|
Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah awal dari semua langkah yang akan kita lakukan,
termasuk untuk mengamalkan sila-sila selanjutnya dalam urutan ideologi bangsa,
Pancasila. Ketuhanan adalah makna kebaikan universal, yang tidak bisa dengan
seenaknya di miliki oleh sebagian kelompok. Ketuhanan adalah sumber energi
positif yang sudah sepatutnya kita implementasikan dengan hal yang positif.
Bukan sebagai "pameran" keyakinan atas ritus keagamaan yang bisa kapan
saja dipertontonkan. Tetapi, Ketuhanan adalah sikap dasar untuk menuju puncak
kejujuran.
Sikap
ber-Tuhan adalah sikap menerima, menerima segala hal yang sudah menjadi
ketentuan dari-Nya, termasuk pluralitas. "Hai manusia, sungguh kami
menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang
yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa. Sungguh Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal," Al-Hujurat
(ayat:13).
Satu-satunya
hal yang menjadi kebenaran yang sama pada setiap pemeluk agama adalah sikap
ber-Tuhan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, hal yang menjadi kesalahan
terbesar bagi tiap-tiap pemeluk agama manapun adalah menyakiti sesama
manusia/makhluk hidup.
Nurcholis
Madjid mengatakan, bahwa kebenaran agama tak boleh dipaksakan. Sebab, hak yang
amat asasi ini menjadi hak yang tak boleh diingkari. Dalam Pasal 29 ayat (2)
UUD 1945 pun ditegaskan tentang kebebasan beragama dan untuk menjalankan
kepercayaan agamanya menurut keyakinan masing-masing. Nampak, negara kita
adalah negara yang sangat demokratis, dan religius. Hanya saja kita tidak mampu
menjadikannya sebuah kenyataan. Sila Ketuhanan adalah "pameran"
keyakinan yang hanya di lihat dan kemudian di tinggalkan.
Harus
berapa lama lagi kita menyudutkan-Nya, membiarkan-Nya tak berdaya di negeri
ini. Setelah "Buku aturan" pun tak lagi di taati dan di patuhi. Sudah
beribu-ribu bahkan berjuta-juta kredo telah mejejali ruang pencerahan kita,
tetapi tetap saja negeri ini tak pernah cerah, dan tetap saja usang jika harus
berbicara soal perbedaan, lebih-lebih perbedaan keyakinan.
Kita
tak akan pernah menemukan kesamaan jika pada awalnya sudah berbeda. Yang bisa
dilakukan adalah menyatukan yang berbeda, kemudian membuatnya menjadi merasa
tak berbeda padahal beda. Dengan cara apa menghargai apa yang ada di luar kita
tanpa melepas apa yang sudah ada dalam diri kita. Tetapi, itulah harmonisasi
kehidupan, sikap kebertuhanan yang sejati.
Kadang
kita lupa sudah sejauh mana rasa berketuhanan kita, sedangkan sikap
keberagamaan kita sudah jauh melebihi rasa kebertuhanan kita, yang sampai
akhirnya membuat kita lupa bahwa ada Tuhan yang menciptakan perbedaan di antara
kita.
Sikap
keberagamaan yang over tentu akan berdampak buruk terhadap sikap kepedulian
Tuhan terhadap kita. Bagaimana tidak, kita akan semakin jauh dari segala
rahmat-Nya meski apa yang dilakukan selalu menyebut nama-Nya. Bukankah Tuhan
tak perlu dipromosikan? Bahwa setiap agama tak pernah mengajarkan untuk saling
bermusuhan apakah kurang jelas! "Sungguh orang-orang yang beriman itu
bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu
itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS, Al-Hujurat:10)
Lalu
apa pangkalnya, selalu saja terjadi "peperangan" mengenai perbedaan
ini? Mungkin ada beberapa sebab yang bisa kita lihat. Pertama mengenai
pandangan ini. Sebagian mengaitkan akibat dari kepemimpinan nasional yang
lemah. Sekilas kesannya terlalu politis. Namun Neli Todorova pernah membuktikan
dalam penelitiannya mengenai masyarakat Turki di Bulgaria (2000). Yang lebih
mendasar, bahwa fakta itu berhubungan dengan kenyataan struktural, yakni adanya
kesenjangan, terutama mengenai visi tentang kebebasan, yaitu antara norma ideal
yang diinstitusionalisasikan dengan realitas sosiologisnya. Norma yang
diinstitusionalisasikan bersifat sekuler, yang berakar dari paham
individualisme-liberalisme. Sementara realitas sosiologisnya melandaskan pada
semangat komunalisme, yang lebih menekankan pada tujuan terbentuknya kebaikan
komunitarian untuk menuju harmoni.
Argumen demikian ada benarnya, sebab
masing-masing kebudayaan itu ditandai oleh keanegaraman internalnya, yang
berhubungan dengan sistem kepercayaannya. Kebebasan berekspresi di Barat
misalnya, jelas berbeda dengan Timur. Seperti Indonesia, yang kulturnya,
meminjam istilah Joel L. Kraemer (1986) bersifat ensiklopedis, yakni budaya
yang beragama.
Kedua,
adanya semacam emosi sesaat, yang kemudian menjadi emosi berkepanjangan
berkelompok. Jika kita perhatikan konflik dan kekerasan agama yang selama ini
terjadi di Indonesia, kita menemukan fakta bahwa dalam setiap konflik tersebut
mempunyai modus operandi yang sama, selalu ada pemicunya, dan pemicu itu
bernuansa provokatif.
Konflik
tersebut sepenuhnya merupakan produk dari pergaulan biasa sehari-hari antar
manusia. Ini bukan reduksi seperti kita saksikan. Sebabnya bisa se-kedar karena
merasa terganggu, adanya hujatan atas sistem kepercayaan yang dianutnya, hingga
soal-soal eksklusivitas. Jelas ini berhubungan dengan soal ekspresi, bukan
substansi, tidak lebih mendalam dari itu. Persis sama dengan kekerasan komunal
lainnya yang bersumber dari isu ras, etnik dan ekonomi, yang pernah terjadi
selama ini.
Ketiga,
minimnya peran tokoh agama, adat, dan lain-terhadap pencegahan konflik-konflik
tersebut. Pertanyaannya adalah, sudah sejauh manakah kita bertuhan? Atau
jangan-jangan kita tidak pernah
bertuhan, kita hanya beragama tanpa ada
kepatuhan terhadap Tuhan yang kita yakini sebagai Yang Maha Bijaksana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar