Yang
Tersisa dari Castro
M Alfan Alfian ; Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
03 Desember 2016
"Every
country must be absolutely free to adopt the type of economic, political and
social system that it considers convenient."
-Fidel Castro
BAGAIMANA menimbang perjalanan eksistensial pemimpin politik?
Dari konteks warisan kepemimpinannya. Tak semua pemimpin disukai selamanya.
Juga terhadap Fidel Castro, legenda Kuba yang wafat belum lama ini, dalam
usianya yang ke-90. Castro telah menjadi bagian sangat penting dari sejarah
Kuba. Titik-titik kisar sejarah masa kini negara itu tak lepas dari
jejak-jejak Castro. Terlepas dari konsekuensi kebijakannya yang menuai
pro-kontra, pelajaran penting kepemimpinan politik Castro terutama adalah
konsistensinya.
Setidaknya, dia konsisten dengan gayanya dalam memimpin
sekaligus pilihan sistem pengelolaan negara. Publik mengenal Kuba sebagai
negeri yang sistem ekonomi dan politiknya bertahan hingga Castro meninggal.
Kuba sering menjadi contoh negeri komunis yang masih bertahan selain Republik
Rakyat Tiongkok. Castro memberangkatkannya dengan suatu revolusi.
Jargon-jargonnya populis-sosialistik. Pilihan-pilihannya membentuk sistem tak
lepas dari keyakinan ideologisnya. Semangat revolusinya rajin
diekspresikannya melalui retorika panjang menembus regional Amerika Latin.
Castro ilustrasi pemimpin paling lama yang bertahan dengan gaya
revolusionernya.
Merujuk Castro, salah satu ciri utama model kepemimpinan
revolusi ialah kepandaian sang tokoh mengeksplotasi isu-isu populis. Ada
janji-janji yang jelas tentang kemakmuran rakyat di satu sisi, dan di sisi
lain mobilisasi kekuatan rakyat untuk melawan kaum kapitalis yang suka
berbuat tidak adil dan membuat yang lain miskin belaka.
Pemimpin revolusi memosisikan diri bak juru selamat bagi
rakyatnya, dan biasanya secara sengaja memunculkan diri dengan ragam simbol
kebesaran. Untuk mempertahankan dukungan politik, selain jargon-jargon
populis, biasanya model pemimpin revolusi membuat sistem yang mengarah pada
satu kekuatan politik atau partai tunggal.
Keunikan Castro, dia sudah eksis semasa Soekarno. Sebagaimana
Che Guevara, Castro dan Bung Karno telah menjadi ikon penting pemimpin
revolusi dunia ketiga. Demikian pula dengan Mahatma Gandhi di India dan
Ayatullah Khomeini di Iran pada 1979. Khusus Castro dan Bung Karno, mereka
demikian akrab pada zamannya. Dalam sebuah foto lama, Castro dan Bung Karno
bertukar sesuatu yang menjadi ciri khas masing-masing. Castro berpeci, Bung Karno
mengenakan topi yang biasa dipakai sahabatanya itu. Keduanya punya kesamaan
khas berpidato. Mereka singa podium simbol eksistensi dunia ketiga. Benang
merah retorika mereka menegaskan pentingnya kedaulatan dan kemandirian
bangsa.
Sistem dunia
Kutipan di awal tulisan ini menegaskan pandangan Castro di saat
setiap negara bebas dalam menentukan jenis-jenis sistem ekonomi, sosial, dan
politiknya. Castro mengklaim memberangkatkan sistem negaranya dari visi
keadilan yang ia perjuangkan.
"I have always fought for concrete facts, for
justice," kata Castro. Dari visinya itu, ia kritis dengan kapitalisme
dan praktiknya yang tidak berpihak pada kaum papa. Pandangan demikian
menegaskan visinya yang ia ekspresikan ke dalam pilihan-pilihan politik yang
anti-Amerika Serikat dan menjadi sekutu Uni Soviet di era Perang Dingin.
Baru pada tahun ini, hubungan Amerika Serikat dan Kuba membaik
seiring dengan kebijakan politik pasca-Castro. Disebut pasca-Castro karena
sesungguhnya sejak 2008 ia telah menyerahkan kekuasaannya kepada adiknya,
Raul Castro. Pengalihan kekuasaan itu strategi keluar (exit strategy) Castro.
Ia lengser dan cukup berposisi inspirasional. Kebijakan negara lebih berada
di tangan Raul yang akomodatif.
Hal-hal di atas menegaskan pemimpin revolusi yang hadir dengan
terobosan berbeda dengan rezim sebelummya, justru karena berbeda dalam
menyikapi sistem dunia. Mereka cenderung memakai pendekatan yang secara
substansi terangkum dalam teori ketergantungan (dependensia). Teori ini
dikembangkan para pakar ekonomi politik Amerika Latin untuk membedakan
dirinya dengan teori modernisasi dan pembangunan (developmentalism).
Intinya, kekuatan politik dunia tidak simetris. Negara-negara
kaya dengan kuasa mereka mengisap yang lain sebagai bentuk neoimperialisme
baru. Mereka memosisikan diri sebagai pusat yang mengendalikan negara-negara
satelit, justru untuk melestarikan ketimpangan atas nama pembangunan.
Pemimpin revolusi menolak ketergantungan sedemikian, melawan para komprador
dan bergerak ke isu-isu keadilan global.
Pascarevolusi
Orang sering berujar, setiap masa ada tokohnya. Setiap tokoh ada
masanya. Hanya ada satu Castro di Kuba, pun satu Bung Karno di Indonesia.
Tokoh terpaut dengan tempat pembentuk sejarahnya. Tak bisa satu sama lain
dipindahtempatkan. Castro yang eksis dan berpengaruh di Kuba belum tentu
mampu manakala dirinya menjadi pemimpin di tempat lain.
Demikian pula Bung Karno, Jawaharhal Nehru di India, atau Joseph
Broz Tito di Yugoslavia tempo dulu. Inspirasi kepemimpinan diperoleh mereka
dari tempat masing-masing. Bagaimana ia mampu meraih legitimasi politik,
berkiprah, dan berlalu.
Castro telah memilih sistem dan kebijakan yang diyakininya, dan
konsisten dengan itu semua. Meskipun orang sering mencatat dia sebagai
dinosaurus di zaman kita, itu semata-mata mencerminkan kelangkaannya. Castro
unik karena langka. Dunia berubah sedemikian rupa, tetapi mobil-mobil di Kuba
masih bergaya 1950-an. Justru karena itulah Kuba romantik, terlepas dari
beragam tantangan pembangunannya.
Kini di tangan Raul, transformasi Kuba pasca-Castro berada.
Tampaknya, ia akan lebih akomodatif terhadap keterbukaan ekonomi dan sedikit
demi sedikit meninggalkan gaya dan kebijakan model Castro.
Pada masa kini, jenis pemimpin revolusi cenderung semakin
langka. Di beberapa negara Amerika Latin, kepemimpinan politiknya bukan lagi
didominasi para pemimpin revolusioner.
Di Venezuela, misalnya, Hugo Chavez pun sudah mendahului. Di
Iran, Imam Khomeini juga sudah lebih dulu meninggal. Ahmadinejad yang bergaya
revolusioner juga sudah tak lagi berkuasa.
Perubahan dan akomodasi merupakan dua kata kunci yang sering
kali dialamatkan ke pemimpin jenis ini. Yang terus mengumandangkan jargon
perubahan ketimbang kemapanan atau akomodasi dinilai masih mempertahankan
ciri pemimpin revolusioner. Yang tidak seperti itu, sebaliknya, cenderung
dianggap sudah condong ke neodevelopmentalis yang minus jargon revolusi.
Pemimpin yang berjenis bukan dari genealogi kepemimpinan
revolusi, dalam hal ini sesungguhnya bisa belajar dari sosok-sosok seperti
Castro. Tema perubahan itu penting, termasuk ketika calon pemimpin telah
terpilih dan memimpin secara formal dalam pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar