|
TANGGAL 10 November diperingati
sebagai Hari Pahlawan. Para pejuang kemerdekaan banyak yang gugur melawan
penjajah baik di Surabaya maupun kota-kota lainnya. Meski hanya menggunakan
bambu runcing, para pejuang kemerdekaan tak gentar melawan siapa saja yang mau
menggagalkan kemerdekaan Indonesia.
Pertempuran heroik untuk mempertahankan kemerdekaan menjadi
salah satu ciri kepahlawanan sejati yang diperankan para laskar rakyat saat
menghadapi pasukan penjajah. Mereka berkorban demi kedaulatan bangsa yang berkeadilan
dan berkemakmuran. Karena itu, saat memperingati Hari Pahlawan merupakan momen
tepat untuk melakukan kontemplasi tentang pemahaman kita akan arti kepahlawanan
agar tidak sekadar menjadi seremoni hampa makna, tak membuat perubahan apa pun
bagi negara.
Lantas pertanyaannya, masih adakah yang patut menyandang
gelar pahlawan sejati ketika bangsa ini sedang berjalan menuju bibir jurang
krisis multidimensional yang amat dalam? Kini Indonesia seakan kehilangan figur
pahlawan. Dulu, musuh utama bangsa ini ialah penjajah. Heroisme untuk mengusir
penjajah dan mempertahankan kemerdekaan pun menjadi pe kik yang tidak pernah
berhenti disuarakan. Kini, musuh besar kita ialah kemiskinan, keterbelakangan,
dan kebodohan.
Proses pemiskinan
Masalah utama yang dihadapi negeri ini ialah proses
pemiskinan. Siapa bisa menduga cita-cita proklamasi 1945 untuk mengantarkan
Indonesia yang makmur dan sejahtera ternyata kandas setelah 68 tahun usia
kemerdekaan?
Indikasinya terlihat jelas. Masa-masa menyedihkan yang
pernah terjadi di masa lalu, sekitar tahun 1960-an harus kita alami lagi. Warga
harus antre untuk mendapatkan beberapa kilogram berbagai kebutuhan hidup. Mulai
dari beras, minyak goreng, gula hingga minyak tanah. Bahkan di tengah
persaingan kualitas sumber daya manusia begitu tinggi saat ini, sebagian anak
Indonesia harus mengalami perlambatan kecerdasan karena mengalami busung lapar.
Padahal, sebelum krisis ekonomi yang amat melelahkan itu,
kita dinobatkan sebagai calon `Macan Asia', `Meteor Asia', dan disebutsebut
sebagai calon negara industri baru Asia bersama sekelompok negara terkemuka
Asia lainnya.
Sejak kita merdeka, sesung guhnya harapan baru telah lahir
di negeri ini. Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, dan pejuang-pejuang
kemerdekaan lainnya ialah figur-figur yang memiliki semangat kepahlawanan
ketika mereka berjuang membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan
dan kemiskinan. Namun, yang terjadi saat ini tidak seperti yang diharapkan.
Proses pembangunan ekonomi sebagai pusat harapan baru tidak
mengalami penguatan setelah 68 tahun usia kemerdekaan, tetapi justru menukik
masuk ke fase perapuhan pembangunan ekonomi. Sebagian besar warga kembali sulit
mendapatkan makanan bergizi karena daya beli yang makin terpuruk. Kondisi
perapuhan kian nyata ketika disandingkan dengan kemajuan di negara-negara
tetangga.
Bagi banyak negara, kemerdekaan justru memberi peluang
besar untuk memperbaiki nasib. Sebaliknya Indonesia tampak kedodoran dan
memasuki fase kegelapan, ruang dengan sejumlah warga kerap harus mengakhiri
hidup mereka dengan jalan bunuh diri karena sudah putus asa dengan keadaan di
sekitarnya.
Kemauan untuk bangkit bersama--sebuah kecenderungan alamiah
ketika sebuah bangsa diterpa krisis berkepanjangan-seharusnya hadir di tengah
bangsa ini. Namun, kondisi kita yang masih mengalami transisi demokrasi baru
melahirkan hasrat kebangkitan yang tersalurkan dalam keberagaman pandangan. Hal
itu pada gilirannya menetaskan kebersamaan yang bias dan beraroma kekoncoan
yang mementingkan diri sendiri dan kelompok. Lihatlah korupsi di berbagai
daerah yang kian mengganas meski warganya masih banyak yang mengalami kelaparan
dan kurang gizi.
Pemerintah juga dianggap telah gagal mengatasi krisis
kebutuhan pokok karena mafia pangan berhasil menguasai hampir semua lini, mulai
dari beras, daging sapi, kedelai, gula, bawang merah, dan lain-lain. Krisis
pangan telah mulai menunjukkan dampaknya yang memaksa sebagian warga harus
mengonsumsi nasi aking. Akibatnya, jumlah orang yang mengalami gizi buruk
dipastikan akan bertambah.
Orientasi baru
Data terkini menunjukkan hampir 5 juta anak Indonesia tidak
bisa tidur nyenyak setiap malam karena perut kelaparan. Hal itu menunjukkan
bahwa penderita busung lapar tidak hanya datang dari Benua Afrika yang relatif
tandus dan miskin sumber daya alamnya, tetapi dari Indonesia yang dikenal
sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi. Kasus gizi buruk yang makin sering
terjadi menunjukkan ketahanan pangan keluarga kian rapuh. Tragedi itu sudah
pasti menggerogoti kualitas kesehatan warga. Korbannya tidak hanya orang di
perdesaan, tetapi juga di pusat-pusat kota, seperti Jakarta, Surabaya, dan
Medan.
Keterpurukan demi keterpurukan yang acap kita rasakan kepedihannya
ialah akumulasi dari kinerja ekonomi kita yang belum pulih sejak badai krisis
yang menghantam sendi-sendi kehidupan bangsa.
Sejumlah pengamat ekonomi
menyebutkan Indonesia tidak diperhitungkan lagi sebagai kekuatan baru di Asia
karena sudah tertinggal, tidak saja dari negera-negara Asia yang sudah lebih
dulu maju, tetapi juga dari negara-negara pendatang baru seperti Vietnam, Laos,
Kamboja, dan Bangladesh.
Berbagai persoalan besar yang kita hadapi itu akan
mengancam pencapaian Visi Indonesia 2030 yang menargetkan pendapatan per kapita
pada 2030 mencapai US$18 ribu dan kegagalan mencapai MDGs, yakni mengurangi
jumlah orang miskin hingga separuhnya pada 2015. Tentang mimpi besar itu ketika
disandingkan dengan kondisi aktual terdapat sekat pemisah yang amat gelap.
Betapa tidak, jika kemiskinan diukur dengan biaya hidup sekitar US$2 per orang
per hari, jumlah orang miskin Indonesia mencapai 118 juta atau sekitar 49%
penduduk Indonesia.
Di masa depan, harus ada orientasi baru kepahlawanan guna
melepaskan bangsa ini dari proses pemiskinan. Ne geri ini membutuhkan heroisme
pemimpin baik di daerah maupun di pusat yang mampu mewujudkan janji-janji
politik mereka saat kampanye pemilihan anggota legislatif dan Pemilihan
Presiden 2014. Sekadar contoh, sudah delapan tahun revitalisasi pertanian
digulirkan pemerintahan SBY sebagai wujud janji kampanye keberpihakan kepada
petani, ternyata perubahan di sektor pertanian miskin heroisme. Gagasan
revitalisasi hanya wacana, tak mampu meningkatkan kesejahteraan petani yang
mayoritas miskin. Malah sebaliknya, dalam 10 tahun terakhir, jumlah petani
miskin (guram) makin bertambah (BPS, 2013).
Karena itu, masyarakat mengharapkan munculnya seorang
pemimpin Indonesia yang bisa tampil sebagai pahlawan yang berani berkorban
untuk mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Orientasi
kepahlawanan baru harus dimiliki setiap calon presiden untuk periode mendatang
agar mampu mengalahkan keserakahan partai yang mengusungnya untuk mencari
untung di atas kemiskinan bangsa. Habitus baru itu patut menetas di negeri ini
pada Pilpres 2014 agar para pemimpin baru dapat bekerja melayani rakyat secara
jujur dan jauh dari praktik korupsi yang memiskinkan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar