Pengaruh
Ekonomi AS terhadap Pasar Modal Tanah Air Joice Tauris Santi ; Wartawan Kompas, penulis kolom “Investasi” |
KOMPAS, 14 Juni 2021
Pandemi Covid-19 membuat
pemerintah banyak negara bekerja keras. Tujuannya, mempertahankan
perekonomian agar tidak tergerus virus. Berbagai langkah stimulus
dilakukan, mulai dari paket bantuan tunai, pemangkasan tingkat suku bunga
agar pebisnis tidak terbebani biaya bunga, hingga penurunan tarif pajak. Ketika vaksin sudah
ditemukan dan banyak orang sudah menerimanya sehingga membentuk kekebalan
kelompok, perekonomian diharapkan berjalan kembali. Kekebalan kelompok akan
tercapai jika setidaknya 70 persen populasi telah menerima vaksin atau
paparan Covid-19. Semakin cepat tercapai kekebalan kelompok, semakin cepat
pula mesin perekonomian suatu negara akan mulai menyala lagi. Amerika Serikat menjadi
salah satu negara berpenduduk besar yang paling cepat dalam memvaksin
warganya, yakni mencapai 70 persen pada 4 Juli mendatang, bersamaan dengan
hari kemerdekaan negara itu. Bank sentral AS Federal
Reserve, yang sebelum ini sibuk menggelontorkan berbagai stimulus,
diperkirakan akan mulai mengerem stimulusnya dan kembali mengencangkan
kebijakan dengan menaikkan tingkat suku bunga yang selama ini hampir nol
persen. Namun, ada beberapa
kondisi yang harus dicapai sebelum Fed mengencangkan kebijakan. Di antaranya,
terjadinya peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja yang maksimal dan
inflasi minimal 2 persen. Data tenaga kerja April
2021 menunjukkan, adanya pembukaan 9,3 juta lapangan kerja seiring pemulihan
ekonomi. Pada Maret, sudah ada 8,3 juta lapangan kerja baru, yang merupakan
titik tertinggi seperti pernah dicapai pada tahun 2000. Data lain memperlihatkan,
klaim tunjangan pengangguran turun ke titik terendah sejak pertengahan Maret
2020 ketika pandemi merebak. Perkembangan terbaru, data
inflasi AS melonjak menjadi 5 persen pada Mei 2021, dari sebelumnya 4,2
persen pada April. Inflasi ini yang tertinggi sejak Agustus 2008. Inflasi
mulai merangkak naik sejak Januari 2021 yang saat itu masih 1,4 persen. Dua data ini tampaknya
semakin mendekatkan langkah Fed untuk melakukan pengetatan. Meskipun secara
resmi Fed menyatakan, baru akan menaikkan suku bunga menjelang akhir tahun
depan. Langkah Fed di negeri
”Paman Sam” ini apakah akan berpengaruh terhadap negara-negara lainnya? Bagi mereka yang sudah
berinvestasi cukup lama di pasar modal, katakanlah sejak sebelum 2013,
mungkin pernah merasakan pedihnya dampak langkah Fed dalam menaikkan suku
bunga. Ketika itu, kondisi pasar
finansial global sebenarnya baik-baik saja. Sampai kemudian pada akhir Mei
2013, Gubernur Fed Ben Bernanke mengumumkan, Fed akan melakukan tapering atau
pengurangan stimulus dengan mengurangi belanja obligasi. Krisis finansial
yang melanda AS pada 2008 mendorong Fed memberi banyak stimulus kala itu. Akibat pengumuman
tersebut, pasar finansial global pun bergejolak. Riaknya terasa hingga ke
negara berkembang, termasuk Indonesia. Harga saham-saham di Bursa Efek
Indonesia (BEI) melorot yang berdampak pada investor, baik institusi maupun
ritel. Harga aset finansial di
negara-negara berkembang merosot. Para investor institusi mengalihkan dananya
dari pasar finasial negara berkembang ke pasar AS yang lebih stabil dan aman.
Terjadilah perpindahan dana dalam jumlah yang cukup besar. Demi menenangkan
pasar, bank-bank sentral di negara berkembang mengimbanginya dengan menaikkan
tingkat suku bunga. Lain
dulu, lain sekarang Apakah kejadian pada 2013
akan terulang kembali saat ini? Tampaknya tidak. Ide pengetatan oleh Fed
tidak lagi dianggap hal baru yang ditandai dengan pengambilan langkah
antisipasi oleh banyak pihak. Para pejabat bank sentral berkomunikasi kepada
publik mengenai hal ini melalui pendekatan yang hati-hati, termasuk dilakukan
oleh Gubernur Bank Indonesia Pery Warjiyo. Saat ini, tidak terlihat
adanya aliran dana asing yang masuk besar-besaran di pasar keuangan
negara-negara berkembang. Kaburnya dana asing selama Covid-19 juga terlalu
signifikan. Singkatnya, sedikit dana masuk, sedikit juga dana keluar. Tidak terlalu derasnya
dana asing yang masuk membuat negara berkembang tidak lagi memiliki defisit
neraca perdagangan yang besar seperti pada 2013. Dengan demikian, negara
berkembang menjadi tidak bergantung pada pendanaan jangka pendek. Indonesia
semestinya juga tidak akan terlalu terkena imbas buruk kebijakan AS karena
tidak sedang defisit. Berita baiknya, walaupun
Fed berencana membalik arah kebijakannya, tampaknya tidak akan terlalu
memengaruhi pasar keuangan di negara berkembang. Bagi investor ritel, risiko
akan tetap ada, tetapi tidak sebesar dan seheboh ketika dilakukan tapering
pada 2013. Yuk, tetap cermati
perkembangan ekonomi di AS supaya tidak salah langkah dan analisis dalam
berinvestasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar