Senin, 05 April 2021

 

Terorisme, Ruang Publik Kultural dan Feminitas Tuhan

 Asep Salahudin ; Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya

                                                         KOMPAS, 03 April 2021

 

 

                                                           

Tentu saja tidak ada satu norma agama pun yang mengajarkan jalan kekerasan untuk meraih tujuan. Damai kasih adalah khitah setiap agama. Namun juga kita tak bisa menampik bahwa dalam sejarahnya agama acapkali dibajak sekelompok orang untuk tujuan tertentu. Pembajakan tafsir agama inilah sesungguhnya yang menjadi pusaran lahirnya puritanisme. Setelah puritanisme bergeser menjadi fundamantalisme. Selepas itu terorisme.

 

Kekerasan fisik selalu bermula dari kekerasan simbolik. Di belakang pelaku bom bunuh diri ada yang laten menggerakkan: konstruksi tafsir keagamaan yang serampangan. Betul apa yang ditulis Charles Kimball dalam When Religion Becomes Evil. Lima faktor yang bisa mengubah agama menjadi bencana: (1) mendaku kebenaran; (2) kepatuhan buta terhadap pemimpin; (3) gandrung pada keemasan masa lampau; (4) menghalalkan segala cara; (5) menafsirkan agama dengan pikiran pendek.

 

Ketimbang menyampaikan alasan berputar-putar, akui saja bahwa pelaku itu adalah umat Islam. Lebih tepatnya orang Islam yang keliru dalam menafsirkan agamanya. Apalagi dengan benderang teroris itu menganggit istilah-istilah yang lekat hubungannya dengan ajaran Islam. Sesudah penyakitnya terdeteksi, obati secara seksama.

 

Pemerintah memastikan bahwa hukum berjalan sebagaimana mestinya dan menindak setiap pelaku yang melanggar undang-undang. Negara hadir di tengah masyarakat yang heterogen. Sementara ormas sosial keagamaan terutama yang berhaluan moderat menyelesaikan sekian pekerjaan rumahnya yang sampai saat ini menemukan tantangannya yang tidak mudah: migrasi sebagian masyarakat ke arah faham keagamaan skriptural.

 

Label “kenusantaraan” yang dilekatkan pada Nahdathul Ulama atau “berkemajuan” yang dinisbahkan terhadap Muhamadiyah harus dibuktikan dalam bentuk adanya arus balik jamaah pada makna “hijrah” yang sebenarnya.

 

Jangan sampai terulang kejadian silam. Negara main-main dengan kelompok intoleran atau malah dirawat karena secara elektoral butuh suara mereka, sementara ormas keagamaan sibuk dengan agendanya sendiri terutama terkait dengan akses pada pos-pos kekuasaan yang dianggap lebih menjanjikan secara material. Rebutan masuk kabinet dan menjadi komisaris. Setelah terjadi ledakan dan korban bergelimpangan, baru menyusun sekian “alasan” untuk menunjukkan pentingnya melakukan deradikalisasi agama dalam semua bidang,

 

Ruang publik kultural

 

Di ruang publik kultural itulah paradoks itu mencuat. Antara normativitas agama yang serba utama dengan historisitasnya yang buram muncul. Kebenaran agama berhenti sebatas ortodoksi, sementara ortopraksinya berjalan sendiri. Ketika agama tidak nyata, maka jangan salahkan kalau sebagian orang kemudian menyangsikan lagi eksistensi dan masa depan agama.

 

Tentu yang keliru bukan agama, tapi para pelakunya. Gampangannya kita menyebutnya oknum atau menisbahkan “agama tertentu” walau pun identitas “agama tertentu” itu tidak ada dalam Kartu Tanda Penduduk kecuali sebatas alasan untuk lari dari tanggungjawab dan bikin alibi yang kekanak-kanakan. Namun bagaimana mengargumentasikan “kebenaran” agama kalau tidak pernah tercermin dari para pemeluknya, tidak terekspresikan pada tindakan para penganutnya.

 

Tentu yang namanya ruang “keindonesiaan” bukan ruang publik agama, tapi lebih tepat menyebutnya ruang publik kultural. Ihwal agama sebenarnya telah selesai dalam serangkain sidang ketika para pendiri bangsa merumuskannya pada debat ideologi di BPUPKI dan PPKI tanggal 1 Juni, 22 Juni sampai kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945.

 

Sebuah dialektika historis yang mengagumkan. Bagaiman leluhur kita itu dengan cemerlang menarik persoalan agama tidak sebagai “hukum formal” sehingga “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta itu dihapus, tapi lebih pada penghayatan agama dalam medan substansial, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Bahkan bagi saya usulan Bung Karno saat berpidato di BPUPK yang dipimpin Radjiman Wedyodiningrat lebih cemerlang lagi, “Ketuhanan yang Berkebudayaan”.

 

Pada frasa “Ketuhanan yang Berkebudayaan” ada sebuah hasrat untuk menarik persoalan religiositas (ketuhanan/agama) bukan sebagai dogma apalagi hukum formal (syariat), tapi lebih pada nafas kebudayaan. Apinya Islam bukan abunya.

 

Orang beragama tidak dilandaskan pada tujuan arkaik semisal mendirikan “Negara Tuhan” tapi lebih sebagai upaya untuk menghidupkan semangat gotong-royong, membangun solidaritas dan menanamkan kohesivitas. Wajar kalau Bung Karno menyebut bahwa Pancasila itu bisa dirangkum menjadi tiga sila (sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Berkebudayaan). Yang tiga itu dapat disimpulkan menjadi satu atau ekasila: gotong royong.

 

Artinya hakikat beragama dan bernegara itu sejatinya adalah gotong-royong. Gotong-royonglah yang menjadi sumur terdasar budaya nusantara sekaligus gorong-royong pula yang menjadi halaman muka yang mendefinisikan paras keindoonesiaan. Tiga sumpah suci para pemuda tahun 1928 hakikatnya berisikan spirit gotong-royong dalam nusa, bangsa dan bahasa.

 

Gotong-royong itu pesan lain dari Bhineka Tunggal Ika yang ditulis Empu Tantular dalam Kitab Sutasoma abad 14 yang kemudian disepakati sebagai semboyan dan identitas nasional. Kitab Kakawin Negara Kertagama karya Empu Prapanca tahun 1365 juga banyak menating pesan yang tidak jauh berbeda. Negara dengan tradisi agama yang suci yang diacukan pada semangat gotong-royong antar warga.

 

Inilah penggalan orasi Soekarno tentang gotong-royong itu, “…Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong–royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong–Royong! ...Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!”

 

Feminitas Tuhan

 

Kata Ibnu Arabi. Tuhan dalam berbagai agama, lebih sering menampilkan diri-Nya dalam balutan dimensi feminitas (jamaliayah/pengasih penyayang/akhlak) ketimbang maskulinitas (jalaliyah/pengazab/fikih). Artinya beragama yang benar itu ketika kita sanggup juga menurunkan jamaliyah Tuhan dalam semesta. Dalam sejarah keseharian.

 

Tentu saja agama bukan satu-satunya faktor seseorang menjadi teroris, ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya yakni belum difungsikannya sila kelima dalam kehidupan nyata: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Ketuhanan (abstrak) dan keadilan (konkret) yang akan menjamin terwujudnya kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi yang penuh hikmah kebijaksanaan dalam roh permusyawaratan perwakilan.

 

Semoga bom bunuh diri yang dilakukan sepasang pengantin di depan Geraja Katedral di Makassar adalah peristiwa terakhir. Berduka bagi korban dan mengutuk para pelakunya tidaklah cukup, musti ada ikhtiar serius dari semua pihak bahwa tragedi itu tidak akan terulang lagi. Wajah Tuhan yang feminim harus menjadi trajek seluruh umat beragama. Paras negara yang penuh kepastian menjadi jalan segenap warga. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar