Sabtu, 03 April 2021

 

Ketuhanan dan Kemanusiaan yang Beradab

 Joan Damaiko Udu ; Pemerhati sosial-kemanusiaan, Alumnus STF Driyarkara, Bekerja di Lembaga Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) OFM Indonesia

                                                         KOMPAS, 02 April 2021

 

 

                                                           

Kehidupan kita di zaman kontemporer ini ditandai oleh menguatnya dua tendensi ekstrem: ateisme di satu sisi dan radikalisme agama di sisi lain. Dua tendensi ini memiliki aksentuasi berbeda, bahkan bertentangan secara diametral, tetapi pada akhirnya sama-sama bergerak sentripetal menuju satu titik temu, yaitu sama-sama menyinggung status eksistensi Tuhan.

 

Ateisme memeluk erat satu kebenaran tunggal bahwa Tuhan tidak ada, dan karena itu, tak ada alasan ontologis untuk mengimani-Nya. Sementara radikalisme agama mengabsolutkan satu kebenaran tunggal yang lain bahwa Tuhan sungguh-sungguh ada sebagai Realitas Tertinggi (The Supreme Being), dan karena itu, mengimani-Nya adalah suatu keniscayaan rasional.

 

Dua paham tersebut sama-sama ekstrem: ateisme menolak eksistensi Tuhan, tapi lebih respek dan toleran terhadap sesama manusia; sementara radikalisme agama, dari agama apa pun,  menerima eksistensi Tuhan secara absolut, tapi cenderung ”menolak” yang lain, khususnya yang dipersepsi sebagai ”yang beda” atau liyan.

 

Pancasila menengahi dua paham ekstrem tersebut, terutama melalui sila ketuhanan dan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Kedua sila ini mengondisikan rakyat Indonesia untuk tak hanya percaya kepada Tuhan (melampaui ateisme), tetapi juga menjunjung tinggi martabat semua umat manusia secara beradab (melampaui kecenderungan radikalisme agama). Hanya menekankan salah satunya adalah sebuah ekstremisme; dan sudah pasti itu bertentangan dengan Pancasila.

 

Problem

 

Paham ateisme tidak diterima di Indonesia karena bertentangan dengan karakter, budaya, dan identitas bangsa ini. Bung Karno (1960) membenarkan hal itu bahwa sejak zaman pra-Hindu sampai kontaknya dengan budaya Eropa, bangsa Indonesia selalu hidup dalam pemujaan kepada kemahakuasaan ilahi (Divine Omnipotence), yang kepadanya rakyat bangsa ini menaruhkan segala harapan dan kepercayaannya.

 

Sila ketuhanan mengakomodasi karakter religius ini, dengan memberikan kebebasan kepada seluruh rakyat untuk mengekspresikannya dalam agama yang dianutnya. Pluralisme agama serta ekspresi keagamaan inheren dalam sila ini.

 

Itu artinya, selain menolak ateisme dengan varian-variannya, sila pertama Pancasila ini juga mengharamkan praktik iman-keagamaan yang radikal dan eksklusif. Maka, radikalisme agama, yang cenderung monolitik, juga ditolak. Apalagi radikalisme agama, sebagaimana terjadi di berbagai belahan dunia, punya watak bawaan yang tidak toleran dan tidak berperikemanusiaan melalui tindakan-tindakan kekerasan terhadap kelompok yang memiliki identitas berbeda.

 

Sekalipun tak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan, faktanya kelompok-kelompok radikal selalu menjadikan ajaran agama, yang cenderung menjadi ideologis, sebagai legitimasi tindakan kekerasan mereka.

 

Ini berarti ada yang salah dengan pola penghayatan iman dalam agama, yang membuat orang berani melenyapkan nyawa orang lain, menghalalkan darah kelompok yang berbeda, dan memuliakan pembunuhan sebagai bahasa kesalehan dan jalan kepada kesucian. Model penghayatan iman-keagamaan macam ini susah diterima akal sehat.

 

Bagaimana mungkin Tuhan yang penuh kasih sayang menganjurkan kekerasan, menghendaki pembunuhan, dan membenarkan tindakan-tindakan yang an sich jahat? Alih-alih ikut membangun tatanan kehidupan yang adil dan beradab, model-model penghayatan keagamaan yang radikal-destruktif justru membuat peradaban berevolusi terbalik, bergerak mundur ke masa lalu, dengan hidup menurut naluri animalis untuk saling memangsa.

 

Di tangan kelompok radikal, agama tak lebih mesin kekerasan yang tak kenal rasa kemanusiaan. Dengan cara berpikir instrumental, meminjam perspektif Habermas, mereka menempatkan kelompok yang berbeda, sebagai sarana yang melapangkan jalan mereka kepada ”kesucian” yang mereka yakini.

 

Tak hanya mematikan pluralisme ekspresi keagamaan, cara berpikir mereka mengaburkan esensi agama, yang secara substansial mengandung nilai-nilai kebajikan, kedamaian, dan cinta kasih. Inilah problem fundamental radikalisme agama, yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

 

Visi kemanusiaan

 

Menyadari perasaan-perasaan religius (sensus religiousus) tak selamanya diungkapkan secara benar dan konstruktif dalam agama, pendiri bangsa ini menyertakan sila kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai pengontrol. Bung Karno, dalam suatu kesempatan memberikan kursus Pancasila (1958), secara serius mengingatkan agar agama-agama mesti berdiri kokoh di atas dasar perikemanusiaan.

 

Untuk itu, melalui sila kemanusiaan yang beradab, agama-agama didorong untuk tak hanya berhenti pada formalisme agama, tetapi harus turut mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan universal, dengan mengakui hak, kewajiban, serta persamaan martabat manusia; saling mencintai dalam semangat tenggang rasa; terbuka pada perbedaan dengan saling menghormati keunikan masing-masing; menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan; serta mendukung koeksistensi damai dalam kehidupan bersama, baik dalam kehidupan berbangsa maupun dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain (TAP MPR No II/MPR/1978; Karman, 2010).

 

Visi kemanusiaan mengarahkan implementasi sila ketuhanan pada suatu religiositas yang beradab, konstruktif, dan inklusif. Tak hanya itu, visi kemanusiaan juga menjadi kategori moral-etis yang mendasari nasionalisme (sila ketiga), demokrasi (sila keempat), dan keadilan sosial (sila kelima). Maka, penguatan aspek kemanusiaan mestinya menjadi prioritas, baik dalam berketuhanan (beragama), bernegara, berdemokrasi, maupun dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

 

Jika visi kemanusiaan yang beradab sungguh menjadi fondasi kehidupan majemuk kita sebagai satu bangsa, praktik-praktik destruktif yang menabrak batas-batas moral dan hukum pasti dapat diminimalisasi. Visi kemanusiaan yang beradab akan menyuburkan solidaritas, toleransi, dan harmoni sosial dalam masyarakat. Dengan itu, kehidupan beragama kita akan jauh lebih konstruktif.

 

Di atas basis kemanusiaan yang kuat, segenap masyarakat bangsa ini akan betul-betul menghidupi kata-kata pidato Bung Karno dalam Kongres Manila, 29 Januari 1951, ini: ”Belief in the Divine Omnipotence forms the essence of our culture, expressing itself in mutual respect and tolerance and in an elevated code of honour.” Inilah ungkapan ketuhanan dan kemanusiaan yang beradab dalam arti yang sejati. Kita mesti bergerak ke arah itu, terutama dalam praksis iman-keagamaan sehari-hari. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar