Terorisme,
Ruang Publik Kultural dan Feminitas Tuhan Asep Salahudin ; Rektor IAILM Pesantren Suryalaya
Tasikmalaya |
KOMPAS,
03 April
2021
Tentu saja tidak ada satu norma agama pun yang
mengajarkan jalan kekerasan untuk meraih tujuan. Damai kasih adalah khitah
setiap agama. Namun juga kita tak bisa menampik bahwa dalam sejarahnya agama
acapkali dibajak sekelompok orang untuk tujuan tertentu. Pembajakan tafsir
agama inilah sesungguhnya yang menjadi pusaran lahirnya puritanisme. Setelah
puritanisme bergeser menjadi fundamantalisme. Selepas itu terorisme. Kekerasan fisik selalu bermula dari
kekerasan simbolik. Di belakang pelaku bom bunuh diri ada yang laten
menggerakkan: konstruksi tafsir keagamaan yang serampangan. Betul apa yang
ditulis Charles Kimball dalam When Religion Becomes Evil. Lima faktor yang
bisa mengubah agama menjadi bencana: (1) mendaku kebenaran; (2) kepatuhan
buta terhadap pemimpin; (3) gandrung pada keemasan masa lampau; (4)
menghalalkan segala cara; (5) menafsirkan agama dengan pikiran pendek. Ketimbang menyampaikan alasan
berputar-putar, akui saja bahwa pelaku itu adalah umat Islam. Lebih tepatnya
orang Islam yang keliru dalam menafsirkan agamanya. Apalagi dengan benderang
teroris itu menganggit istilah-istilah yang lekat hubungannya dengan ajaran
Islam. Sesudah penyakitnya terdeteksi, obati secara seksama. Pemerintah memastikan bahwa hukum berjalan
sebagaimana mestinya dan menindak setiap pelaku yang melanggar undang-undang.
Negara hadir di tengah masyarakat yang heterogen. Sementara ormas sosial
keagamaan terutama yang berhaluan moderat menyelesaikan sekian pekerjaan
rumahnya yang sampai saat ini menemukan tantangannya yang tidak mudah:
migrasi sebagian masyarakat ke arah faham keagamaan skriptural. Label “kenusantaraan” yang dilekatkan pada
Nahdathul Ulama atau “berkemajuan” yang dinisbahkan terhadap Muhamadiyah
harus dibuktikan dalam bentuk adanya arus balik jamaah pada makna “hijrah”
yang sebenarnya. Jangan sampai terulang kejadian silam.
Negara main-main dengan kelompok intoleran atau malah dirawat karena secara
elektoral butuh suara mereka, sementara ormas keagamaan sibuk dengan
agendanya sendiri terutama terkait dengan akses pada pos-pos kekuasaan yang
dianggap lebih menjanjikan secara material. Rebutan masuk kabinet dan menjadi
komisaris. Setelah terjadi ledakan dan korban bergelimpangan, baru menyusun
sekian “alasan” untuk menunjukkan pentingnya melakukan deradikalisasi agama
dalam semua bidang, Ruang
publik kultural Di ruang publik kultural itulah paradoks
itu mencuat. Antara normativitas agama yang serba utama dengan
historisitasnya yang buram muncul. Kebenaran agama berhenti sebatas
ortodoksi, sementara ortopraksinya berjalan sendiri. Ketika agama tidak
nyata, maka jangan salahkan kalau sebagian orang kemudian menyangsikan lagi
eksistensi dan masa depan agama. Tentu yang keliru bukan agama, tapi para
pelakunya. Gampangannya kita menyebutnya oknum atau menisbahkan “agama
tertentu” walau pun identitas “agama tertentu” itu tidak ada dalam Kartu
Tanda Penduduk kecuali sebatas alasan untuk lari dari tanggungjawab dan bikin
alibi yang kekanak-kanakan. Namun bagaimana mengargumentasikan “kebenaran”
agama kalau tidak pernah tercermin dari para pemeluknya, tidak terekspresikan
pada tindakan para penganutnya. Tentu yang namanya ruang “keindonesiaan”
bukan ruang publik agama, tapi lebih tepat menyebutnya ruang publik kultural.
Ihwal agama sebenarnya telah selesai dalam serangkain sidang ketika para
pendiri bangsa merumuskannya pada debat ideologi di BPUPKI dan PPKI tanggal 1
Juni, 22 Juni sampai kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Sebuah dialektika historis yang
mengagumkan. Bagaiman leluhur kita itu dengan cemerlang menarik persoalan
agama tidak sebagai “hukum formal” sehingga “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta
itu dihapus, tapi lebih pada penghayatan agama dalam medan substansial,
“Ketuhanan Yang Maha Esa.” Bahkan bagi saya usulan Bung Karno saat berpidato
di BPUPK yang dipimpin Radjiman Wedyodiningrat lebih cemerlang lagi,
“Ketuhanan yang Berkebudayaan”. Pada frasa “Ketuhanan yang Berkebudayaan”
ada sebuah hasrat untuk menarik persoalan religiositas (ketuhanan/agama)
bukan sebagai dogma apalagi hukum formal (syariat), tapi lebih pada nafas
kebudayaan. Apinya Islam bukan abunya. Orang beragama tidak dilandaskan pada
tujuan arkaik semisal mendirikan “Negara Tuhan” tapi lebih sebagai upaya
untuk menghidupkan semangat gotong-royong, membangun solidaritas dan
menanamkan kohesivitas. Wajar kalau Bung Karno menyebut bahwa Pancasila itu
bisa dirangkum menjadi tiga sila (sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan
Ketuhanan Yang Berkebudayaan). Yang tiga itu dapat disimpulkan menjadi satu
atau ekasila: gotong royong. Artinya hakikat beragama dan bernegara itu
sejatinya adalah gotong-royong. Gotong-royonglah yang menjadi sumur terdasar
budaya nusantara sekaligus gorong-royong pula yang menjadi halaman muka yang
mendefinisikan paras keindoonesiaan. Tiga sumpah suci para pemuda tahun 1928
hakikatnya berisikan spirit gotong-royong dalam nusa, bangsa dan bahasa. Gotong-royong itu pesan lain dari Bhineka
Tunggal Ika yang ditulis Empu Tantular dalam Kitab Sutasoma abad 14 yang
kemudian disepakati sebagai semboyan dan identitas nasional. Kitab Kakawin
Negara Kertagama karya Empu Prapanca tahun 1365 juga banyak menating pesan
yang tidak jauh berbeda. Negara dengan tradisi agama yang suci yang diacukan
pada semangat gotong-royong antar warga. Inilah penggalan orasi Soekarno tentang
gotong-royong itu, “…Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga
menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu
perkataan “gotong–royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara
gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong–Royong! ...Marilah kita
menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong
adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan
bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat
kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah
gotong-royong!” Feminitas
Tuhan Kata Ibnu Arabi. Tuhan dalam berbagai
agama, lebih sering menampilkan diri-Nya dalam balutan dimensi feminitas
(jamaliayah/pengasih penyayang/akhlak) ketimbang maskulinitas
(jalaliyah/pengazab/fikih). Artinya beragama yang benar itu ketika kita
sanggup juga menurunkan jamaliyah Tuhan dalam semesta. Dalam sejarah
keseharian. Tentu saja agama bukan satu-satunya faktor
seseorang menjadi teroris, ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya yakni
belum difungsikannya sila kelima dalam kehidupan nyata: keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Ketuhanan (abstrak) dan keadilan (konkret)
yang akan menjamin terwujudnya kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi yang
penuh hikmah kebijaksanaan dalam roh permusyawaratan perwakilan. Semoga bom bunuh diri yang dilakukan
sepasang pengantin di depan Geraja Katedral di Makassar adalah peristiwa
terakhir. Berduka bagi korban dan mengutuk para pelakunya tidaklah cukup,
musti ada ikhtiar serius dari semua pihak bahwa tragedi itu tidak akan
terulang lagi. Wajah Tuhan yang feminim harus menjadi trajek seluruh umat
beragama. Paras negara yang penuh kepastian menjadi jalan segenap warga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar