Senin, 11 November 2013

Kepahlawanan di Tengah Pemiskinan Bangsa

Kepahlawanan di Tengah Pemiskinan Bangsa
Posman Sibuea  ;   Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Unika Santo Thomas Sumatra Utara
MEDIA INDONESIA, 09 November 2013


TANGGAL 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Para pejuang kemerdekaan banyak yang gugur melawan penjajah baik di Surabaya maupun kota-kota lainnya. Meski hanya menggunakan bambu runcing, para pejuang kemerdekaan tak gentar melawan siapa saja yang mau menggagalkan kemerdekaan Indonesia.

Pertempuran heroik untuk mempertahankan kemerdekaan menjadi salah satu ciri kepahlawanan sejati yang diperankan para laskar rakyat saat menghadapi pasukan penjajah. Mereka berkorban demi kedaulatan bangsa yang berkeadilan dan berkemakmuran. Karena itu, saat memperingati Hari Pahlawan merupakan momen tepat untuk melakukan kontemplasi tentang pemahaman kita akan arti kepahlawanan agar tidak sekadar menjadi seremoni hampa makna, tak membuat perubahan apa pun bagi negara.

Lantas pertanyaannya, masih adakah yang patut menyandang gelar pahlawan sejati ketika bangsa ini sedang berjalan menuju bibir jurang krisis multidimensional yang amat dalam? Kini Indonesia seakan kehilangan figur pahlawan. Dulu, musuh utama bangsa ini ialah penjajah. Heroisme untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan pun menjadi pe kik yang tidak pernah berhenti disuarakan. Kini, musuh besar kita ialah kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan.

Proses pemiskinan

Masalah utama yang dihadapi negeri ini ialah proses pemiskinan. Siapa bisa menduga cita-cita proklamasi 1945 untuk mengantarkan Indonesia yang makmur dan sejahtera ternyata kandas setelah 68 tahun usia kemerdekaan?

Indikasinya terlihat jelas. Masa-masa menyedihkan yang pernah terjadi di masa lalu, sekitar tahun 1960-an harus kita alami lagi. Warga harus antre untuk mendapatkan beberapa kilogram berbagai kebutuhan hidup. Mulai dari beras, minyak goreng, gula hingga minyak tanah. Bahkan di tengah persaingan kualitas sumber daya manusia begitu tinggi saat ini, sebagian anak Indonesia harus mengalami perlambatan kecerdasan karena mengalami busung lapar.

Padahal, sebelum krisis ekonomi yang amat melelahkan itu, kita dinobatkan sebagai calon `Macan Asia', `Meteor Asia', dan disebutsebut sebagai calon negara industri baru Asia bersama sekelompok negara terkemuka Asia lainnya.

Sejak kita merdeka, sesung guhnya harapan baru telah lahir di negeri ini. Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, dan pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya ialah figur-figur yang memiliki semangat kepahlawanan ketika mereka berjuang membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan dan kemiskinan. Namun, yang terjadi saat ini tidak seperti yang diharapkan.

Proses pembangunan ekonomi sebagai pusat harapan baru tidak mengalami penguatan setelah 68 tahun usia kemerdekaan, tetapi justru menukik masuk ke fase perapuhan pembangunan ekonomi. Sebagian besar warga kembali sulit mendapatkan makanan bergizi karena daya beli yang makin terpuruk. Kondisi perapuhan kian nyata ketika disandingkan dengan kemajuan di negara-negara tetangga.

Bagi banyak negara, kemerdekaan justru memberi peluang besar untuk memperbaiki nasib. Sebaliknya Indonesia tampak kedodoran dan memasuki fase kegelapan, ruang dengan sejumlah warga kerap harus mengakhiri hidup mereka dengan jalan bunuh diri karena sudah putus asa dengan keadaan di sekitarnya.
Kemauan untuk bangkit bersama--sebuah kecenderungan alamiah ketika sebuah bangsa diterpa krisis berkepanjangan-seharusnya hadir di tengah bangsa ini. Namun, kondisi kita yang masih mengalami transisi demokrasi baru melahirkan hasrat kebangkitan yang tersalurkan dalam keberagaman pandangan. Hal itu pada gilirannya menetaskan kebersamaan yang bias dan beraroma kekoncoan yang mementingkan diri sendiri dan kelompok. Lihatlah korupsi di berbagai daerah yang kian mengganas meski warganya masih banyak yang mengalami kelaparan dan kurang gizi.

Pemerintah juga dianggap telah gagal mengatasi krisis kebutuhan pokok karena mafia pangan berhasil menguasai hampir semua lini, mulai dari beras, daging sapi, kedelai, gula, bawang merah, dan lain-lain. Krisis pangan telah mulai menunjukkan dampaknya yang memaksa sebagian warga harus mengonsumsi nasi aking. Akibatnya, jumlah orang yang mengalami gizi buruk dipastikan akan bertambah.

Orientasi baru

Data terkini menunjukkan hampir 5 juta anak Indonesia tidak bisa tidur nyenyak setiap malam karena perut kelaparan. Hal itu menunjukkan bahwa penderita busung lapar tidak hanya datang dari Benua Afrika yang relatif tandus dan miskin sumber daya alamnya, tetapi dari Indonesia yang dikenal sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi. Kasus gizi buruk yang makin sering terjadi menunjukkan ketahanan pangan keluarga kian rapuh. Tragedi itu sudah pasti menggerogoti kualitas kesehatan warga. Korbannya tidak hanya orang di perdesaan, tetapi juga di pusat-pusat kota, seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan.

Keterpurukan demi keterpurukan yang acap kita rasakan kepedihannya ialah akumulasi dari kinerja ekonomi kita yang belum pulih sejak badai krisis yang menghantam sendi-sendi kehidupan bangsa. 
Sejumlah pengamat ekonomi menyebutkan Indonesia tidak diperhitungkan lagi sebagai kekuatan baru di Asia karena sudah tertinggal, tidak saja dari negera-negara Asia yang sudah lebih dulu maju, tetapi juga dari negara-negara pendatang baru seperti Vietnam, Laos, Kamboja, dan Bangladesh.

Berbagai persoalan besar yang kita hadapi itu akan mengancam pencapaian Visi Indonesia 2030 yang menargetkan pendapatan per kapita pada 2030 mencapai US$18 ribu dan kegagalan mencapai MDGs, yakni mengurangi jumlah orang miskin hingga separuhnya pada 2015. Tentang mimpi besar itu ketika disandingkan dengan kondisi aktual terdapat sekat pemisah yang amat gelap. Betapa tidak, jika kemiskinan diukur dengan biaya hidup sekitar US$2 per orang per hari, jumlah orang miskin Indonesia mencapai 118 juta atau sekitar 49% penduduk Indonesia.

Di masa depan, harus ada orientasi baru kepahlawanan guna melepaskan bangsa ini dari proses pemiskinan. Ne geri ini membutuhkan heroisme pemimpin baik di daerah maupun di pusat yang mampu mewujudkan janji-janji politik mereka saat kampanye pemilihan anggota legislatif dan Pemilihan Presiden 2014. Sekadar contoh, sudah delapan tahun revitalisasi pertanian digulirkan pemerintahan SBY sebagai wujud janji kampanye keberpihakan kepada petani, ternyata perubahan di sektor pertanian miskin heroisme. Gagasan revitalisasi hanya wacana, tak mampu meningkatkan kesejahteraan petani yang mayoritas miskin. Malah sebaliknya, dalam 10 tahun terakhir, jumlah petani miskin (guram) makin bertambah (BPS, 2013).


Karena itu, masyarakat mengharapkan munculnya seorang pemimpin Indonesia yang bisa tampil sebagai pahlawan yang berani berkorban untuk mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Orientasi kepahlawanan baru harus dimiliki setiap calon presiden untuk periode mendatang agar mampu mengalahkan keserakahan partai yang mengusungnya untuk mencari untung di atas kemiskinan bangsa. Habitus baru itu patut menetas di negeri ini pada Pilpres 2014 agar para pemimpin baru dapat bekerja melayani rakyat secara jujur dan jauh dari praktik korupsi yang memiskinkan rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar