Fenomena
”Telolet” dan Demokrasi Kita
M Subhan SD ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 24 Desember
2016
Dari pinggiran jalan masyarakat pesisir atau
agraris di Jawa, ia menyebar ke masyarakat kota-kota megapolis di Amerika
Serikat dan Eropa. Perilaku sebagian orang (terkhusus anak-anak) yang berdiri
di pinggir jalan meminta sopir bus membunyikan klakson kendaraannya (berbunyi
”telolet, telolet”) benar-benar menghipnotis publik dunia. Fenomena ”om
telolet om” menjadi viral di media sosial, termasuk para pesohor dunia, mulai
DJ top macam Snake atau Martin Garrix, juga pebalap MotoGP, Marc Marquez,
ikut mencuit ”om telolet om”. Bahkan, dikabarkan nyangkut juga di akun
Presiden AS Barack Obama dan Donald Trump, presiden terpilih yang akan
dilantik pada Januari 2017 itu.
Sepekan ini, publik dunia dilanda demam
”telolet” yang membuat tubuh ”terguncang” terpingkal-pingkal. Bayangkan,
walaupun disebut hoax, tetapi sudah kadung tersebar meme cuitan Obama, ”I
think ’telolet’ is new weapon from Indonesia”. Substansi telolet tak usah
dipikirin seriuslah, tetapi fenomenanya justru seperti oase. Ibarat setetes
air di tengah gurun tandus. ”Sebuah kesenangan, sebuah kebahagiaan dari
rakyat untuk memperoleh hiburan, saya kira bagus sekali,” kata Presiden Joko Widodo,
di Karawang, Jumat (23/12) kemarin. Fenomena ”telolet” memang menjadi
”sepenggal waktu jeda” yang menginterupsi dunia maya yang belakangan ini
makin tak karu-karuan.
Setidaknya fenomena ”telolet” berhasil membuat
publik (netizen) tersenyum atau terbahak-bahak. Bisa jadi fenomena ”telolet”
menjadi semacam katup pengaman (safety valve) kesumpekan komunikasi dalam era
demokrasi digital. Selama ini dunia maya menjadi semacam ”lubang pembuangan”
di mana ujaran kebencian (hate speech), fitnah, hoax, berita palsu (fake
news), agitasi, provokasi, sikap intoleran, nyaris tak lagi terfilter.
Terlebih era pasca Orde Baru, demokrasi benar-benar bebas. Perseteruan pro
dan kontra sangat sengit.
Polarisasi masyarakat seperti itu sangat jelas
di dunia maya (media sosial). Polarisasi itu muncul sejak Pemilihan Presiden
2014 yang menampilkan persaingan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa. Ketika Jokowi-JK menang pilpres, polarisasi itu tak
lantas berhenti bahkan sampai sekarang. Beberapa kali Jokowi dan Prabowo
makan bareng hingga menunggang kuda bareng juga tak menghentikan polarisasi
itu. Para lovers dan haters tetap saja mengeras. Yose Rizal, Direktur
Politica Wave, saat diskusi di Kompas, pekan silam, menyatakan, pola diskusi
di media sosial hampir tidak ada titik temu. walaupun terjadi komunikasi
tetapi pada akhirnya setiap pihak tetap pada pendirian masing-masing.
Kebenaran tampaknya sulit ditemukan di media sosial. Sebaliknya, pembenaran
terhadap sikap masing-masing terasa sangat kuat.
Karena itu, sampai sekarang Jokowi sering
dipersalahkan. Apa-apa semua terjadi gara-gara Jokowi. Aneh! Misalnya, saat
ini banyak dijumpai buruh asal Tiongkok langsung dituding akibat proyek
Tiongkok-isasi pemerintahan Jokowi. Kebijakan ekonomi Jokowi memang membuka
hubungan dengan Tiongkok, antara lain diwujudkan dalam proyek kereta cepat
Jakarta-Bandung. Proyek itu pun menjadi pembenaran. Desain uang baru RI saja,
yang diterbitkan Bank Indonesia, 19 Desember lalu, memperkuat hal itu. Desain
uang baru itu disandingkan dan dimirip-miripkan dengan yuan, mata uang
Tiongkok. Meme ”kemiripan” uang itu pun disebar ke mana-mana.
Dunia maya memang tidak berbatas. Sejak lama
kebebasan era demokrasi sekarang ini dinilai kebablasan. Memang, demokrasi
pasca Orde Baru mendapat tepuk tangan meriah dan diapresiasi publik dunia.
Namun, demokrasi yang tumbuh tidak linier dengan hal-hal baik dan positif.
Partai politik makin oligarkis, hanya di tangan segelintir orang.
Neo-feodalisme tak terbendung. Dinasti-dinasti politik tumbuh subur. Politik
uang makin membuat situasi gaduh. Pemimpin bersih bisa dihitung dengan jari,
tetapi pemimpin busuk terjerat korupsi terus bermunculan. Demokrasi hanya
menguntungkan elite, terutama pemilik modal besar.
Rupanya selama 18 tahun era reformasi ini,
mengutip Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, yang juga
berbicara dalam diskusi akhir tahun di Kompas, tidak terjadi transformasi
demokrasi. Berhenti pada tahap transisi demokrasi. Memang ada ”pergantian”,
tetapi belum ada ”perubahan”. Salah satu bukti, sudah begitu banyak aturan
baru dibuat, tetapi tidak dibarengi dengan perubahan nilai, pola pikir, dan
perilaku. ”Saya melihat masyarakat mulai ada gejala give up (menyerah) dengan demokrasi,” ujar Mu’ti.
Ini peringatan! Dalam rentang hampir dua
dekade itu seharusnya sudah sampai demokrasi ideal, yaitu ketika rivalitas
dan konfrontasi yang antagonistik menjelma menjadi relasi yang agonistik
(Mouffe, 2000). Setiap pihak tidak dipandang sebagai musuh. Karena itu,
sesekali perlu keluar dari kesumpekan demokrasi (termasuk demokrasi digital)
agar bisa berpikir kontemplatif. Barangkali fenomena ”telolet” perlu untuk
mengendurkan urat-urat syarat yang selama ini terlalu tegang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar