Lahirnya
‘Pengantin’ Perempuan
Noor Huda Ismail ; Sutradara
Film Jihad Selfie
|
INDONESIANA, 19 Desember
2016
"Pengantin" merupakan sebutan bagi
mereka yang siap melakukan bunuh diri dalam aksi-aksi terorisme. Jamaknya,
para pengantin adalah laki-laki. Namun kali ini muncul fenomena pengantin
perempuan. Dia bernama Dian Yulia Novi.
Dalam wawancara dengan TVOne, calon pengantin
perempuan pertama dalam sejarah terorisme di Indonesia ini mengatakan bahwa
dirinya sedang menempuh jalan Al Ghuraba bahasa Arab yang berarti jalannya
"orang-orang yang asing". Dian mencomot secara serampangan hadis
Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: "Sesungguhnya Islam dimulai dalam
keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah
Al Ghuraba, orang-orang yang asing." (HR Muslim).
Bagaimana bentuk ke-"asing"-an
tersebut? Apa dampak dari perilaku "asing" Dian dan kelompoknya ini
terhadap kehidupan kita berbangsa?
Menjadi perempuan "asing" seperti
Dian itu tidak terjadi tiba-tiba. Simone de Beauvoir pernah berujar:
"Perempuan itu dibikin, bukan dilahirkan." Pemikir feminis Prancis
ini tidak sedang bercanda. Ia meyakini bahwa menjadi seorang perempuan itu
bukanlah kodrat alami, melainkan melalui proses sosialisasi dalam sebuah dunia
yang diatur oleh para lelaki.
Bagi Simone, perilaku perempuan, seperti
"lemah-lembut", itu bukan bawaan biologis. Mereka mendapatkan
sosialisasi sejak kecil oleh orang tua, teman, dan lingkungan sekitarnya
bahwa perempuan itu diharapkan bersikap "lemah-lembut". Lalu,
apakah hal ini berarti perempuan mempunyai sifat lebih
"lemah-lembut" dibanding lelaki?
Dalam kajian keamanan internasional,
pertanyaan di atas sering menjadi bahan perdebatan, terutama ketika mereka
harus menjelaskan fenomena para politikus perempuan yang tidak bersikap
lemah-lembut seperti yang diharapkan dalam imajinasi dunia lelaki. Misalnya,
pada 1982, Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher memilih berperang
daripada berunding dengan Argentina untuk mempertahankan salah satu wilayah
Inggris: kepulauan Falklands. Ini sangat kontras dengan sosok Dalai Lama atau
Mahatma Gandhi. Dalai Lama selalu mengatakan, "Welas asih itu bukan
masalah agama. Ia adalah masalah kemanusiaan." Adapun Gandhi menekankan
sikap ahimsa, yaitu gerakan menolak penggunaan kekerasan untuk mencapai
tujuan politik.
Karena itu, membaca fenomena radikalisme yang
dialami Dian ini seharusnyalah dibaca tidak hanya dengan kacamata radikalisme
agama, melainkan sebagai sebuah fenomena tumpulnya rasa kemanusiaan.
Ketumpulan ini muncul ketika seseorang merasa berhak menghukum orang lain
dengan kekerasan hanya karena, menurut Dian, dhohir (penampilan) mereka
berbeda dengan dirinya. Lebih mengerikan lagi jika kemudian mereka beraksi
atas nama Tuhan. "Ini bukan aksi putus asa. Tapi untuk mengharapkan rida
Allah," Dian menjelaskan.
Pilihan sikap Dian yang "asing" itu
bukan hasil cuci otak, yang sering disebut oleh aparat keamanan. Sikap ini
lahir dari sebuah proses panjang dan kompleks. Barangkali proses ini berawal
ketika ia bekerja di Singapura dan Taiwan sebagai tenaga kerja wanita.
Sebagai anak perempuan pertama, Dian mengambil
peran "lelaki" yang seharusnya mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Menjadi TKW itu bukan pilihan yang mudah. Namun ia
pekerja yang rajin dan rela tidak pernah ambil cuti demi gaji yang lebih
besar.
Untuk mengisi waktu senggangnya, Dian mulai
bermain Facebook, seperti rekan-rekannya yang lain. Banjir kampanye radikal
di media sosial membuat Dian pun larut membaca-baca status para
"mujahidin". Status-status ini kemudian bertaut dengan blog Millah
Ibrahim karya Aman Abdurrahman, pemimpin ISIS Indonesia yang sekarang
mendekam di penjara Nusakambangan.
Karena aktif mengunjungi blog ini, Dian merasa
seolah-olah menjadi bagian dari kelompok Aman meskipun tidak pernah bertemu
dengannya. Perasaan "diterima" oleh kelompok ini semakin kuat
ketika dilanjutkan dengan komunikasi melalui aplikasi Telegram.
Bergabungnya Dian ke dalam kelompok Telegram
adalah bukti semakin diterimanya dia ke dalam kelompok itu. Pada fase inilah
Dian bersosialisasi secara intensif ihwal cara beragama yang
"asing" kelompok itu.
Salah satu contoh "keasingan" mereka
adalah cara menikah. Mereka menikah tidak seperti layaknya pernikahan
masyarakat umum atau bahkan di kalangan aktivis Islam, yang biasanya diawali
dengan tahapan ta’aruf (perkenalan), minimal lewat foto. Bagi mereka,
kehidupan pernikahan yang mawaddah wa rohmah (penuh cinta dan keberkahan) itu
akan mereka dapatkan di akhirat kelak ketika aksi mereka berhasil.
Merasa bahwa kegiatan mereka itu bersifat
amniyah (penuh kerahasiaan) dan takut kalau orang tua Dian tidak setuju
dengan pernikahan cara "asing" ini, Dian menyerahkan seluruh
prosesi pernikahan ini kepada calon suami, termasuk memilih wali pernikahan,
yang dalam hal ini memakai "wali hakim" atau wali yang ditunjuk.
Ironisnya, wali pernikahan mereka adalah seorang narapidana terorisme
pendukung ISIS yang mendekam di penjara Madiun.
Melihat fenomena ini, tidak ada pilihan lain
bagi negara untuk melihat pentingnya peran perempuan dalam penanganan
terorisme ini. Tidak hanya mereka ini sebagai korban, tapi juga sebagai
potensi pelaku.
Rawannya penggunaan media sosial bagi TKW kita
yang berada di luar negeri juga hal yang harus disikapi serius. Minimnya
pengetahuan dasar agama, seperti penguasaan bahasa Arab, tafsir, hadis dan
sejarah Islam, membuat mereka mudah terpesona oleh pesan-pesan agama yang
cenderung melihat dunia ini secara hitam-putih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar