan mungkin mengambil langkah drastis, seperti efisiensi (PHK massal) atau merelokasi pabrik ke daerah berupah rendah, bahkan ke luar negeri.

Ancaman-ancaman ini turut meyakinkan pemerintah sehingga mendukung pembatasan kenaikan upah seperti yang pernah diwacanakan sejumlah menteri. Banyak pengamat ekonomi yang juga berdiri di sisi ini. Dengan demikian, masalah-masalah pengusaha mendapat tempat lebih penting ketimbang masalah kaum buruh.

Buruh lantas merasa tak memiliki ”kawan sejati” yang mampu membela kepentingannya. Bukan dalam hal upah saja perasaan ketertindasan buruh mengemuka. Dalam berbagai perselisihan hubungan kerja, buruh sudah dikalahkan ”aliansi” pengusaha, pemerintah, dan aparat keamanan. Hukum positif perburuhan mudah saja diakali kalangan berduit ini, sedangkan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) berlindung pada minimnya jumlah pengawas.

Perihal sistem kerja kontrak dan outsourcing adalah pelanggaran nyata-nyata yang dijalankan mayoritas pengusaha. Saat ini nyaris tak ada mekanisme perekrutan tenaga kerja yang lolos dari sistem penjajahan gaya baru ini. Segala undang-undang dan peraturan setingkat kementerian diturunkan untuk membatasinya secara ketat. Di lapangan, peraturan perundangan tersebut hanyalah macan kertas, galak hanya di atas kertas.

Membebaskan diri dari kesulitan-kesulitan ini, buruh harus menghadapinya sendiri. Mereka membangun serikat, tapi hal ini juga tak mudah. Bagi pekerja kontrak/outsourcing, memiliki serikat buruh adalah kemewahan. Berani melakukannya, ancaman mengadang jelas dalam bentuk pemutusan kontrak.

Fase Lanjutan

Wajar jika pola perjuangan buruh kemudian bermetamorfosis ke tingkat lebih tinggi yaitu mogok nasional. Inilah arena tanding yang menghadapkan pihak berkepentingan pada situasi ”tos-tosan”.
Pengusaha terancam kehilangan keuntungan besar-besaran akibat berhentinya operasi pabrik, buruh tak dibayar selama melakukan mogok, dan pemerintah kelimpungan mencari solusi yang tepat. Fase selanjutnya seperti di Bangladesh, pemogokan adalah senjata oposan melucuti kekuasaan pemegang tampuk kepemimpinan.

Pemogokan adalah fase baru perjuangan buruh, setidaknya sejak era Reformasi bergulir. Demokrasi di negeri ini melahirkan protes, demonstrasi, unjuk rasa, bagai buih yang kecil-kecil, tapi berjumlah amat banyak. Selain mahasiswa, buruh termasuk elemen masyarakat yang menikmati kebebasan berekspresi ini.

Demonstrasi buruh di seantero negeri tak terhitung lagi. Beberapa menemui hasil positif, sebagian besar lainnya tidak. Pada tuntutan-tuntutan berskala nasional atau peringatan May Day, buruh tak pernah alpa memperlihatkan kekuatan besarnya. Namun, demonstrasi saja rasanya belum cukup. Belum cukup ”nendang”.

Pemogokan seperti jalan keluar yang logis. Tahun lalu, 3 Oktober 2012, merupakan percobaan kecil yang berhasil. Meski berlangsung sehari dan hanya terbatas di seputar kawasan industri penting, pemogokan nasional buruh sukses membetot perhatian publik secara luar biasa.
Para pengusaha gelagapan dibuatnya dan terpaksa mengalami kerugian hingga puluhan triliun rupiah. Hasilnya pun manis, upah minimum di sekitar DKI Jakarta melonjak tajam hingga 44 persen.
”Efek destruktif” pemogokan demikian mengkhawatirkan, inilah celah yang ingin dimanfaatkan kaum buruh. Tahun ini, ”percobaan” pemogokan digulirkan kembali dengan masa pemogokan bertambah sehari.

Buruh yang kepentingannya selalu dinomorduakan ini mengerti bahwa kekuatannya justru terletak pada dirinya sendiri, saat mereka tak sudi bekerja untuk waktu yang telah ditentukan.

Lumrah

Bagi yang fobia terhadap demonstrasi dan (kini bertambah) pemogokan, mulai kini harus menyadari bahwa keduanya adalah produk atau setidaknya menyertai demokrasi. Menyepakati demokrasi sebagai sistem kehidupan bernegara, berarti menerima ekses-eksesnya. Demokrasi tak mengharamkan pemogokan sebagai bagian penyelesaian perselisihan yang mampat.

Di negara-negara dengan demokrasi purna, pemogokan adalah hal wajar. Di Portugal, Prancis, Inggris, dan Yunani pemogokan beberapa kali terjadi dan cukup sering akhir-akhir ini. Pemogokan itu biasanya respons terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, seperti memotong anggaran publik, lalu dana publik itu malah digelontorkan untuk menyelamatkan bank-bank bermasalah (bailout).

Saat pemogokan terjadi, nyaris semua orang berhenti bekerja. Kota-kota yang biasanya ramai oleh hilir mudik kendaraan dan manusia sontak sepi, seperti Jakarta saat Lebaran. Anda tak bisa terbang atau naik kereta karena semua moda transportasi berhenti beroperasi. Sekadar belanja pun jadi rumit karena toko-toko pada tutup. Kota lumpuh, negara lumpuh.

Suasana semacam ini belum dialami rakyat Indonesia. Pemogokan nasional edisi kedua tahun ini lebih sebagai kompaknya kaum buruh untuk tidak bekerja. Masyarakat nonburuh pabrik masih tetap bekerja seperti biasanya, sehingga orang tak perlu khawatir bepergian kemana pun, meski terkena imbas kemacetan lalu lintas yang tidak biasanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar