Menjaga
Harapan Jelang 2017
Dewi Indriastuti ; Wartawan
KOMPAS
|
KOMPAS, 21 Desember
2016
Menjelang akhir 2016, kondisi perekonomian
global masih tak menentu. Kondisi ini diperkirakan masih berlanjut pada 2017.
Normal yang baru, yang sejak tahun lalu diperkirakan mulai terbentuk, masih
harus berhadapan dan menyesuaikan diri dengan sejumlah faktor.
Faktor itu di antaranya kondisi geopolitik,
yang memengaruhi kebijakan suatu negara dan antarnegara. Faktor lain yang
muncul belakangan, yang diperkirakan memengaruhi dunia-tak hanya dari sisi
ekonomi, tetapi juga politik-adalah kemenangan Donald Trump pada pemilihan
presiden Amerika Serikat. Kemenangan Trump-berikut kebijakannya setelah
menjadi presiden AS-akan memengaruhi perekonomian dunia. Sebab, tak bisa
dimungkiri, AS masih berperan dalam memengaruhi kondisi perekonomian global
karena menguasai sekitar 20 persen ekonomi dunia.
Salah satu contoh, keinginan Trump untuk
memproteksi negaranya dalam dunia perdagangan akan berdampak terhadap peta perdagangan
dunia. Tak terkecuali Indonesia. Secara langsung, sekitar 12 persen dari
total ekspor Indonesia adalah ke AS. Jika AS memproteksi diri, ekspor
Indonesia dapat terganggu.
Secara tak langsung Indonesia akan mengalami
dampak dari ekspor Tiongkok ke AS yang akan terganggu. Tiongkok akan
mengurangi impor sejumlah bahan dari Indonesia karena produksi berkurang.
Pengurangan produksi ini akibat pasar AS yang berkurang.
Pilihan lain, Indonesia jadi sasaran Tiongkok
memasarkan barang jika pasar di AS berkurang bagi Tiongkok. Jika Indonesia
menyerap produksi Tiongkok, konsekuensinya produksi industri barang konsumsi
di Tanah Air bisa berkurang. Konsekuensi lain, impor Indonesia dari Tiongkok
akan meningkat, yang akan membuat defisit neraca perdagangan Indonesia-Tiongkok
membesar.
Adapun langkah AS di bawah Trump, yang terkait
dengan pasar keuangan, juga bisa berdampak terhadap negara-negara dengan
pertumbuhan ekonomi tinggi atau emerging market. Dengan peran dollar AS dalam
transaksi perdagangan dan pasar keuangan dunia yang cukup besar serta suku
bunga AS yang diperkirakan akan meningkat, ada risiko dana investor masuk ke
AS. Sebab, investor memilih pasar keuangan yang menawarkan imbal hasil tinggi
dan stabil.
Jika hal ini terjadi, negara-negara yang selama
ini menjadi negara tujuan dana investor pasar uang dan pasar saham bisa
kehilangan dana tersebut. Namun, kekhawatiran ini bisa ditekan jika investor
yang ada merupakan investor jangka panjang, yang cenderung tinggal cukup lama
di pasar uang dan pasar saham suatu negara.
Kondisi perekonomian global ini disadari
sepenuhnya oleh pemerintah. Bahkan, Bank Indonesia dalam siaran pers Rapat
Dewan Gubernur BI pada 15 Desember 2016 menyebutkan, sejumlah risiko tetap
diwaspadai. Risiko ini, disebutkan BI, bersumber dari ketidakpastian ekonomi
dan keuangan global. Lebih khusus lagi, hal ini berkaitan dengan arah
kebijakan AS dan Tiongkok. Hal ini, tentu saja, tidak menafikan risiko dari
dalam negeri.
Jaga stabilitas
pertumbuhan
Sepanjang 2016, berbagai upaya dilakukan
Pemerintah Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga
stabilitas pertumbuhan. Melanjutkan upaya yang dilakukan sejak September
2015, pemerintah menerbitkan paket kebijakan ekonomi, yang hingga kini sudah
sebanyak 14 paket. Paket kebijakan itu ada di berbagai sektor dan bidang,
yang bertujuan memudahkan sektor dan bidang terkait.
Namun, paket kebijakan itu tidak serta-merta
bisa diterapkan. Ada paket kebijakan yang harus ditindaklanjuti lebih dulu
dengan aturan lain agar bisa dilaksanakan. Misalnya, aturan tentang harga gas
untuk industri, yang ternyata baru bisa diterapkan beberapa waktu lalu.
Padahal, paket kebijakan tentang harga gas itu sudah terbit sejak Oktober
2015. Artinya, perlu waktu lebih dari setahun untuk merealisasikan paket
kebijakan tentang gas itu di dunia industri.
Akan tetapi, kebijakan lain seperti upaya
meningkatkan substitusi impor belum kunjung berhasil. Substitusi impor
dimaksudkan untuk menekan impor bahan baku dan bahan penolong, yang selama
ini mendominasi impor Indonesia. Setidaknya, 70-75 persen impor Indonesia
setiap bulan berupa bahan baku dan bahan penolong.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),
impor Indonesia pada Januari-November 2016 sebesar 122,858 miliar dollar AS.
Dari jumlah itu, sebanyak 74,64 persen di antaranya berupa impor bahan baku
dan bahan penolong. Sisanya, berupa barang modal (16,37 persen) dan barang
konsumsi (8,99 persen).
Berdasarkan data BPS juga, impor Indonesia
pada Januari-November 2015 sebesar 130,617 miliar dollar AS. Dari jumlah itu,
porsi impor bahan baku dan bahan penolong sekitar 75,3 persen. Sementara
barang modal sekitar 17,22 persen dan barang konsumsi sekitar 7,48 persen.
Penurunan impor bahan baku dan bahan penolong
itu diduga bukan akibat substitusi, melainkan akibat industri di dalam negeri
yang sedang mengerem kegiatan produksinya. Hal ini antara lain diperkuat
kondisi pembiayaan di Indonesia, terutama kredit yang disalurkan perbankan,
melambat dibandingkan dengan 2015. Selain itu, impor barang konsumsi juga
meningkat. Jika barang konsumsi makin meningkat, diperkirakan akan menekan
produksi dalam negeri.
Terkait kebijakan, ada juga yang dilaksanakan
dan diterapkan dengan cukup cepat. Misalnya, kebijakan untuk meningkatkan
peran pariwisata sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi dan peran
serta masyarakat. Pemerintah memberikan bebas visa kunjungan bagi warga dari
169 negara ke Indonesia. Pemerintah juga menetapkan 10 destinasi wisata utama
di Indonesia untuk dikembangkan.
Pihak yang berkaitan dengan sektor pariwisata,
yakni Kementerian Pariwisata, meyakini bahwa kebijakan bebas visa itu mulai
terlihat dampaknya. Hal ini terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan
mancanegara (wisman) pada Januari-Oktober 2015 yang mencapai 9,4 juta
kunjungan. Jumlah ini meningkat 9,54 persen jika dibandingkan dengan periode
yang sama pada 2015. Diharapankan wisman tak sekadar berkunjung ke Indonesia,
tetapi juga tinggal cukup lama dan berbelanja di Indonesia. Sebab, industri
pariwisata juga diyakini menjadi pintu masuk devisa di Indonesia. Bahkan,
pada 2019, Indonesia menargetkan 20 juta wisman berkunjung ke Indonesia
dengan devisa 20 miliar dollar AS.
Memenangi persaingan
Di tengah kondisi perekonomian global yang
masih tak menentu, Indonesia harus bisa memenangi persaingan. Persaingan ini
tak hanya dalam kualitas produk yang dihasilkan Indonesia, tetapi juga dalam
menarik investor untuk datang ke Indonesia.
Dari sisi persaingan dan daya saing ini, beban
yang dihadapi Indonesia cukup berat. Berdasarkan Indeks Daya Saing Global
yang diterbitkan World Economic Forum pada 2016, peringkat daya saing
Indonesia turun dari peringkat ke-37 pada tahun sebelumnya menjadi ke-41.
Dalam catatannya, WEF menyebutkan bahwa sebuah negara tak hanya membutuhkan
kebijakan moneter, tetapi juga reformasi untuk mendorong daya saing.
Adapun dari sisi kemudahan berusaha, rilis
Bank Dunia menunjukkan Indonesia ada di peringkat ke-91. Peringkat Indonesia
berdasarkan daftar yang diterbitkan pada 2016 ini lebih baik daripada tahun
lalu, yakni di peringkat ke-106.
Kondisi kemudahan berusaha di Indonesia yang
membaik ini dipengaruhi perbaikan di berbagai bidang, yakni kemudahan
mendapatkan sambungan listrik, pendaftaran properti, kemudahan mengakses
pinjaman dana, pembayaran pajak, perdagangan antarnegara atau lintas batas,
dan penghargaan serta penegakan kontrak.
Dengan kemampuan yang berdaya saing-meskipun
peringkat daya saing turun-sekaligus kemudahan berusaha yang semakin baik,
diharapkan semakin banyak industri yang tumbuh di Indonesia. Industri ini
bukan hanya industri yang dibawa investor dari luar negeri, melainkan juga
industri berupa penanaman modal dalam negeri.
Sebab, industri dinilai masih bisa mendorong
berbagai hal yang dibutuhkan Indonesia, di antaranya pertumbuhan ekonomi, penyerapan
tenaga kerja, dan kinerja perdagangan. Industri yang bergerak baik akan
meningkatkan serapan tenaga kerja. Saat ini, diperkirakan setiap 1 persen
pertumbuhan ekonomi akan menyerap 200.000-250.000 tenaga kerja. Sementara
sekitar 7 juta dari jumlah penduduk usia kerja di Indonesia masih menganggur.
Jika tenaga kerja terserap industri, tenaga kerja itu akan memiliki
pendapatan yang bisa digunakan untuk berbelanja. Kemampuan berbelanja atau
daya beli yang meningkat itu akan mendorong kebutuhan terhadap barang dan
jasa, yang kemudian mendorong industri meningkatkan produksinya.
Peningkatan industri juga berdampak pada
kebutuhan lokasi dan bangunan untuk kegiatan industri. Sektor konstruksi
turut merasakan dampaknya karena berkaitan dengan pembangunan pabrik atau
wilayah industri. Sehubungan dengan kebutuhan dana, pembiayaan untuk
keperluan industri juga meningkat, yang akan mendorong jasa keuangan
mengucurkan kredit dan pembiayaan.
Menjelang akhir tahun, kredit perbankan
membaik. Per akhir Oktober 2016, kredit industri perbankan di Indonesia
tumbuh 7,5 persen dalam setahun. Jika industri membaik, produksi meningkat,
maka investasi dan modal kerja diperlukan sehingga kredit dapat meningkat.
Pada akhirnya, kondisi ini akan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, pemerintah dan BI berupaya mendorong
pertumbuhan kredit terus meningkat dan mendorong akses kredit semakin merata.
Oleh karena itu, optimisme dan kepercayaan
pasar, investor, masyarakat, dan pelaku industri mesti dijaga, bahkan
ditingkatkan. Kepercayaan dan optimisme ini akan meningkatkan kegiatan
produksi dan konsumsi, yang pada gilirannya akan menggulirkan roda
perekonomian. Dengan begitu, diharapkan kondisi tahun depan akan makin baik
dan pertumbuhan ekonomi 2017 juga semakin baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar