Rohingya,
Indonesia, dan Inklusi Sosial
Andi Faisal Bakti ; Guru
Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Dekan FIKOM Universitas Pancasila;
Pengurus Pusat ICMI
|
KORAN SINDO, 22 Desember
2016
Tragedi kemanusiaan Rohingya hingga kini masih
menjadi sorotan dunia. Berbagai tuntutan dari berbagai pihak agar Pemerintah
Myanmar segera mengatasi diskriminasi terhadap etnis Rohingya masih belum
direspons dengan tindakan proaktif, terutama mendorong ke arah perdamaian dan
penyelesaian konflik.
Aung San Suu Kyi, aktivis prodemokrasi Myanmar
dan peraih nobel perdamaian, yang kini menjadi penasihat negara (setara
perdana menteri), terkesan ambigu terhadap permasalahan ini. Suu Kyi,
sebagaimana dilansir The Guardian (3/12), malah menuding dunia internasional
sebagai pihak yang semakin memicu dan memperparah isu Rohingya. Sebagai
seorang pejuang demokrasi, Suu Kyi diharapkan mampu mengampanyekan demokrasi
inklusif di Myanmar guna mengakomodasi beragam kelompok tanpa membedakan
latar belakang.
Namun, berbagai kalangan menyayangkan sikap
Suu Kyi yang kurang demokratis dalam isu ini. Bahkan tidak sedikit kalangan
mengusulkan agar nobel yang pernah diberikan kepadanya dicabut kembali karena
dianggap tidak sejalan dengan makna nobel yang sejatinya menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian.
Eksklusi Sosial
Warga muslim Rohingnya merupakan kaum
minoritas di negara bagian Rakhine. Jumlah mereka hanya sejuta dari sekitar
50 juta lebih penduduk Myanmar. Kendati minoritas, etnis Rohingya kerap
dianggap sebagai kompetitor yang mengancam eksistensi warga mayoritas Rakhine.
Akibat itu, di antara dua kelompok ini kerap terjadi gesekan dan tak jarang
menimbulkan konflik bersenjata.
Kondisi ini yang kian memperburuk kualitas
hidup warga Rohingya serta meningkatkan pelanggaran hak-hak sosial-politik
mereka. Sangat disayangkan Pemerintah Myanmar yang semestinya menjadi
penengah terkait polemik ini justru terkesan tidak mempunyai political will
guna mendorong rekonsiliasi.
Yang terjadi, Pemerintah Myanmar tebang pilih
mendukung kaum fundamentalis setempat dan kelompok mayoritas Rakhine yang
beragama Buddha dengan tujuan menjaga kepentingannya di kawasan yang kaya
sumber daya alam itu. Dalam konteks ini, Pemerintah Myanmar defisit kehendak
dalam menjembatani perdamaian sehingga menimbulkan eksklusi sosial terhadap
warga negaranya.
Mengacu pandangan Iris Marion Young (1991)
dalam karyanya, Differenceasa Resource of Democratic Communication,
kompleksitas relasional yang dominatif sebenarnya dapat dicairkan dengan
proses komunikatif. Artinya, para agensi yang berada pada posisisub-alter
dapat saling membangun dialog dari proses eksklusi sosial yang dihadapi oleh
tiap-tiap kelompok. Namun, hal itu tidak diindahkan oleh Pemerintah Myanmar.
Pelajaran bagi
Indonesia
Sebagai bangsa majemuk, ada pelajaran yang
dapat dipetik Indonesia dari tragedi Rohingya. Kendati pembelahan sosial di
Indonesia lebih kompleks dibanding dengan Myanmar, kita patut bersyukur
kondisi bangsa ini masih lebih stabil dalam hal integrasi walaupun terakhir
belakangan kerap terjadi persinggungan di antara anak bangsa. Untungnya, hal
itu tidak menjadi lebar dan mengarah pada disintegrasi bangsa.
Dalam rangka menjaga dan merawat Indonesia
agar tetap lestari diperlukan upaya dalam memperkuat inklusi sosial. Inklusi
sosial merupakan istilah untuk menunjukkan sikap yang terbuka serta
menghargai keragaman, membuka akses yang setara bagi kaum minoritas, dan
integrasi sosial bagi kelompok yang termarginalkan.
Mereka yang mendorong inklusi meyakini bahwa
semua orang adalah bagian berharga dalam kebersamaan masyarakat, apa pun
perbedaan mereka. Dalam konteks kebangsaan, ini berarti bahwa semua warga
negara, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, suku, budaya, bahasa,
agama, maupun gender, mesti mendapat perlakuan yang setara. Antonim dari
inklusi adalah eksklusi yang bermakna penolakan, kelemahan kehendak, dan
kerap mengarah pada kebencian.
Contoh dalam hal ini adalah pemarginalan etnis
Rohingya. Sikap eksklusi sosial seperti ini jelas dapat menutup kesempatan
bagi seseorang maupun kelompok dalam memperoleh kesamaan hak. Mereka yang
terpinggirkan dan tersisihkan kerap kali tidak tersentuh. Jika tersentuh,
mereka tidak diperhitungkan dan dilayani. Realitas ini kerap terjadi di
wilayah sosial-keagamaan, ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan
berbagai aspek penting kehidupan lainnya.
Pelanggengan sikap eksklusivitas ini berdampak
pada semakin terpinggirkannya kaum minoritas yang sejatinya sudah tidak berdaya.
Melalui upaya inklusi sosial, diharapkan dapat merestorasi individu maupun
kelompok yang tereksklusi agar mereka memperoleh kedudukan atau posisi setara
dengan kelompok mayoritas, yang akhirnya dapat terjadi penerimaan
komprehensif sebagai anggota masyarakat dan warga negara.
Tidak dapat dimungkiri bahwa keanekaragaman
suku, agama, ras, dan antargolongan di Indonesia bagai dua mata pedang. Di
satu sisi menjadi kekayaan heritage bangsa. Di sisi lain, berpotensi menjadi
penyulut konflik sosial. Karena itu, sebagai penyejuknya, pembangunan bangsa
terlebih dahulu mesti diletakkan dalam bingkai keadilan sosial dan
perdamaian.
Pada saat bersamaan, untuk merevitalisasi
inklusi sosial, diperlukan ada konsolidasi, kerja sama, dan kemitraan dari
berbagai instansi negara, ormas, serta lembaga yang bergerak dalam gerakan
inklusi sosial. Upaya komunikatif ini dibutuhkan untuk menciptakan relasi
yang hangat, saling menerima keaneka ragaman, dan saling menghargai
perbedaan.
Sebagai bangsa majemuk yang mendasarkan pada
Pancasila, seluruh elemen masyarakat mesti memperoleh perlakuan dan
kesempatan yang sama, terlepas dari latar belakangnya. Karena itu, jalan
inklusi sosial mesti terus diperkuat guna menciptakan kehidupan sosial yang
beradab dan bermartabat sehingga dapat dijadikan modal utam adalam membangun
masyarakat yang lebih berkualitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar