Konsolidasi
Kekuasaan dan Implementasi Kebijakan
Kacung Marijan ; Guru
Besar Unair; Wakil Rektor Unusa
|
JAWA POS, 27 Desember
2016
UPAYA membangun pemerintahan yang lebih efektif terus
dilakukan pemerintahan Jokowi-JK. Bangunan itu terjadi manakala proses
politik di dalam membuat kebijakan-kebijakan strategis lebih mudah dilakukan.
Demikian pula implementasinya.
Di sepanjang 2016, terdapat dua peristiwa penting untuk
mewujudkan hal itu. Pertama adalah peristiwa konsolidasi kekuasaan. Peristiwa
tersebut terkait dengan upaya untuk mempermudah proses pembuatan keputusan
politik, berikut memperkuat soliditas di dalam tubuh pemerintahan.
Pemerintahan Jokowi-JK melakukan konsolidasi itu
melalui masuknya dua kekuatan yang sebelumnya berada di luar kekuasaan, yaitu
Golkar dan PAN. Masuknya dua kekuatan tersebut memungkinkan proses-proses
politik di parlemen bisa lebih mudah dilakukan, khususnya terkait dengan
penetapan APBN dan UU yang dibutuhkan pemerintah untuk pendukung jalannya
program-program pemerintahan, seperti aturan mengenai tax amnesty.
Selain itu adalah reshuffle kabinet. Kalau konsolidasi
yang pertama dilakukan lebih diarahkan untuk mempercepat proses pembuatan
keputusan, reshuffle kabinet merupakan kelanjutan dari proses itu, yakni
adanya pemberian konsesi kekuasaan di jabatan eksekutif. Reshuffle kabinet
juga dilakukan untuk memperkuat konsolidasi di dalam pemerintahan agar lebih
mudah terjadinya koordinasi implementasi kebijakan antar kementerian dan
lembaga. Bukan rahasia lagi, sebelumnya terdapat pertentangan antarmenteri
yang sampai menyeruak ke ruang publik.
Peristiwa kedua terkait dengan upaya melakukan
implementasi keputusan yang tidak hanya diusahakan agar lebih efektif, tetapi
juga lebih efisien. Langkah demikian, antara lain, dilakukan melalui
keberlanjutan reformasi birokrasi dan pengetatan anggaran.
Di sepanjang 2016, reformasi birokrasi merupakan bagian
dari kebijakan reformasi tahun sebelumnya. Memang, tidak terdapat terobosan
khusus yang membedakannya dari tahun 2015. Meskipun demikian, yang terkait
dengan birokrasi adalah kebijakan pengetatan anggaran kementerian dan
lembaga.
Langkah
pengetatan anggaran itu penting dilakukan karena realisasi pendapatan dari
sektor pajak jauh dari asumsi yang ditetapkan di dalam APBN 2016, bahkan dari
anggaran perubahan di pertengahan tahun 2016. Pengetatan anggaran dilakukan
agar defisit anggaran tidak melebar jauh, melebihi 3 persen dari PDRB
sebagaimana diamanatkan UU Keuangan Negara. Di bawah komando Sri Mulyani,
menteri keuangan yang baru, pengetatan anggaran itu dilakukan melalui
pemotongan anggaran besar-besaran.
Pengetatan anggaran tersebut dibarengi implementasi
kebijakan tax amnesty. Kebijakan itu sangat penting dilakukan, selain sebagai
basis penguatan kebijakan perpajakan, juga untuk memperoleh dana tambahan di
luar pendapatan dari pajak tahunan. Para wajib pajak yang memperoleh
pengampunan harus membayar denda. Uang yang diperoleh dari denda itu sangat
penting untuk menutup defisit anggaran.
Kalau kita cermati, dua langkah konsolidasi yang
dilakukan pemerintahan Jokowi-JK di sepanjang 2016 itu relatif cukup
bermakna. Di tingkat proses pembuatan keputusan yang melibatkan DPR, jalannya
relatif cukup efektif. Pembuatan keputusan APBN 2017 tidak memperoleh
hambatan yang berarti. Hal tersebut beda dengan proses pembuatan keputusan
APBN 2016 yang lebih berliku.
Yang terlihat belum berhasil dilakukan adalah
penerimaan DPR terhadap menteri BUMN. Dalam melakukan raker untuk membahas
anggaran kementerian, menteri BUMN masih diwakili menteri keuangan. Kalau
kita cermati, hal demikian ini tidak semata-mata terkait dengan tingkat
penerimaan kekuatan politik di luar pemerintahan. PDIP pun sepertinya masih
belum bisa menerima keputusan Presiden Jokowi untuk mempertahankan posisi menteri
BUMN.
Sementara itu, Jokowi melihat Rini Soemarno bukan
semata-mata sebagai bagian dari orang penting di dalam rancang bangun
pemerintahan yang dijalankan. Menteri Rini juga dipercaya sebagai orang yang
tepat sebagai komandan membawa transformasi BUMN sebagai kekuatan ekonomi
dalam pembanguan di Indonesia. Di balik keterbatasan APBN, BUMN diarahkan
sebagai salah satu lokomotif untuk menjalankan visi-misi pemerintahan, selain
kekuatan swasta.
Konsolidasi implementasi keputusan sepanjang 2016 ini
juga masih menjadi pekerjaan yang berat. Pemerintah memang sukses
melaksanakan kebijakan tax amnesty, jauh di atas perkiraan banyak orang yang
di awal-awal banyak mengkritisinya. Meski demikian, kebijakan program tax
amnesty itu lebih banyak pendataan aset-aset yang dimiliki wajib pajak di
dalam negeri, belum banyak melibatkan masuknya kembali aset-aset milik WNI
yang ada di luar negeri (repatriasi).
Reformasi birokrasi juga masih menghadapi tantangan
seiring dengan masih banyaknya kebocoran di berbagai tempat, baik anggaran
dari pemerintah pusat maupun daerah. Adanya pemburu rente dan praktik
perilaku korup lainnya masih menjadi penyakit kronis yang menggerogoti
pemerintahan. Penangkapan banyak politikus, pejabat, dan aktor-aktor yang
terkait dengan korupsi masih belum banyak membawa efek jera bagi yang lain
untuk berhenti melakukannya.
Tantangan penting bagi pemerintahan Jokowi-JK pada
tahun depan dan tahun-tahun yang akan datang adalah terus-menerus melakukan
konsolidasi kekuaan dan impelemetasi kebijakan agar program-program
pembangunan yang telah dijanjikan pada saat kampanye 2014 bisa dijalankan
secara lebih baik.
Selain konsolidasi di level kekuasaan, langkah yang
tidak kalah pentingnya adalah membangun hubungan yang lebih baik dengan
kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Betapapun dukungan kekuasaan
dan birokrasi itu sangat penting, tanpa dukungan dari masyarakat, jalannya
pemerintahan juga mengalami ketimpangan. Tantangan yang tidak kalah
pentingnya tahun depan adalah perolehan dukungan dari kekuatan-kekuatan yang
ada di dalam masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar