Menutup
Google
Effnu Subiyanto ; Advisor
CikalAFA-umbrella;
Direktur Koridor, memperoleh Doktor
Ilmu Ekonomi FEB Unair
|
JAWA POS, 27 Desember
2016
RAKSASA mesin pencari Google rupanya tidak menerapkan
asas compliance dalam operasional bisnisnya. Mencari nafkah pada teritori
negara lain, giliran kewajiban membayar pajak, berkilah dan main petak umpet.
Penghindaran pajak Google bahkan sudah berlangsung selama lima tahun. Tentu
saja, itu akan menimbulkan preseden buruk bagi institusi bisnis lain yang
beroperasi di Indonesia yang selalu patuh membayar pajak.
Saat ini Google terus berkelit membayar pajak sehingga
pemerintah menjatuhkan tahap preliminary investigation dengan sanksi bunga
150 persen plus utang pokok pajak selama lima tahun terakhir yang mencapai Rp
5 triliun. Tenggat waktu preliminary investigation adalah Januari 2017. Jika
terus membandel melebihi due-date Januari tahun depan, pada Februari 2017
status penghindaran pajak Google akan ditingkatkan menjadi full investigation
dengan sanksi bunga 400 persen. Jika itu yang terjadi, Google akan berutang
pajak dengan sanksi bunga progresif minimal Rp 20 triliun mulai Februari
2017.
Berpendapatan Besar
Setelah berdiri pada Januari 1996, pendapatan Google
sangat sulit diukur sampai sekarang. Berdasar riset European Commission
(2014), Google minimal sudah memiliki pendapatan bruto EUR 54 miliar (Rp
761,4 triliun) atau terbesar ketiga setelah Microsoft dan IBM. Peranan Google
semakin besar karena bisnis turunannya semakin besar. Misalnya, Google
Translate, Google Map, Google Scholar, hingga Google Journals. Pendapatan
Google semakin menggunung, dan kewajiban pajak seharusnya mengikuti. Sayang,
di beberapa negara, Google lebih sering lupa membayar pajak.
Untuk di Indonesia, karena alpa membayar pajak sejak
lima tahun lalu, Google Indonesia sebetulnya sudah ditagih USD 266,67 juta
pada 2015. Asumsinya, karena data keuangan Google tidak diberikan, pendapatan
di Indonesia ditaksir minimal sebesar 0,1 persen total pendapatan Google di
dunia, kemudian dikalikan lima tahun. Setiap tahun Google Indonesia
seharusnya membayar pajak USD 53,33 juta. Karena pada 2015 Google tidak
kooperatif menyelesaikan pajaknya, mereka dikenai sanksi pajak 150 persen
sehingga tagihan pajak sekarang menjadi USD 400 juta.
Keengganan Google membayar pajak tidak hanya terjadi di
Indonesia. Di Italia, Google akhirnya membayar pajak EUR 2,2 juta pada 2014
(Rp 31,02 miliar) setelah berkonflik panjang. Di Inggris, Google juga
bersedia membayar pajak 130 juta poundsterling (Rp 2,145 triliun) untuk tahun
2015 setelah ditekan pemerintah Inggris.
Keengganan Google membayar pajak di Indonesia secara
garis besar disebabkan perhitungan pajak pemerintah Indonesia terlalu besar.
Pengguna internet di Indonesia pada 2014 adalah 47 juta orang, memang 1,2
kali lipat dibanding Italia yang pada waktu itu 37 juta orang
(www.internetlivestats.com). Dalam hal ini, wajar jika Google membayar pajak
di Indonesia lebih besar dibanding Italia. Namun, menggunakan perbandingan
dengan Inggris yang menarik pajak Rp 2,145 triliun sehingga mengenakan
tagihan Rp 720 miliar kepada Google juga tidak patut. Persoalannya adalah
apakah tagihan pajak USD 53,33 juta setahun kepada Google sangat besar atau
memang sangat relevan?
Pendapatan Google terutama datang dari pengiklan yang
melihat potensi Indonesia yang demikian besar. Statista –sebuah portal
statistik online asal Jerman– berdasar Rohman (2016) menyebutkan, nilai iklan
digital Indonesia diperkirakan mencapai USD 108 miliar (Rp 243 triliun), dan
untuk pangsa mesin pencari seperti Google akan mendekati USD 479 juta (Rp
6,46 triliun) per tahun. Nilai pasar mesin pencari (search engine) jika
dipajaki seluruhnya akan Rp 1,81 triliun, dan Google sendiri menanggung Rp
720 miliar atau 39,76 persen.
Porsi Google yang mencapai sepertiga di Indonesia tentu
saja masuk akal karena saat ini dari 17 mesin pencari yang beroperasi di
Indonesia, Google nyata-nyata sangat dominan. Hampir semua internet user di
Indonesia pasti selalu menggunakan Google sebagai default mesin pencari dan
porsinya sangat yakin di atas sepertiga di negeri ini. Apa pun pesan iklan
yang tampil dalam Google atau terlintas tentu saja menjadi keuntungan Google
dan amat sangat yakin nilai ekonomi mesin pencari sebesar Rp 1,81 triliun
mayoritas dikuasai Google.
Argumentasi lainnya, dari tujuh raksasa bisnis
penghindar pajak di dunia ini, empat adalah bisnis informasi teknologi, yaitu
Google, Apple, Amazon, dan Microsoft (www.fortune.com). Google lagi-lagi
menjadi jawara di seluruh dunia, dikejar di Irlandia, Amerika Serikat, Eropa,
Asia, dan kini di Indonesia.
Menutup Google
Menghadapi Google ini, pemerintah memang dalam
situasi dilematis yang sangat berat. Google saat ini ibarat sudah menjadi
guru utama setiap murid dan mahasiswa yang bisa ditanya 24 jam, menjadi
rujukan profesional, penyedia data yang berlimpah, dan bahkan memberikan
akses secara gratis jika pengguna ingin memiliki akun e-mail
Google.
Bahkan,
sebuah korporasi Indonesia harus membayar sangat mahal dengan biaya
pemeliharaan yang besar jika ingin memiliki mailing-list sendiri agar tidak gratisan
menggantungkan kepada mesin pencari seperti Google. Menyelesaikan
masalah pajak dengan menutup Google di Indonesia tentu saja
kemustahilan. Jalan terbaik adalah melalui meja perundingan dengan kepala
dingin, karena rakyat Indonesia mendapatkan manfaat menggunakan informasi
juga karena operasional Google dibiayai dari iklan-iklan
yang diperolehnya.
Google pun
saat ini dituntut asas compliance-nya dengan
tanpa terkecuali. Sebagai badan usaha tetap (BUT) yang beroperasi di
Indonesia, pemenuhan asas-asas berbisnis yang sehat sesuai dengan UU adalah
bentuk compliance yang nyata. Salah satunya
adalah melaporkan transaksi keuangannya, penghasilan bersihnya, dan kepatuhan
membayar pajaknya.
Seluruh
korporasi yang menjalankan bisnisnya di Indonesia pun memandang bahwa Google tidak memiliki hak-hak privilege dalam hal memanipulasi laporan
keuangan agar menghindari pembayaran pajak. Alangkah sangat tidak adilnya
pemerintah Indonesia jika Google dibiarkan tidak disanksi
karena alpa membayar pajak, sedangkan yang lain dikejar sampai lubang semut
agar membayar pajak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar