Jembatan
Dialogis Kristen Islam
Andreas Kristianto ; Aktivis
Gereja Kristen Indonesia;
Koordinator jaringan GUSDURian
Jombang
|
JAWA POS, 25 Desember
2016
SAYA
harus mengakui dengan jujur bahwa polemik antara agama Kristen dan Islam berlangsung
sengit. Entah dalam ranah politik, sosiologis, maupun etis publik. Salah satu
penyebabnya bukan alasan superfisial, berkaitan dengan pelarangan memakai
atribut Natal bagi orang Islam, topi santaclaus dan sejenisnya, tetapi lebih
ke arah fundamental doktrinal/ajaran.
Memang
harus diakui, ada perbedaan konseptual teologis tentang Isa/Yesus itu
sendiri. Karena itu, memaksakan perbedaan, baik secara epistemologis maupun
ontologis, hanya meruncingkan konflik yang ujungnya adalah pertikaian antar
pemeluk agama.
Saya
melihat bahwa teologia Islam sepanjang sejarah mempersoalkan jati diri Yesus
dalam bingkai ajaran Trinitas dan pokok ketuhanan-Nya. Sebaliknya, teologia
Kristen berusaha menjawab persoalan tersebut yang pada dasarnya adalah sikap
apologetik. Namun, sampai sekarang hal tersebut tidak menemukan titik temu.
Kontestasi
teologis yang diwariskan sampai detik ini oleh konsili Nicea (325 M) adalah
persoalan dogma yang lahir dari situasi dan kondisi. Kami harus jujur bahwa
warisan historis teologis berkaitan dengan Yesus adalah Tuhan dan sekaligus
manusia adalah jantung iman yang tidak bisa dibantah dan dimungkiri. Kami
menolak itu, berarti menolak keberadaan-Nya. Oleh sebab itu, pokok iman itu
menjadi fundamental bagi kami.
Yang
mencerahkan adalah Jacques Duquis dalam bukunya, Toward a Christian Theology
of Religious Pluralism, mengungkapkan demikian: Peristiwa Yesus Kristus
adalah peristiwa partikular dan sekaligus universal (Duquis, 2000: 15). Dia
tidak menyingkirkan tradisi dan agama-agama yang berbeda. Baginya, Kristus
juga hadir dalam perjumpaan agama-agama lain. Kata kuncinya adalah
’’konstitutif relasional’’. Bukan ’’absolut’’ dan ’’relatif’’.
Di
tengah relasi lintas iman, kebenaran relasional menjadi penting. Dialog
dilihat sebagai kebutuhan mendasar. Rujukannya adalah pluralisme dialogal
bukan pluralisme indiferen yang menempatkan semua agama itu sama saja.
Pluralisme dialogal membawa umat beragama masuk integritas yang terbuka.
Integritas Kristen ditentukan oleh Injil Kristus. Namun, kebenaran itu
berhubungan dengan tradisi dan kebenaran agama lain.
Pandangan Islam tentang
Yesus
Isu
tentang jati diri Yesus telah menjadi topik hangat sepanjang masa antara
Kristen dan Islam. Dalam Alquran, terdapat 15 surat dan 93 ayat yang di
dalamnya berkisah cerita tentang Yesus dapat ditemukan. Dalam Islam, Yesus
diakui sebagai nabi utama, dikenal dengan populer, dan masuk kategori
istimewa. Disejajarkan dengan Nuh, Ibrahim, Musa, dan Muhammad.
Mengapa
istimewa? Sebab, perjuangannya menegakkan doktrin monoteisme/ tauhid. Bahkan,
disebut sebagai UluI Azmi, yang artinya memiliki keteguhan dalam membawa
pesan profetik dan kerasulan. Citra Yesus dalam Islam semata-mata tidak
dibentuk oleh Alquran dan hadis, tetapi melalui proses pelan-pelan yang
memakan waktu panjang di tengah perjumpaan langsung dan daerah yang mereka
taklukkan, seperti Syiam, Iraq, Mesir, dan daerah Maghribi. (Rambitan, 2003:
40-41).
Yesus
yang disebut Isa tidak dikisahkan secara historis sebagaimana dilakukan oleh
Alkitab, tetapi ditempatkan dalam bingkai polemik Muhammad dengan orang
Yahudi dan Kristen (Rambitan, 2003: 41). Itu yang menjelaskan mengapa
sikap-sikap antidialog berkembang di kalangan Islam. Berbeda dengan kalangan
mistik Islam, yang cenderung mengapresiasi agama Kristen di tengah konteks
pietisme dan tradisi pengamal tasawwuf.
Di
dalam surat 5:17 dan 72 bicara tentang kesesatan orang-orang Yahudi dan
Kristen yang mengidentifikasi Yesus sebagai Allah. Yesus dimengerti sebagai
manusia dengan status yang istimewa. Tetapi, Dia tidak bersifat Ilahi. Yesus
dipandang sebagai Nabi Allah, seorang utusan Allah yang membawa firman,
perintah, dan hukum ke dalam dunia. Yesus juga dipandang sebagai hamba Allah.
Orang yang dipilih Allah untuk mengerjakan karya-Nya ke dalam dunia. Sebagai
hamba Allah, Yesus ada dalam posisi sangat dekat dengan Allah.
Isu
tentang ketuhanan Yesus memang menjadi polemik dan bersifat apologetik.
Kebanyakan intepretasi Alquran merujuk bahwa Yesus bukan Ilahi dan Yesus
tidak pernah mati di kayu salib. Itu semua yang mejelaskan mengapa tradisi
Natal yang merupakan peristiwa inkarnasi, Allah menjadi manusia, ditolak oleh
kalangan Islam. Lalu, bagaimana masa depan dialog teologis antara Islam dan
Kristen? Apakah mengalami kebuntuan?
Paradigma
Mediasi Relasional
Kekristenan
di Indonesia memang unik jika dibandingkan dengan negara Eropa dan Amerika.
Mengapa unik karena Kristen hidup berdampingan dengan komunitas Islam. Yang
menarik adalah bagaimana iman kita dan hidup belajar dalam memperkaya satu
dengan yang lain. Istilah oleh Pannikar adalah dialog intrareligius.
Jalan
yang harus ditempuh adalah kita harus mulai ’’menyeberang’’ ke agama lain
untuk melihat tradisi dengan pandangan baru. Meskipun pemahaman Islam tentang
Isa dan polemiknya dengan Trinitas dan ketuhanan begitu pelik, tidak mustahil
bisa ada titik temu di dalamnya.
Salah
satu kuncinya adalah paradigma mediasi antara Allah dan manusia. Yesus
menjadi mediator antara Allah dan manusia. Yang memiliki kualitas manusiawi
dan sekaligus Ilahi. Prof Banawiratma mengatakan, ’’Allah yang diimani oleh
umat Kristen sebagai Bapa dan Ibu adalah sejajar dengan yang diimani umat
Islam sebagai Allah Yang Mahabesar, Mahakuasa, Allah Maharahim, Allah
Pengasih dan Penyayang. (Banawiratma, 2000: 82).
Banawiratma
menjelaskan bahwa dalam iman Kristen dan iman Islam, mediator diterima
sebagai wahyu atau firman Allah. Umat Kristen mengimani Yesus sebagai wahyu
dan firman Allah seperti halnya di dalam Injil Yohanes, pada mulanya adalah
Firman. Dan Firman itu telah menjadi daging. Firman itu merujuk kepada Yesus.
Sedangkan umat Islam mengimani Alquran sebagai wahyu dan firman Allah. Bagi
Banawiratma, Yesus disejajarkan dengan Alquran dalam Islam, bukan dengan Nabi
Isa.
Di
dalam tradisi Islam, ketika berdoa, orang mengucapkan ayat-ayat yang
hakikatnya adalah firman Allah. Ketika dinaikkan, ayat-ayat tersebut menjadi
bahasa manusia karena diucapkan oleh manusia. Di sini Alquran menjadi
mediator antara Allah dan manusia. Begitu juga halnya dengan Yesus yang
menjadi mediator antara Allah dan manusia. Titik tekannya adalah kalimatullah
yang bersifat mulia.
Tradisi
Kristen tidak pernah berbicara bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus sebagai
pengajaran triteisme, tetapi justru iman akan Allah Yang Esa (tauhid) dengan
mengikuti jalan Kristus dan dalam pribadi Roh Kudus yang bekerja dalam
manusia dan dunia.
Dengan
memakai paradigma mediator yang relasional, Bapa-Yesus/Anak-Roh Kudus dapat
disejajarkan dengan Islam: Allah – Alauran – Daya kekuatan Allah yang bekerja
dalam manusia dan dunia. (Banawiratma, 2000: 84). Jadi, hubungannya adalah
manusiawi sekaligus Ilahi.
Dengan
rumusan yang demikian, ada titik temu untuk memahami Yesus dan bingkai
trinitas dan ketuhanan-Nya. Karena di zaman sekarang, teologi yang bersifat
monokultur, sudah berakhir. Yang ada adalah kesadaran multikultur agar
kebudayaan lokal bisa dihargai dan teologia menjadi lebih ’’mendarat’’.
Saya
pribadi belajar dari Prof Banawiratma untuk mengajak setiap kaum mukmin/ umat
beriman untuk berajak dari tempat duduknya, melihat dan belajar dari agama
yang berbeda. Justru di situlah, kita menemukan insigh baru. Ada open ended
khristologi yang terbuka untuk semangat inter-religious.
Bagi
saya, kristologi tidak hanya berurusan dengan kebagaimanaan (konsep dan
deskripsi), tetapi sudah saatnya kristologi juga menekankan penjelasan yang
relasional.
Yesus
disejajarkan dengan Alquran, apakah tidak mereduksi kepercayaan iman Kristen?
Bagi saya, tidak.... Selama itu membangun dan merayakan kehidupan. Mengapa
tidak!!
Akhir
kata, saya salut dengan kawan-kawan lintas iman yang beranjangsana melintas
batas untuk hadir di dalam perayaan Natal tahun ini. Semoga, persaudaraan
yang tulus terbangun sepanjang hayat. Selamat Natal, bagi yang merayakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar