Partai
Politik dan Kebangsaan Indonesia
Ramlan Surbakti ; Guru
Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
20 Desember 2016
PENGHUJUNG 2016 ditandai dua peristiwa besar
di Tanah Air. Pertama, fundamen demokrasi Indonesia diuji, yaitu Kebangsaan
Indonesia dan Negara Hukum (Tempo, edisi akhir November 2016). Kedua, Panitia
Khusus DPR untuk RUU Penyelenggaraan Pemilu sudah mulai melaksanakan tugas
bersama utusan pemerintah. Kedua peristiwa ini harus dilihat sebagai hal yang
berkaitan. Konkretnya, partai politik/fraksi yang ada di DPR harus melihat
pembahasan RUU Pemilu tersebut juga relevan dengan peristiwa pertama
tersebut.
Berdasarkan UU tentang Partai Politik, salah
satu tujuan umum partai politik ialah menjaga dan memelihara keutuhan NKRI.
UU yang sama juga menetapkan partai politik sebagai sarana penciptaan iklim
yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan masyarakat. Kebangsaan dan negara hukum merupakan fondasi
sistem politik demokrasi. Demokrasi di mana pun di dunia ini tidak akan dapat
tumbuh, berkembang, dan bertahan (sustainable) bila tidak disusun dan
ditopang kebangsaan yang kuat di antara para warga, dan bila tidak dibangun
dan dilaksanakan berdasarkan negara hukum (rule of law).
Karena sangat berkaitan dengan fungsi partai
politik, hanya persoalan kebangsaan yang akan dibahas. Demokrasi tanpa dasar
kebangsaan yang kuat di antara para warganya akan selalu berakhir dengan
konflik berkepanjangan, dan proses politik yang berlangsung tidak pernah
mencapai konsensus dan kesepakatan. Identitas manusia yang berkaitan dengan
jenis kelamin, suku bangsa, dan ras merupakan sesuatu yang diperoleh bukan
karena pilihan, melainkan sesuatu yang diwarisi sejak lahir (identitas yang
bersifat given).
Identitas agama pada dasarnya pilihan, tetapi
sebagian besar warga mewarisi identitas agama dari orangtua. Dalam bahasa
agama, perbedaan identitas jenis kelamin, suku bangsa, ras, dan agama
merupakan kehendak Allah. Setiap warga negara memiliki kebebasan
mengekspresikan identitas tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu,
perbedaan tersebut akan memperkaya setiap orang. Perbedaan itu merupakan
keindahan bagaikan pelangi, dan perbedaan itu merupakan kekuatan bila
terdapat sikap saling menghargai di antara para warga negara.
Karena perbedaan identitas merupakan anugerah
Ilahi, hak untuk hidup sesuai dengan identitas itu bukan merupakan pemberian
golongan, bukan berasal dari belas kasih suatu kelompok, dan bukan pula
pemberian negara. Negara mengakui atau menjamin hak hidup manusia/warga
negara sesuai dengan identitas kultural tersebut. Hal ini dapat dibaca secara
jelas dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945. Negara tidak hanya
mengakui dan menjamin, tetapi juga melindungi semua unsur bangsa dan seluruh
wilayah bangsa tersebut. Hal itu sejalan dengan tujuan negara RI, yaitu
'melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia'.
Karena itu, sikap saling menghargai perbedaan
di antara warga negara yang berbeda identitas tersebut merupakan suatu
keharusan. Karena perbedaan identitas itu anugerah Ilahi, status mereka
(manusia/warga negara) yang berbeda juga setara. Di antara warga negara
terdapat perbedaan identitas, tetapi yang satu tidak lebih tinggi daripada
orang lain. Pria berbeda dari perempuan, tetapi kedudukan perempuan setara
dengan pria. Warga negara yang bersuku bangsa Jawa berbeda dengan warga
negara bersuku-bangsa Batak, tetapi sebagai warga negara Indonesia, mereka
mempunyai kedudukan setara.
Warga negara yang beragama Kristen berbeda
dengan warga negara yang beragama Islam, tetapi sebagai warga negara
Indonesia mereka mempunyai kedudukan yang setara. "Segala warga negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan," demikian bunyi
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Para warga negara tidak hanya berbeda identitas
kultural dengan kedudukan yang setara. Yang tidak kalah penting ialah para
warga negara yang berbeda tersebut merupakan saudara sebangsa dan setanah
air. Karena mereka merupakan saudara sebangsa dan setanah air, para warga
negara yang berbeda dengan senang hati bekerja sama, saling menolong, dan
bersedia berkorban demi kepentingan bersama.
Pajak yang bersifat progresif (mereka yang
berpenghasilan lebih tinggi membayar pajak lebih besar daripada mereka yang
berpenghasilan lebih rendah), ataupun, Jaminan Sosial Kesehatan (yang sehat
membantu yang sakit, yang berpenghasilan lebih tinggi membayar premi lebih
tinggi daripada warga berpenghasilan lebih rendah, sehingga premi warga
miskin ditanggung negara) merupakan wujud sikap dan tindakan saudara sebangsa
dan setanah air tersebut.
Singkat kata sikap dan tindakan berkebangsaan
Indonesia terwujud dalam bentuk menghormati perbedaan di antara sesama warga
negara. Memperlakukan sesama warga negara secara setara dan memperlakukan
sesama warga negara sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Partai politik
dapat melaksanakan tugas memelihara persatuan dan kesatuan bangsa
sekurang-kurangnya melalui tiga mekanisme berikut. Pertama, program
pendidikan politik bagi warga negara pada umumnya dan bagi para anggota pada
khususnya.
Salah satu tujuan pendidikan politik ialah
setiap warga negara, khususnya anggota partai, melaksanakan sikap dan
tindakan berkebangsaan tersebut. Kedua, menjadikan partai politik sebagai
wadah partisipasi politik warga negara pada umumnya, dan para anggota partai
pada khususnya. Keterlibatan dalam berbagai bentuk partisipasi politik
merupakan pelaksanaan sikap dan tindakan berkebangsaan tersebut. Ketiga,
melalui program kaderisasi berjenjang mulai tingkat dasar dilanjutkan tingkat
madia dan tingkat tinggi. Ketika terpilih menduduki jabatan politik dan
pemerintahan, para kader partai akan dapat melaksanakan tugas dan kewenangan
berdasarkan sikap dan tindakan kebangsaan tersebut. Karena para anggota
setiap partai berasal dari berbagai latar belakang (jenis kelamin, suku
bangsa, ras ataupun agama), sikap dan perilaku kebangsaan Indonesia dapat
dipraktikkan pada pelaksanaan ketiga mekanisme tersebut.
RUU pemilu dan anggota
partai
Partai politik akan dapat berperan dalam
pendidikan politik kebangsaan apabila memelihara interaksi dengan warga
negara, khususnya anggota partai. Partai Politik setidak-tidaknya dapat
berinteraksi dengan anggota partai melalui tiga kesempatan dalam RUU tentang
Penyelenggaraan Pemilu. Pertama, ketika partai politik berupaya memenuhi
persyaratan menjadi peserta pemilu. Salah satu persyaratan yang harus
dipenuhi ialah memiliki anggota sekurang-kurangnya sebanyak 1.000 orang untuk
setiap kabupaten/kota atau seperseribu dari jumlah penduduk suatu
kabupaten/kota. Bukti keanggotaan suatu partai ialah memiliki kartu tanda
anggota.
Mengajak warga negara menjadi anggota partai
politik sudah barang tentu memerlukan proses dialog tentang partai politik
tersebut. Kedua, ketika setiap partai politik peserta pemilu menerima daftar
pemilih sementara (DPS) dari KPU dalam bentuk cakram. Partai politik dapat
menggunakan DPS tersebut untuk mengecek apakah anggota partai dan simpatisan
sudah terdaftar sebagai pemilih. Interaksi ini tidak hanya berisi pengecekan,
tetapi juga menunjukkan kepedulian kepada anggota partai. Ketiga, ketika
melakukan kampanye suatu partai politik tidak hanya menjadikan anggota partai
atau simpatisan menjadi peserta kampanye, tetapi juga dapat mengajak anggota
partai menjadi pelaksana kampanye, seperti menyebar-luaskan alat peraga
kampanye, dan mengajak pemilih lain untuk memberikan suara kepada suatu
partai.
Partai politik belum menggunakan ketiga kesempatan
berinteraksi tersebut. Bagi partai politik, jumlah anggota sebagai
persyaratan menjadi peserta pemilu tidak lebih sebagai persyaratan belaka.
Karena itu, cara apa pun ditempuh untuk mengajak warga negara menjadi anggota
partai. Karena itu, tidak mengherankan bila partai politik tidak memelihara
hubungan dengan anggota yang sudah memiliki KTA tersebut. Hanya satu atau dua
partai yang menggunakan DPS baik untuk memastikan anggota dan simpatisan
sudah terdaftar sebagai pemilih maupun sebagai kesempatan berinteraksi dengan
anggota.
Partai politik juga jarang mengajak anggota
untuk secara aktif terlibat dalam kampanye karena peran partai politik dalam
kampanye sudah digantikan calon. Kesempatan terpenting tetapi belum diadopsi
dalam RUU penyelenggaraan pemilu ialah proses pencalonan. Proses pencalonan
anggota DPR dan DPRD dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu hanya disebutkan
bersifat 'terbuka dan demokratis'. Akan tetapi, bagaimana proses pencalonan
yang terbuka dan demokratis tidak disebutkan, tetapi diserahkan kepada AD dan
ART partai masing-masing.
AD dan ART partai politik di Indonesia tidak
menempatkan anggota sebagai pemegang kedaulatan partai karena sudah dialihkan
kepada pengurus. Akibatnya, partai tidak berinteraksi dengan para anggota
partai dalam menyeleksi dan menetapkan daftar calon anggota DPR dan DPRD.
Agar partai politik dapat berinteraksi dengan anggota, proses pencalonan
anggota DPR dan DPRD seharusnya melibatkan para anggota partai. Singkat kata,
partai politik tidak mungkin berperan dalam memelihara sikap dan tindakan
kebangsaan pada anggotanya bila partai politik tidak pernah berinteraksi
dengan para anggota.
Empat kesempatan berinteraksi dengan para
anggota disediakan RUU Pemilu. UU tentang Partai Politik mewajibkan partai
politik: melakukan pendidikan politik bagi warga negara dan anggota partai,
sebagai wadah partisipasi politik para anggota, dan melakukan kaderisasi
kepada para anggota. Partai Politik akan dapat melaksanakan semua fungsinya
bila mampu mengajak dan melibatkan para anggota dalam berbagai kegiatan
partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar