Dunia
Hitam dan Distopia Pendidikan
Ardhie Raditya ; Dosen
Pendidikan Kritis di Sosiologi Unesa;
Sedang menempuh Doktoral di KBM
UGM Jogjakarta
|
JAWA POS, 29 Desember
2016
AKSI
kejahatan yang terjadi di sekitar pusat ibu kota Indonesia, Jakarta, kemarin
lusa adalah aksi terkutuk dan biadab. Betapa tidak, belasan orang disiksa dan
dinistakan harga dirinya. Mereka kemudian disekap di kamar mandi berukuran
kecil sehingga akhirnya enam di antaranya tewas. Seorang saksi yang mendobrak
pintu kamar mandi mengatakan bahwa korban ditumpuk seperti ikan sampai
klosetnya retak (Jawa Pos, 28/12).
Dalam
catatan dunia hitam atau dunia kejahatan, selama kurun waktu satu tahun ini,
praktik kejahatan tersebut boleh dibilang yang paling sadis. Apalagi jika kasus
itu diperbandingkan dengan kasus kopi beracun yang menjadikan Jessica sebagai
terpidana. Meskipun sama-sama terjadi di pusat ibu kota, tersorot intensif
media massa, keduanya menyulut kemarahan publik berskala nasional.
Tak
bisa dibayangkan jika kasus pembunuhan itu terjadi di aras lokal. Terutama
daerah yang memiliki tradisi pertarungan. Barangkali spiral kekerasan dan
kejahatan bakal terus berputar seakan tak pernah usai. Di Madura, misalnya,
dikenal tradisi carok. Yakni upaya mempertahankan dan memulihkan harga diri
yang telanjur tercoreng pihak lain dengan cara adu keberanian dan balas
dendam.
Masalahnya
tidak sesederhana itu. Sebab, di dunia hitam para pelakunya terkadang sangat
sulit dikenali secara langsung. Norma kolektif yang berlaku di antara anggota
kelompok dunia hitam tersebut adalah memperkecil jejak aksi bejatnya. Bahkan,
di kalangan mafioso sendiri dikenal budaya tutup mulut (omerta). Sekalipun
demikian, dunia hitam bukan dunia yang benar-benar tertutup dari dunia luar.
Sebab, di kalangan mereka terdapat figur-figur sentral yang cukup disegani,
baik sosial, kultural, maupun secara moral keagamaan. Karena itu, untuk
membongkar dan meminimalkan aksi kejahatan, bukan hanya kekuatan hukum yang
dibutuhkan. Tapi juga pemahaman mendalam sosiokultural yang menjadi kehidupan
sehari-hari di kelompok mereka.
Selama
ini aksi kejahatan sering kali dikait-kaitkan dengan basis ekonomi. Mayoritas
orang menganggap mereka yang terimpit modal ekonomi mudah tercebur ke dalam
dunia hitam. Padahal, orang yang mapan secara ekonomi pun bisa gelap mata.
Karena kerakusannya mengakumulasi surplus ekonomi, mereka bisa nekat
melanggar prinsip hukum dan moralitas yang diajarkan sejak di ruang lingkup
keluarganya (Siegel, 2000).
Korupsi
yang belakangan berlangsung masif di kalangan elite politik dari tingkat
pusat hingga daerah adalah buktinya. Kasus penggandaan uang dan eksploitasi
kekayaan alam yang melibatkan kelas sosial berharta juga dapat menjadi bukti
lainnya. Bahkan, rezim Orde Baru juga disebut-sebut sejarah ekonomi
politiknya ditopang persekutuan jahat dengan kelompok dunia hitam (Ananta
Toer, 1999; Nordholt, 2002).
Selain
supremasi hukum dan kesejahteraan sosial, pendidikan memiliki andil penting
untuk menangkal praktik dunia hitam terus berulang. Transformasi besar
pendidikan (great transformation of education) sangat mendesak diperlukan.
Terutama di tengah maraknya kejahatan (tak terkecuali kejahatan terorisme)
yang belakangan mengancam dunia kehidupan bangsa ini.
Transformasi
besar pendidikan tersebut setidaknya dibangun atas empat fondasi. Pertama,
harapan tentang kemajuan peradaban. Kemajuan itu bisa tampil dalam wajah
pemerataan ekonomi, primanya pelayanan publik, dan kualitas kesehatan yang
menjangkau kelompok marginal serta kelas sosial bawah. Dari aspek kesehatan,
misalnya, bagaimana mungkin siswa dan guru mampu belajar dengan khusyuk
apabila setiap hari mereka kekurangan gizi.
Kedua,
keteladanan strategis. Meskipun sejumlah pakar dan elite politik meyakinkan
kepada media bahwa negeri ini berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru, nyatanya
di warung kopi kabar luhur itu dipandang sinis. Sebagian besar rakyat kecil
merasa pendapat tersebut hanyalah pencitraan. Bagi mereka, bila di masa Orde
Baru yang gila takhta dan harta tampaknya Soeharto saja, saat ini semua orang
terkesan menjadi “Soeharto-Soeharto” kecil. Itu berarti mayoritas rakyat
Indonesia berharap keteladanan yang nyata dari para pemimpinnya.
Ketiga,
mengembalikan agama kepada fitrahnya. Sebab, ajaran agama yang memberikan
kedamaian bagi semua insan lambat laun terkontaminasi mentalitas parasit
politik praktis. Ironisnya, hal itu dilakukan justru oleh tokoh agamanya
sendiri yang rakus akan kenikmatan duniawi. Keempat, memasyarakatkan
pendidikan ekoliterasi sosial. Ekoliterasi di sini tak sebatas berpusat pada
bencana dalam arti alamiah seperti banjir, longsor, atau gempa. Termasuk pula
bencana yang berpotensi merusak relasi kemanusiaan, keadilan, emansipasi,
komunikasi massa, dan keintiman persaudaraan.
Jika
semua hal itu terwujud, bukan hanya pendidikan akan terhindar dari masa depan
yang gagal (distopia). Namun juga memungkinkan terkikisnya dunia hitam yang
mengancam harga diri dan martabat keindonesiaan. Mungkinkah terwujud?
Tanyakan kepada hatimu, Kawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar