Survei
Pilkada DKI - Pemilih Loyal Menjadi Kunci
Yohan Wahyu ; Litbang
KOMPAS
|
KOMPAS, 21 Desember
2016
Pilkada DKI Jakarta adalah satu bagian dari pelaksanaan
pilkada serempak di 101 daerah seluruh Indonesia. Untuk melihat preferensi publik
dalam Pilkada DKI Jakarta, Litbang "Kompas" akan menurunkan tulisan
dari hasil survei "pre-election" secara berturut-turut dalam empat
tulisan mulai hari ini.
Ketatnya persaingan tiga pasangan calon membuat pemilihan
gubernur dan wakil gubernur DKI berpeluang terjadi dua putaran. Kurang dari
dua bulan menjelang pemungutan suara, perubahan pilihan masih bisa terjadi.
Merawat pemilih loyal menjadi kunci mengamankan potensi dukungan.
Persaingan ketat tergambar dari hasil survei Kompas.
Tingkat elektabilitas ketiga pasangan calon belum pada posisi dominan
menguasai separuh potensi suara pemilih. Potensi keterpilihan pasangan Agus
Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni (Agus-Sylviana) tercatat paling tinggi,
37,1 persen. Posisi ini dibayangi ketat oleh pasangan petahana Basuki Tjahaja
Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Basuki-Djarot) 33 persen. Selanjutnya potensi
keterpilihan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno berada di angka 19,5
persen.
Secara teoretis, dengan memasukkan margin error ±3,46
persen, potensi elektabilitas Agus-Sylviana masih beririsan dengan potensi
elektabilitas Basuki-Djarot. Jika diperhitungkan, rentang irisan potensi
elektabilitas kedua pasangan calon itu ada di angka 33,64 persen sampai
dengan 36,46 persen. Artinya, kedua pasangan calon masih berpeluang
memperoleh suara dalam rentang irisan angka elektabilitas tersebut.
Pengalaman sejumlah survei menyebutkan, tingkat
popularitas yang tinggi dan kinerja selama menjabat kepala daerah dan wakil
kepala daerah menjadi modal tersendiri bagi pasangan petahana. Dari tiga
calon gubernur, tingkat popularitas Basuki paling tinggi. Demikian juga
dengan popularitas Djarot.
Namun, dalam survei kali ini pasangan petahana
Basuki-Djarot kurang mendominasi angka elektabilitas. Kondisi ini boleh jadi tidak
lepas dari tingkat resistensi yang relatif tinggi pada pasangan ini
dibandingkan dengan dua pasang penantangnya. Survei merekam 51,5 responden
mengaku tidak akan memilih pasangan petahana ini. Faktor gaya komunikasi dan
kasus hukum yang menjerat Basuki menjadi alasan dominan.
Pemilih loyal
Tingkat resistensi yang sama terbagi merata kepada
pasangan Agus-Sylviana dan Anies-Sandiaga. Penolakan terhadap dua pasangan
ini lebih karena belum berpengalaman memimpin sebuah organisasi pemerintahan
daerah. Sebaliknya, pengalaman dan rekam jejak kinerja inilah yang menjadi
nilai positif bagi pasangan Basuki-Djarot. Hasil survei merekam separuh lebih
responden yang akan memilih pasangan petahana ini didorong oleh kinerja
Basuki-Djarot yang sudah terbukti. Secara umum, soal kinerja ini diakui 67,6
persen responden yang menyatakan Basuki relatif berhasil memimpin Jakarta.
Faktor resistensi lain juga terlihat dari tingkat kesukaan
responden. Dari enam nama calon gubernur dan wakil gubernur, tingkat kesukaan
responden paling rendah pada Basuki dan Djarot, yakni di bawah 80 persen.
Tingkat resistensi paling tinggi dan tingkat kesukaan
paling rendah memang beban bagi pasangan Basuki-Djarot. Namun, dari sisi
karakter pemilih, pemilih pasangan ini paling loyal dibandingkan dengan
pemilih dua pasangan lainnya. Loyalitas di sini dimaknai sebagai pemilih yang
sudah mantap dengan pilihannya dan tak akan mengubah pilihannya.
Survei mencatat 61,7 persen pemilih pasangan Basuki-Djarot
menyatakan tidak akan mengubah pilihannya. Angka ini relatif paling tinggi
dibandingkan dengan loyalitas pemilih dari dua pasangan calon lainnya.
Sebaliknya, responden yang menyatakan masih mungkin berubah pilihan paling
tinggi ada di pemilih pasangan Anies-Sandiaga.
Potret lain soal loyalitas pemilih juga terlihat dari
tindakan pemilih untuk pasangan calon pilihannya. Pemilih pasangan
Basuki-Djarot relatif lebih aktif bertindak untuk melakukan hal yang positif
bagi pasangan calon pilihannya. Sebanyak 58,7 persen responden pemilih
pasangan petahana akan mengatakan hal-hal positif tentang Basuki-Djarot.
Porsi pemilih seperti ini juga banyak dijumpai pada pemilih Agus-Sylviana
meskipun angkanya lebih rendah dari pemilih pasangan petahana.
Loyalitas pemilih inilah yang sebenarnya menentukan
potensi suara yang akan diraih pasangan calon. Di tengah persaingan yang
ketat, yang terlihat dari distribusi suara yang relatif merata ketiga
pasangan calon, mengamankan pemilih loyal menjadi langkah strategis untuk
memastikan perolehan suara.
Namun, sesuai Pasal 11 UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur
yang memperoleh suara lebih dari 50 persen ditetapkan sebagai pasangan
gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Perubahan pilihan
Perubahan pilihan dalam kontestasi politik masih mungkin
terjadi, baik menjelang pemungutan suara maupun pada putaran kedua. Survei
menangkap ada gejala pola perpindahan suara dari satu pasangan ke pasangan
calon lainnya. Dye and Zeigler (1983) menyebut perpindahan ini sebagai gejala
volatilitas politik, gejala pergeseran kesetiaan pemilih, dari satu pemilihan
ke pemilihan yang lain.
Survei Kompas kali ini menangkap gejala
volatilitas ini dalam dua pola. Pola pertama terjadi karena kedekatan
emosional pemilih di antara pemilih dua pasangan calon. Sementara di sisi
yang lain, ada pola "pragmatisme", yaitu perubahan pilihan pemilih
menyebar merata ke pasangan yang lain.
Pola pertama terlihat pada karakter pemilih Agus-Sylviana
dan pasangan Anies-Sandiaga. Ada kedekatan emosional yang sama di antara
kedua kelompok pemilih ini. Jika salah satu pasangan ini gagal berlaga di
putaran pertama, tiap responden pemilihnya cenderung mengarahkan kepada salah
satu pasangan ini. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pasangan calon ini punya
pasar pemilih yang sama dan cenderung menghindari pilihan kepada pasangan
petahana Basuki-Djarot.
Pola kedua justru ada pada karakter pemilih Basuki-Djarot.
Jika pasangan petahana ini gagal melaju ke putaran kedua, ada kecenderungan
peralihan pemilihnya tersebar merata ke dua pasangan calon lainnya. Namun,
ada sekitar 18,9 persen pemilih pasangan petahana ini mengaku tidak akan
menggunakan hak pilihnya alias golput. Inilah potret loyalitas pemilih (diehard
voters) pasangan Basuki-Djarot yang tidak ada pada pasangan lainnya.
Di tengah persaingan yang ketat inilah, merawat kesetiaan
pemilih menjadi kunci untuk menjaga tingkat keterpilihan menjelang pemungutan
suara nanti. Tentu, selain merawat pemilih loyalnya, pasangan calon harus
juga bekerja menarik simpati pemilih baru di tengah potensi perubahan pilihan
yang masih terbuka. Apalagi masih ada kelompok pemilih belum menentukan
pilihannya (undecided-voters) yang juga menjadi potensi tambahan
suara.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar