Bumi
Datar dan Kekakuan yang Merepotkan
AS Laksana ; Sastrawan;
Pengarang; Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA POS, 19 Desember
2016
SEUSAI acara diskusi bulanan di klub baca buku
yang kami selenggarakan, penulis Zen Hae sempat menyinggung sekilas hal yang
akan terdengar ganjil bagi telinga abad ke-21. ”Sekarang ini muncul lagi
orang-orang yang percaya bumi itu datar, Bung,” katanya. Saya menanggapinya
dengan agak putus asa, ’’Kelihatannya topik itu bisa menjadi urusan yang
panjang.’’
Segala hal, Anda tahu, selalu bisa menjadi
urusan yang panjang di negara kita. Percakapan di media sosial selalu
menjanjikan hal yang seru setiap hari, dan seringkali panas, apa pun isunya.
Atau, dalam kalimat yang lebih tepat, apa saja bisa dijadikan bahan
olok-olok.
Percakapan dengan Zen itu terjadi dua bulan
lalu dan saya sudah tidak ingat lagi sampai kemudian Ronny Agustinus,
penerjemah, aktivis perbukuan, dan pemilik penerbitan indie Marjin Kiri,
memberi tahu bahwa buku terjemahan The Flat-Earth Conspiracy: Bukti-bukti
Ilmiah Bumi Itu Datar menjadi buku laris di Toko Buku Gramedia yang baru saja
ia kunjungi. Ada lingkaran merah pada sampul depan, bertuliskan: ’’Fakta yang
disembunyikan selama 500 tahun.” Penulis buku itu bernama Eric Dubay, orang
Amerika Serikat yang menjadi pelatih yoga di Thailand, dan saya tidak pernah
mendengar reputasinya sebagai ilmuwan.
Sehari setelah itu, anak saya yang masih kelas
dua SMP juga memberi tahu bahwa sekarang ini ada orang-orang yang percaya
bumi itu datar. Nah, urusannya mulai menyambar anak remaja. Saya pikir urusan
bumi datar ini benar-benar akan menjadi panjang, paling tidak di media
sosial.
’’Aneh mereka,” katanya. ’’Jika bumi datar,
pasti banyak kapal yang nyemplung entah ke mana ketika berlayar sampai ke
ujung dan kebablasan.”
’’Menurutmu kenapa mereka mempercayai itu?”
tanya saya.
’’Nggak tahu,” katanya.
Saya
agak tenteram. Setidaknya, ia hanya tahu sampai di situ dan tidak ikut
terlibat dalam pembicaraan yang bisa berlarut-larut tentang bentuk bumi.
Satu
hari berikutnya, saya membaca pernyataan seseorang, di media sosial, bahwa ia
baru saja ditelepon oleh temannya, seorang penggiat taman bacaan, mengenai
kejadian mengejutkan di satu daerah di Jawa Barat bagian selatan. Tokoh
masyarakat di daerah itu, yang juga seorang pemuka agama, menolak buku-buku
Ilmu Pengetahuan Alam di antara buku-buku sumbangan yang disalurkan ke sana
oleh si penggiat taman bacaan, sebab buku-buku pengetahuan tidak sejalan dengan
agama. Buku-buku pengetahuan alam mengajarkan bahwa bumi itu bulat, sementara
si tokoh masyarakat mengimani bumi itu datar.
Orang-orang
yang membela keyakinan bahwa bumi adalah sebuah roti marie raksasa niscaya
akan memuji penolakan tersebut dan menganggap si tokoh masyarakat sebagai
orang yang teguh imannya. Sebaliknya, orang-orang yang percaya bahwa bumi
adalah bola raksasa, sebagaimana yang disampaikan oleh para ilmuwan dengan
segala bukti pendukungnya, akan menyatakan bahwa orang itu adalah contoh hidup
tentang kemunduran nalar dan penolakan terhadap fakta-fakta ilmiah. Orang
semacam itu bisa dengan mudah mengembangkan sikap memusuhi pengetahuan dan
menganggapnya sebagai upaya untuk menggoyahkan iman orang-orang saleh.
Kita
bisa membayangkan bahwa orang itu, yang menyikapi pengetahuan dengan rasa
curiga, pada suatu saat nanti akan menyampaikan, dengan keyakinan baja, bahwa
batu yang direbus adalah penyembuh paling manjur untuk kanker limpa, atau
akar bahar bisa menyebabkan kesurupan, atau Borobudur dibangun oleh Nabi
Sulaiman. Pada tahap seperti itu, percakapan akan sulit berlanjut. Anda tidak
bisa berbuat apa-apa terhadap seseorang yang berpegang teguh pada keyakinan
sekehendak hatinya sendiri. Jika Anda berniat meluruskan keyakinannya,
percakapan bisa-bisa berlanjut menjadi aksi membahayakan.
Hal
seperti itu terjadi di Kanada. Seorang pria berusia 56 tahun harus berurusan
dengan polisi gara-gara berdebat dengan seorang gadis, pacar anaknya, pada
malam hari saat mereka berkemah. Si gadis memiliki iman yang kukuh bahwa bumi
itu datar, dan pendirian itu membuat si pria tidak tahan. Lelaki itu gagal
mengubah keyakinan si gadis. Ia kemudian mengamuk dan melemparkan apa saja,
termasuk tabung gas, ke api unggun sebelum meninggalkan lokasi perkemahan
dengan rasa marah dan frustrasi.
Kejadian
itu setidaknya bisa menjadi pengingat bagi siapa saja. Jika suatu saat Anda
berjumpa dengan orang yang mempercayai sampai ke tingkat iman yang tak
mungkin dibelokkan bahwa bumi ini berbentuk jajaran genjang, dan ia
mengatakan sudah ada bukti-bukti ilmiah tentang hal itu, saya pikir lebih
baik Anda mengabaikannya saja dengan cara yang sesantun mungkin. Tidak perlu
Anda berupaya membelokkan keyakinannya. Tidak perlu juga Anda melakukan aksi
pembakaran, apalagi sampai melemparkan tabung gas ke kobaran api.
Orang-orang
yang kaku memang seringkali mempertahankan hal yang bisa membuat kita
tercengang. Beberapa tahun sebelum munculnya buku bumi datar itu, saya pernah
berjumpa di rak toko buku dengan judul yang juga mengejutkan Matahari
Mengelilingi Bumi: Teori Absolutivitas, dengan pernyataan tambahan di sebuah
lingkaran merah: ’’Buku yang akan mengubah paradigma Anda.”
Saya tidak tahu apakah buku Matahari
Mengelilingi Bumi itu menjadi buku terlaris atau tidak. Saya tidak
memedulikannya dan berbuat seolah-olah buku itu tidak pernah ada. Sebetulnya
ada juga sedikit dorongan untuk membelinya pada waktu itu, tetapi saya
bersyukur masih sanggup menahan diri untuk tidak usah membeli buku yang pasti
hanya akan membangkitkan perasaan jengkel di dalam diri. Saya tidak punya
minat sama sekali untuk membeli buku demi mengobarkan kejengkelan.
Hal yang sama saya lakukan ketika melihat
The Flat-Earth Conspirary di toko buku. Ronny Agustinus benar, buku itu
berada di rak buku-buku best-seller. Saya heran kenapa buku-buku seperti ini
diterjemahkan dan diterbitkan, seolah-olah tidak ada buku lain yang lebih
bermanfaat untuk dibaca oleh orang Indonesia. Tetapi itu buku laris, kita
tidak bisa mendebat pilihan penerbit. Sebagian orang membeli mungkin karena
buku itu sesuai dengan iman mereka, sebagian membeli sebagai bacaan ringan
belaka.
Saya berharap mereka akan baik-baik saja.
Mungkin di antara mereka ada yang semakin beriman, mungkin ada yang justru
tambah tidak percaya. Namun, apa pun yang kelak terjadi pada para pembaca
itu, saya berharap mereka tidak bertindak ekstrem sebagaimana yang dilakukan
oleh Paul Kruger. Paul adalah presiden Republik Transvaal (sekarang Afrika
Selatan). Ia jemaat Gereja Reformis Belanda dan orang yang imannya kokoh
bahwa bumi itu datar.
Pada 1898, Paul terpilih sebagai presiden
untuk keempat kalinya, tetapi setahun berikutnya pecah Perang Boer dan ia
harus lari dari negaranya. Ia menumpang kapal perang Belanda pada 1900. Di
dalam perjalanan, kapten kapal menjelaskan kepadanya bahwa navigasi kapal itu
dibuat berdasarkan pengetahuan bahwa bumi adalah planet yang bentuknya bulat.
Paul terperangah oleh kenyataan itu dan imannya menjadi goyah dan ia
mencampakkan agamanya.
Saya kira orang yang imannya goyah tidak
perlu dijadikan teladan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar