Sektor
Energi dan Prospeknya
Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen di FTKE Universitas
Trisakti;
Pendiri Reforminer Institute
|
MEDIA INDONESIA,
24 Desember 2016
TAHUN 2016 sudah hampir habis dalam hitungan
hari. Banyak dinamika dan perkembangan yang telah terjadi di sektor energi
sepanjang tahun ini. Dari mulai dinamika politik-ekonomi makro di tingkat
global maupun nasional, yang tidak berhubungan secara langsung dengan
pengelolaan sektor energi nasional secara day to day, maupun dinamika di
tingkat mikro sektoral yang memang bersentuhan langsung dengan bagaimana
sektor energi nasional dikelola dan dijalankan secara riil.
Awal 2016 dimulai dengan turunnya harga minyak
hingga di kisaran US$27 per barel. Merespons dan memanfaatkan harga minyak
yang rendah ini, pemerintah menurunkan harga BBM. Penurunan harga BBM
sepanjang 2016 dilakukan pada Januari dan April. Pemerintah, dalam hal ini
Kementerian ESDM yang pada saat itu di bawah kepemimpinan Sudirman Said, juga
mulai menggagas agar Indonesia mulai mengalokasikan sejumlah dana tertentu
untuk ketahanan energi (dana ketahanan energi/DKE) yang diwujudkan dalam
bentuk penambahan kapasitas stok minyak dalam negeri, baik dalam bentuk
minyak mentah maupun BBM. Sebelumnya, pada Desember 2015, Indonesia mengaktifkan
kembali keanggotaan di dalam OPEC, dengan salah satu pertimbangan juga untuk
mengamankan dan mendiversifikasi pasokan minyak mentah dan BBM yang bersumber
dari impor.
Setelah melalui pembahasan yang cukup
intensif, gagasan DKE kemudian benar-benar direalisasikan. Dalam
APBN-Perubahan 2016, pemerintah secara langsung mengalokasikan anggaran
sebesar Rp1,6 triliun. Separuh dari anggaran tersebut akan digunakan untuk
mengimpor sekitar 1,6 juta barel minyak mentah sebagai persediaan untuk
mengantisipasi keadaan darurat. Separuhnya lagi untuk memperkuat cadangan
operasional persediaan BBM. Penurunan harga BBM dan penerapan DKE ini dapat
dikatakan merupakan langkah dan kebijakan konkret pemerintah di sektor
energi, khususnya di hilir migas, pada awal dan paruh pertama 2016.
Adanya kepastian
Pada periode yang sama, di hulu migas,
pemerintah memutuskan pengelolaan dan pengembangan lapangan gas Blok Masela
dilakukan di darat (onshore). Keputusan ini menarik mundur ke belakang proses
bisnis yang sebelumnya telah berjalan, yaitu dengan telah direkomendasikannya
pengembangan Blok Masela dengan skema offshore oleh SKK Migas kepada
Kementerian ESDM. Keputusan ini, dengan nuansa dan atmosfer terkait politik
yang melingkupi di sekitarnya, memberikan sinyal yang multidimensi pada dunia
investasi hulu migas nasional.
Di satu sisi hal ini memberikan kepastian dan
Presiden Joko Widodo memiliki perhatian dan kepedulian terhadap proyek migas
skala besar. Namun di sisi lain hal ini juga memberikan sinyal ketidakpastian
bahwa proses dan tata kelola yang telah berjalan di dalam kerangka peraturan
yang ada ternyata dapat berubah di tengah jalan dan diulang kembali. Hal ini
seakan melengkapi ketidakpastian yang telah sekian lama berlangsung pada
industri hulu migas nasional, baik di dalam hal prospek bisnisnya, karena
faktor rendahnya harga minyak, maupun ketidakpastian dalam berinvestasi
karena tidak kunjung selesainya proses revisi Undang-Undang Migas No 22/2001
yang telah berlangsung lama di DPR.
Di sektor kelistrikan, pemerintah praktis
melanjutkan kesibukannya di dalam bagaimana berupaya mengawal dan
merealisasikan program pembangunan 35 ribu megawatt pembangkit, yang memang
sudah dicanangkannya sejak 2014. Persoalan dari mulai payung hukum,
penyediaan tata ruang dan pembebasan lahan, jaminan ketersediaan energi
primer batubara dan gas, purchase power
agreement (PPA) dan financial
closing adalah serangkaian isu permasalahan ketika pemerintah terus
berkutat untuk mengurai dan menyelesaikannya satu per satu. Dalam pada itu,
nuansa ketidakharmonisan antara pemerintah dan PLN acapkali turut mewarnai
proses-proses yang terjadi.
Pengembangan energi baru terbarukan (EBT)
dapat dikatakan cukup mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Dari postur
anggaran Kementerian ESDM, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan
Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) memperoleh porsi alokasi anggaran terbesar
kedua setelah Ditjen Migas.
Namun, besarnya porsi alokasi anggaran
ternyata relatif belum tecermin dalam realisasi perkembangan EBT yang diharapkan
banyak pihak. Pengembangan bahan bakar nabati (BBN) yang pemanfaatannya telah
dimandatorikan sejumlah regulasi, relatif masih stagnan. Progres cukup
signifikan adalah yang terjadi di dalam upaya mendorong peningkatan kapasitas
terpasang pembangkit listrik panas bumi. Pada Juli 2016, ada tambahan
kapasitas 35 Mw dengan beroperasinya PLTP Kamojang 5. Hal ini merupakan
bagian dari keseluruhan proyek PLTP sebesar 505 Mw yang ditargetkan selesai
beroperasi selama periode 2015-2019.
Energi dan politik
Secara umum, kinerja sektor energi pada paruh
pertama 2016 dapat dikatakan relatif cukup baik. Meskipun di sana-sini masih
terdapat permasalahan yang belum dapat diselesaikan secara tuntas, terlihat
jelas ada upaya dan langkah konkret yang dilakukan sehingga secara
keseluruhan roda sektor energi bergerak maju. Namun, gerak maju tersebut
harus tertahan karena pada Juli-Oktober lalu, energi kita di sektor energi
praktis terkuras 'hanya' untuk mengurusi hal-hal yang lebih berkaitan dengan
politik, yaitu bongkar pasang posisi Menteri ESDM. Selama periode itu, sektor
energi tentu saja tetap berjalan. Namun, hal itu lebih hanya karena inisiatif
para pelaku ekonominya saja. Mereka memang tidak mau terlalu bergantung dan
berharap kepada kebijakan pemerintah dengan segala dinamika dan
ketidakpastian politik yang melingkupinya.
Apa yang terjadi selama periode itu, dan pada
tiga bulan terakhir di 2016 ini, khususnya progres-progres yang dicapai di
sektor energi, dengan demikian, sejatinya tidak sepenuhnya dapat diatributkan
ataupun diklaim murni sebagai prestasi dari pemerintah, dan terlebih pada
Menteri dan Wakil Menteri ESDM yang baru. Kita mencatat ada PLTP Lahendong 5
20 Mw yang beroperasi pada September lalu, dan akan menyusul PLTP Lahendong 6
20 Mw pada Desember atau Januari 2017 nanti, yang proses di dalam
merealisasikannya tentu tidak terjadi begitu saja dalam kurun periode yang
singkat itu.
Pun terhadap perkembangan kebijakan energi
terkini, yang, katakanlah, berhasil direalisasikan pada awal Desember ini,
yaitu terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penurunan
Harga Gas di tiga sektor industri, proses dan regulasi payung hukum lain yang
mendahuluinya telah dimulai sejak 2015 lalu. Hal yang berbeda terjadi pada
kasus keputusan Indonesia yang keluar lagi dari keanggotaan OPEC pada akhir
November lalu. Hal ini memang tidak sama dengan garis kebijakan yang
ditetapkan satu tahun sebelumnya.
Prospektif
Pada 2017 harga minyak mentah dunia berpeluang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2016. Jika pada 2016 rata-rata harga
minyak bergerak di kisaran US$45-US$50 per barel, pada 2017 harga berpeluang
mulai menyentuh dan menembus US$60 per barel. Terpilihnya Donald Trump
sebagai Presiden AS dan kesepakatan pemotongan produksi OPEC dan juga Rusia,
ialah dua faktor yang secara tak langsung dan langsung akan memiliki pengaruh
terhadap pergerakan harga minyak ke depan. Faktor Trump cenderung lebih ke
arah ketidakpastian (ketidakstabilan) geopolitik. Sementara itu, pemotongan
produksi akan membantu mengoreksi kelebihan pasokan yang selama ini terjadi.
Dua-duanya, secara teoretis, akan membantu menaikkan level harga minyak.
Jika harga minyak dapat bertengger di kisaran
US$55-US$60 per barel, hal itu akan cukup membawa angin segar bagi industri
hulu migas nasional. Dan tentunya dapat menambah penerimaan negara dari migas
yang pada 2016 ini porsinya hanya berkisar 4,6% terhadap total penerimaan
APBN. Namun, peluang bertiupnya angin segar dari faktor eksternal ini
kemungkinan belum akan dapat menggerakkan roda perekonomian hulu migas
nasional secara langsung. Adalah faktor internal, yaitu ketidakpastian dari
pemerintah sendiri yang berpotensi menjadi penghalangnya.
Perubahan sistem production sharing contract (PSC) yang di dalamnya menggunakan
skema pengembalian biaya operasi (cost recovery) menjadi gross split, yang
oleh pemerintah dipandang merupakan solusi untuk mengefisienkan industri hulu
migas, bisa jadi justru akan menjadi kontraproduktif. Dari sisi efisiensi,
gross split bisa jadi memang akan membawa perubahan yang positif, tapi di
sisi dampaknya secara riil terhadap peningkatan cadangan dan produksi, hal
itu belum tentu berkorelasi lurus. Apalagi, revisi UU Migas kemungkinan juga
tetap belum akan selesai pada 2017. Hulu migas tampaknya baru akan sebatas
berorientasi pada satu-dua proyek besar seperti Masela.
Antisipasi pemerintah
Dalam kaitan dengan hilir, peluang harga
minyak yang lebih tinggi ini tentu saja akan membawa dampak pada adanya
kebutuhan untuk menyesuaikan harga BBM di dalam negeri. Namun, kondisi itu
semestinya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Selain masyarakat sudah mulai
terbiasa dengan naik-turunnya harga BBM, harga minyak meskipun naik mestinya
tidak melonjak secara tajam, sehingga kenaikan harga BBM pun masih dalam
rentang yang dapat dijangkau masyarakat luas. Kecuali, jika terjadi suatu
peristiwa luar biasa, perang misalnya, yang dapat memicu pergerakan harga
secara liar. Meskipun peluang untuk terjadinya hal ini untuk saat ini relatif
kecil, pemerintah tetap perlu menyiapkan antisipasinya.
Pengembangan energi terbarukan kemungkinan
tetap akan dimotori semakin meningkatnya porsi pembangkit listrik panas bumi
yang akan mulai beroperasi. Untuk bahan bakar nabati dan pengembangan sumber
energi baru terbarukan lainnya, pemerintah tampaknya masih akan menyelesaikan
terlebih dahulu persoalan terkait administrasi subsidinya; apakah akan
diperlakukan sebagai subsidi ataukah dipandang sebagai insentif untuk
pengembangan energi baru terbarukan.
Kebijakan tata kelola gas domestik tampaknya
juga akan terus berlanjut. Dalam hal ini, dua yang menonjol ialah kemungkinan
diperluasnya jangkauan penurunan harga gas untuk industri dan makin
mengerucutnya rencana pemerintah yang berkaitan dengan pembentukan agregator
gas, merger satu-dua BUMN yang bergerak di dalamnya ataupun pembentukan
holding BUMN migas atau energi dalam skala yang lebih luas.
Untuk kelistrikan, suasana yang lebih
kondusif, dalam pengertian adanya sinergi yang lebih harmonis dari unsur
pemerintahan, khususnya Kementerian ESDM dan PLN, tampaknya dapat lebih kita
harapkan. Dengan target baru yang lebih realistis, yaitu kisaran 19.700 Mw
pembangkit yang dapat diselesaikan hingga 2019, diharapkan pemerintah dan PLN
dapat lebih fokus di dalam merealisasikannya.
Secara keseluruhan, dengan prospek faktor
eksternal dan stabilitas politik ekonomi nasional yang ada, sebenarnya
berpeluang untuk dapat membawa sektor energi nasional di 2017 menjadi lebih
baik. Tinggal bagaimana duet kepemimpinan Menteri ESDM Ignasius Jonan dan
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar dapat memimpin di dalam merealisasikannya
dengan baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar