Ketuhanan
dan Kemanusiaan yang Beradab Joan Damaiko Udu ; Pemerhati sosial-kemanusiaan,
Alumnus STF Driyarkara, Bekerja di Lembaga Justice, Peace, and Integrity of
Creation (JPIC) OFM Indonesia |
KOMPAS,
02 April
2021
Kehidupan kita di zaman kontemporer ini
ditandai oleh menguatnya dua tendensi ekstrem: ateisme di satu sisi dan
radikalisme agama di sisi lain. Dua tendensi ini memiliki aksentuasi berbeda,
bahkan bertentangan secara diametral, tetapi pada akhirnya sama-sama bergerak
sentripetal menuju satu titik temu, yaitu sama-sama menyinggung status
eksistensi Tuhan. Ateisme memeluk erat satu kebenaran tunggal
bahwa Tuhan tidak ada, dan karena itu, tak ada alasan ontologis untuk mengimani-Nya.
Sementara radikalisme agama mengabsolutkan satu kebenaran tunggal yang lain
bahwa Tuhan sungguh-sungguh ada sebagai Realitas Tertinggi (The Supreme
Being), dan karena itu, mengimani-Nya adalah suatu keniscayaan rasional. Dua paham tersebut sama-sama ekstrem:
ateisme menolak eksistensi Tuhan, tapi lebih respek dan toleran terhadap
sesama manusia; sementara radikalisme agama, dari agama apa pun, menerima eksistensi Tuhan secara absolut,
tapi cenderung ”menolak” yang lain, khususnya yang dipersepsi sebagai ”yang
beda” atau liyan. Pancasila menengahi dua paham ekstrem
tersebut, terutama melalui sila ketuhanan dan sila kemanusiaan yang adil dan
beradab. Kedua sila ini mengondisikan rakyat Indonesia untuk tak hanya
percaya kepada Tuhan (melampaui ateisme), tetapi juga menjunjung tinggi
martabat semua umat manusia secara beradab (melampaui kecenderungan
radikalisme agama). Hanya menekankan salah satunya adalah sebuah ekstremisme;
dan sudah pasti itu bertentangan dengan Pancasila. Problem Paham ateisme tidak diterima di Indonesia
karena bertentangan dengan karakter, budaya, dan identitas bangsa ini. Bung
Karno (1960) membenarkan hal itu bahwa sejak zaman pra-Hindu sampai kontaknya
dengan budaya Eropa, bangsa Indonesia selalu hidup dalam pemujaan kepada
kemahakuasaan ilahi (Divine Omnipotence), yang kepadanya rakyat bangsa ini
menaruhkan segala harapan dan kepercayaannya. Sila ketuhanan mengakomodasi karakter
religius ini, dengan memberikan kebebasan kepada seluruh rakyat untuk
mengekspresikannya dalam agama yang dianutnya. Pluralisme agama serta
ekspresi keagamaan inheren dalam sila ini. Itu artinya, selain menolak ateisme dengan
varian-variannya, sila pertama Pancasila ini juga mengharamkan praktik
iman-keagamaan yang radikal dan eksklusif. Maka, radikalisme agama, yang
cenderung monolitik, juga ditolak. Apalagi radikalisme agama, sebagaimana
terjadi di berbagai belahan dunia, punya watak bawaan yang tidak toleran dan
tidak berperikemanusiaan melalui tindakan-tindakan kekerasan terhadap kelompok
yang memiliki identitas berbeda. Sekalipun tak ada agama yang mengajarkan
kekerasan dan pembunuhan, faktanya kelompok-kelompok radikal selalu
menjadikan ajaran agama, yang cenderung menjadi ideologis, sebagai legitimasi
tindakan kekerasan mereka. Ini berarti ada yang salah dengan pola
penghayatan iman dalam agama, yang membuat orang berani melenyapkan nyawa
orang lain, menghalalkan darah kelompok yang berbeda, dan memuliakan
pembunuhan sebagai bahasa kesalehan dan jalan kepada kesucian. Model penghayatan
iman-keagamaan macam ini susah diterima akal sehat. Bagaimana mungkin Tuhan yang penuh kasih
sayang menganjurkan kekerasan, menghendaki pembunuhan, dan membenarkan
tindakan-tindakan yang an sich jahat? Alih-alih ikut membangun tatanan
kehidupan yang adil dan beradab, model-model penghayatan keagamaan yang
radikal-destruktif justru membuat peradaban berevolusi terbalik, bergerak
mundur ke masa lalu, dengan hidup menurut naluri animalis untuk saling
memangsa. Di tangan kelompok radikal, agama tak lebih
mesin kekerasan yang tak kenal rasa kemanusiaan. Dengan cara berpikir
instrumental, meminjam perspektif Habermas, mereka menempatkan kelompok yang
berbeda, sebagai sarana yang melapangkan jalan mereka kepada ”kesucian” yang
mereka yakini. Tak hanya mematikan pluralisme ekspresi
keagamaan, cara berpikir mereka mengaburkan esensi agama, yang secara
substansial mengandung nilai-nilai kebajikan, kedamaian, dan cinta kasih.
Inilah problem fundamental radikalisme agama, yang jelas-jelas bertentangan
dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Visi
kemanusiaan Menyadari perasaan-perasaan religius
(sensus religiousus) tak selamanya diungkapkan secara benar dan konstruktif
dalam agama, pendiri bangsa ini menyertakan sila kemanusiaan yang adil dan
beradab sebagai pengontrol. Bung Karno, dalam suatu kesempatan memberikan
kursus Pancasila (1958), secara serius mengingatkan agar agama-agama mesti
berdiri kokoh di atas dasar perikemanusiaan. Untuk itu, melalui sila kemanusiaan yang
beradab, agama-agama didorong untuk tak hanya berhenti pada formalisme agama,
tetapi harus turut mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan universal, dengan
mengakui hak, kewajiban, serta persamaan martabat manusia; saling mencintai
dalam semangat tenggang rasa; terbuka pada perbedaan dengan saling menghormati
keunikan masing-masing; menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan; serta
mendukung koeksistensi damai dalam kehidupan bersama, baik dalam kehidupan
berbangsa maupun dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain (TAP MPR No
II/MPR/1978; Karman, 2010). Visi kemanusiaan mengarahkan implementasi
sila ketuhanan pada suatu religiositas yang beradab, konstruktif, dan
inklusif. Tak hanya itu, visi kemanusiaan juga menjadi kategori moral-etis
yang mendasari nasionalisme (sila ketiga), demokrasi (sila keempat), dan
keadilan sosial (sila kelima). Maka, penguatan aspek kemanusiaan mestinya
menjadi prioritas, baik dalam berketuhanan (beragama), bernegara,
berdemokrasi, maupun dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Jika visi kemanusiaan yang beradab sungguh
menjadi fondasi kehidupan majemuk kita sebagai satu bangsa, praktik-praktik
destruktif yang menabrak batas-batas moral dan hukum pasti dapat
diminimalisasi. Visi kemanusiaan yang beradab akan menyuburkan solidaritas,
toleransi, dan harmoni sosial dalam masyarakat. Dengan itu, kehidupan
beragama kita akan jauh lebih konstruktif. Di atas basis kemanusiaan yang kuat,
segenap masyarakat bangsa ini akan betul-betul menghidupi kata-kata pidato
Bung Karno dalam Kongres Manila, 29 Januari 1951, ini: ”Belief in the Divine
Omnipotence forms the essence of our culture, expressing itself in mutual
respect and tolerance and in an elevated code of honour.” Inilah ungkapan
ketuhanan dan kemanusiaan yang beradab dalam arti yang sejati. Kita mesti
bergerak ke arah itu, terutama dalam praksis iman-keagamaan sehari-hari. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar