Senin, 11 November 2013

Kepahlawanan dan Keberanian

Kepahlawanan dan Keberanian
Ki Tyasno Sudarto  ;   Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45,
Mantan KSAD
MEDIA INDONESIA, 09 November 2013


SEANDAINYA nilai-nilai kepahlawanan terpatri di segenap benak rak yat Indonesia, kasus bayi Naila mungkin tak perlu terjadi. Bayi berusia dua bulan, putri pasangan Mustari dan Nursia, warga Dusun Patommo, Desa Kaliang, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, itu meninggal di pangkuan ibunya saat mengantre di loket rumah sakit (30/10). Naila terlambat mendapat perawatan medis karena proses administrasi yang berbelit-belit di Rumah Sakit Umum (RSU) Lasinrang, Pinrang. Padahal, kala itu, Naila sudah membutuhkan bantuan darurat karena napasnya yang tersengal-sengal (Kompas.com, 31/10).

Saya tidak menuduh paramedis atau petugas administrasi RSU dimaksud kehilangan kemanusiaan dan empati. Mereka sebagaimana kita juga memilikinya, tapi dibatasi sekat-sekat birokrasi. Kehendak untuk membantu terhalang dinding prosedur dan kewenangan. Ada risiko mengintai mana kala menerobos sekat dan dinding itu. Dalam hal ini, hanya personal dengan jiwa kepahlawanan yang mau dan mampu bertindak tanpa perlu mengkhawatirkan risiko yang menimpanya di kemudian hari.

Pihak RSU di Pinrang itu bukan pula satu-satunya pihak yang dipersalahkan. Mereka hanyalah gambaran kecil atas operasi umum yang berlangsung di seluruh RS di Indonesia. Peristiwa yang menimpa Naila bisa terjadi di mana saja. Prosedur-prosedur itu membatasi dan dapat membunuh sewaktu-waktu (saya tak habis pikir, kalau memang program kesehatan gratis, mengapa prosedurnya tidak diatur, misalnya bisa diurus keluarga pasien saat pasien tengah dirawat).

Lebih daripada itu, keberanian mengambil risiko menipis atau bahkan hilang di setiap sanubari kita. Jangankan warga biasa seperti para pegawai RSU tersebut, kebanyakan pemimpin kita saat ini tidak memiliki keberanian tersebut, sesuatu yang seharusnya melekat pada jiwa seorang pemimpin.

Saya menekankan hal itu sebab keberanian mengambil risiko merupakan modal utama kepahlawanan. 
Pahlawan tapi tidak berani seperti semangkuk bakso tanpa bakso itu sendiri! Pahlawan yang tidak berani bukanlah pahlawan. Oleh karenanya, kepahlawanan tak terikat jabatan atau status. Pahlawan bisa berasal dari mana dan siapa saja. Dia tak harus menjabat suatu jabatan yang penting.
Dia mungkin saja seorang buruh biasa, petani tak bertanah biasa, mahasiswa biasa, ataupun nelayan biasa.

Kepemimpinan memang membuka jalan lebar bagi aksiaksi kepahlawanan. ra pemimpin dibekali senjata kewenangan, bahkan senjata betulan, yang mampu menggerakkan, memerintah, sekaligus memberi hukuman atas ketidakpatuhan. Namun, sekali lagi, pemimpin yang tidak berani mengambil risiko tidak pantas dan tidak akan menjadi pahlawan. Dia hanya akan menjadi pemimpin prosedural, pemimpin menurut hukum dan tata tertib yang berlaku. Pemimpin yang benar-benar biasa.

Seorang pendidik mengatakan pahlawan pada dasarnya orang yang memiliki dedikasi sosial yang tinggi. Orang yang memiliki pengorbanan dan tanggung jawab kepada orang banyak, yaitu kesadaran untuk berbuat, melakukan pekerjaan dengan baik dan ikhlas, serta menunjukkan kesungguhan terhadap sejumlah orang yang terkait dengan peran dan pekerjaannya. Seorang pahlawan bahkan merelakan jiwanya dipertaruhkan untuk kepentingan masyarakat luas meskipun terkadang tidak ada orang yang mengetahui atau mengenangnya. Pahlawan sepi dari pamrih (Suyatno, Reorientasi Nilai Kemerdekaan dan Kepahlawanan, 2013).

Dididik untuk takut

Keberanian tidak setara kenekatan. Nekat justru sebentuk penyerahan diri. Lantaran tak berpunya dalam makna segala-galanya, orang mudah bersikap nekat, kalap. Dia tak lagi memiliki pertimbangan rasional. Pada titik ini, orang nekat tidak hanya membahayakan dirinya, tapi juga orang banyak yang tidak bersalah. Pada akhirnya, bersikap nekat tak menghasilkan apa-apa, selain kerusakan dan kekacaubalauan.

Oleh karena itu, keberanian memiliki landasan ilmiah. Keberanian dipupuk melalui pendidikan dan pelatihan terus menerus. Keberanian lahir dari pengetahuan yang benar. Siapa pun tidak akan mengambil risiko atas sesuatu yang belum diketahuinya pasti. Jika tetap melakukannya, berarti dia bukan berani, melainkan nekat.

Contoh paling aktual ialah gerakan buruh dewasa ini. Dulu mereka diam dan takut, kalah oleh gerakan mahasiswa. Setelah reformasi, buruh lebih leluasa membentuk serikat. Serikat-serikat itulah sekolah mereka sesungguhnya. Setelah dibekali pengetahuan perburuhan (bahkan ekonomi-politik) secukupnya melalui diklat-diklat yang diadakan sendiri, mereka tumbuh sebagai kekuatan besar mengalahkan partai politik, setidaknya saat memobilisasi massa. Hebatnya, mereka tidak dibayar, tapi beriuran.

Sayangnya, pendidikan kita bukan kawah `candradimuka' ideal bagi lahirnya sikap keberanian dan kepahlawanan. Pendidikan kita tak sepenuhnya mendidik. Siswa dijejali pelajaran, tapi tak dientaskan dari rasa takut. Di ruang pertemuan, di kelas-kelas, orang berlomba-lomba duduk di kursi-kursi belakang. Mereka yang duduk di depan, bukan karena percaya diri, melainkan semata-mata gara-gara datang terlambat dan tak ada pilihan. Pendidikan kita bahkan gagal membuat orang berani duduk di kursi depan pada rapat atau pertemuan!

Menurut Raihan Iskandar, anggota Komisi Pendidikan dan Olahraga DPR RI, sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah selama ini hanya dalam batasan memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, dan menilai atau kognitif. Akibatnya, nilai-nilai kepahlawanan mengalami erosi dalam kehidupan masyarakat. Maka, tidak mengherankan jika saat ini tidak ada lagi nilai-nilai keteladanan yang lahir dari pemimpin bangsa. Padahal, bangsa ini memiliki sejarah kepahlawanan yang gemilang.

Kebanyakan anak didik juga tak mengerti untuk apa mereka harus mempelajari semua bahan ajar. Pendidikan menjelma kepentingan pribadi-pribadi. Bagi anak didik, supaya pintar dan bergelar. Bagi guru, supaya bekerja dan berhonor. Selepas sekolah, seluruh pengetahuan sekolah ditanggalkan, menyisakan kemampuan baca, tulis, dan berhitung operasi dasar.

Secara tak sadar, pendidikan kita mengajarkan sikap egois. Sepanjang kepentingan sendiri terpenuhi, kita merasa cukup. Sebaliknya, saat hak dilanggar kebanyakan dari kita diam saja, menyerah pada nasib atau paling banter ngedumel di belakang. Karena keegoisan itu, kita sulit percaya pada orang lain. Kita tidak percaya solidaritas dan kekuatan bergandengan tangan bersama orang lain yang berkepentingan langsung maupun tidak. Kita selalu merasa sendiri, dan kemudian merasa takut sendiri pula.

Aksi-aksi nirkepahlawanan dari para pemimpin kita juga akibat sikap egoistis yang meraja di benak pikirannya. Pemimpin tak mempercayai rakyatnya. Meskipun dipilih rakyat, dia sebenarnya tak merasa benar-benar dipilih konstituennya. Keterpilihan dia karena manipulasi, entah karena money politics maupun kecurangan tertentu. Lahirlah perasaan minder. Pemimpin kita tak punya massa yang benar-benar menyokongnya sehingga dia tak mau mengambil risiko atas kebijakan yang melawan kehendak yang lebih besar, meskipun sesuai aspirasi rakyatnya.


Meski digadang-gadang bertindak laiknya pahlawan, mereka malah bersikap sebaliknya. Pemimpin di level daerah hingga pusat berlomba-lomba mengumpulkan rente dari kekuasaan mereka. Merasa berinvestasi, mereka mengejar break even point (BEP). Ada tiga hal yang umum dilakukan: korupsi, korupsi, dan korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar